webnovel

Bab 1 - Sang Gadis (2)

"Sekarang kita ke mana?"

‎"Ke tempat yang sudah kusiapkan. Tempat semuanya akan berakhir." jawab Ryan.

‎Akhirnya. Setelah semuanya. Akhirnya yang kutunggu hampir tiba. Saat di mana akhirnya hidupku akan berakhir. Aku melihat ke atas. Langit malam yang gelap tanpa bintang.

‎"Ada apa? Kau gugup." Ryan berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. Langkahku terhenti saat memikirkan bahwa semuanya benar-benar akan berakhir.

‎"Tidak kok, aku tidak apa-apa." Kataku sambil berlari kecil menyusulnya.

‎Ryan berjalan. Menyusuri jalanan. Diikuti oleh diriku di belakangnya. Kami mulai berjalan di jalanan yang sepi dan memasuki gang-gang kecil.

‎"Apa kau yakin ini jalan yang benar." Tanyaku.

‎"Ya, tenang saja, sebentar lagi kita akan sampai." Ujarnya. Aku hanya dapat memercayai dan mengikutinya.

‎Ryan berhenti. Sesaat aku berpikir bahwa kami telah sampai. "Sekarang kita ke atas." Katanya sambil menunjuk ke atas.

‎"Ke atas?" Tanyaku.

‎Ryan tidak menjawab pertanyaanku. Ia membuka pintu dari besi dan masuk. Aku mengejarnya sebelum diriku terdiam.

Dibalik pintu tersebut ada tangga yang membawa kami ke atas. Aku mencoba melihat dari bawah. Tebakanku benar, tangga itu membawa kami langsung ke lantai paling atas gedung ini. Tangga demi tangga kulewati. Sesekali aku berhenti karena kelelahan. Sedangkan Ryan terus berjalan dengan santai seakan tidak merasa kelelahan.

"Hahhh!" Kataku menghela nafas. Aku sampai di lantai teratas, atau lebih tepatnya atap gedung tersebut.

"Wahhh indahnya." Aku berjalan ke depan gedung. Di hadapanku terhampar pemandangan yang luar biasa. Cahaya lampu dari rumah-rumah, mobil-mobil, hingga gedung-gedung lain mewarnai pemandangan yang kulihat bagaikan lukisan dalam kanvas. Angin sejuk kencang menerpa setiap bagian tubuhku.

"Ryan lihatlah ke sini! Pemandangannya sangat menakjubkan." Kataku memanggil. Ia sedang jongkok di tengah sambil mempersiapkan sesuatu.

"Kubilang ke sini!" Aku menghampiri Ryan dan menariknya.

"Ehh ehh." Ucapnya sambil terus kutarik mendekati bagian ujung atap. Ia berdiri dan melihat ke pemandangan tersebut.

"Indah kan."

Ia terdiam sebentar. Ekspresinya seakan menahan sesuatu.

"Ya."Jawabnya.

"Ah aku tidak menyangka bahwa aku masih bisa melihat hal-hal yang indah seperti ini saat hidup."

"Andai aku masih bisa hidup lebih lama." Ucapku lirih.

...

Kini kami duduk berhadapan. Aku sudah cukup bersenang-senang. Bahkan bisa menikmati pemandangan indah seperti tadi. Ya, cukup. Sudah cukup. Sekarang saatnya untuk mengakhiri ini semua. Di hadapanku, Ryan, kembali melanjutkan persiapan. Ia mengambil sebuah botol kaca dari tasnya dan mengeluarkan dua buah gelas.

"Ini adalah racun. Racun yang dapat membunuhmu tanpa rasa sakit. Satu teguk saja dan kau akan langsung mati." Ucap Ryan sambil menuangkan cairan dalam botol ke dua buah gelas yang sudah ia siapkan.

"Kau yakin ini dapat membunuhku tanpa rasa sakit kan?" Tanyaku ngeri.

"Ya aku cukup yakin."

Suasana tiba-tiba menjadi tegang. Angin yang berhembus terasa sangat dingin dan menusuk di kulit. Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Memikirkan bahwa sebentar lagi aku akan mati.

"Hana, ada yang ingin kutanyakan untuk terakhir kalinya." Ucap Ryan serius. "Apa kau benar-benar ingin mati?"

Aku hanya terdiam. Itu adalah pertanyaan yang seharusnya tidak boleh diajukan lagi saat ingin bunuh diri.

"Bagaimana denganmu, Ryan?" Tanyaku balik.

"Aku?" Ryan menghela nafas panjang. Senyuman kecil terbersit di wajahnya. Bukan senyum bahagia, lebih seperti senyuman untuk mengasihani dirinya sendiri atau menertawakan betapa bodohnya hal yang ingin ia lakukan sekarang.

"Ya, aku ingin mati. Sejak lama. Sangat-sangat lama."

"Sama denganmu, aku juga sangat ingin mati." Jawabku.

"Begitu ya." Gumam Ryan pelan.

"Hana!" Panggilnya. "Ada hal terakhir yang ingin kuminta padamu."

"Eh eh, hal terakhir. Apa maksudmu? Apa itu sesuatu yang... kau tahu kan... ci ci ci." Pipiku memerah merona. Pikiranku melayang ke mana-mana.

"Bisakah kau biarkan aku menegak racunnya duluan?" Ujarnya.

"Apa maksudmu? Bukankah kita akan melakukannya secara bersamaan?" Kataku tidak setuju.

"Kau benar. Tapi kau tahu, aku ini sebenarnya pengecut. Aku bisa saja lari dan membiarkanmu meminumnya sendirian. Jadi tolong... Biarkan aku meneguknya duluan dan tolong pastikan aku sudah mati." Ia memohon-mohon di hadapanku.

"Baiklah. Aku hanya perlu memastikan kau mati kan?"

"Ya benar." Ucapny girang. Ryan mengambil gelas berisi cairan racun tersebut. mendekatkannya ke bibirnya. Bersiap-siap untuk meminumnya.

"Kumohon, kali ini...." Gumam Ryan samar. Dengan cepat ia meneguk seluruh cairan di gelas kecil itu.

Ryan seketika menjatuhkan gelas kecil itu tepat setelah meminumnya. Ia berteriak kesakitan. Tangannya menggenggam dada dan lehernya. Dirinya terjatuh tebaring. Tak lama ia mulai kejang-kejang. Tubuhnya yang terbaring di lantai bergerak-gerak tak karuan. Matanya melotot membelalak. Seperti orang yang sedang sekarat. Ia terlihat sangat kesakitan dan tersiksa. Aku hanya dapat melihat momen kematiannya ngeri.

Ryan berhenti bergerak. Aku segera mengecek apakah dia masih hidup.

"Ryan, Ryan! Hei apa kau mendengarku? Apa kau di sana." Kataku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

Ryan tak lagi bergerak. Ia juga tidak memyaut ketika kupanggil. Apa artinya dia sudah mati? Benarkan? Dia sudah mati kan? Pikiranku mengiyakan jawaban tersebut secara otomatis.

Baiklah. Sekarang giliranku. Kuambil gelas berisi racun yang sudah Ryan siapkan untukku. Tanganku bergetar-getar saat mencoba mendekatkannya ke mulutku. Jantungku berdetak dengan sangat cepat. Aku mendongakkan kepala. Tepat di atasku, bulan dan ratusan bintang bersinar dengan terang. Ahh, indah sekali. Ditemani oleh berbagai hal yang menyenangkan dan indah di saat-saat sebelum aku mati. Hah sungguh menakjubkan.

Kudekatkan gelas itu ke mulutku dan mulai menuang.

"Hei! Apa yang kau....!"

Semuanya menghitam seketika.

.