Audina Udin: Abis dari ruang BK ke kantin ya?! Gapake lama ... Mumpung jamkos nih!
Streta mengelus keningnya, otaknya masih menyisakkan sedikit rasa yang mencengkram. Setelah tadi, ia gunakan sepenuhnya untuk memikirkan sebuah alasan jitu, mendebat melawan wanita paruh baya dengan segala kemampuannya yang mumpuni sebagai guru BK.
"Gila, sedikit sulit ya nglawan Bu Wah itu," ungkap Streta. Dengan napas yang masih belum sepenuhnya stabil.
"Ncess, namanya Bu Wahyu. Apaan dah Bu Wah, lo kira buah-buahan?" protes Nean kemudian. "Lagian ini semua kan salah kalian berdua pada, siapa suruh ketawa kenceng banget!" Nean masih tak terima dengan keterlibatannya dalam urusan pagi ini.
Streta menghentikan langkahnya. "Gue gak nyuruh lo ngoceh ya perasaan." Tatapannya mulai menginvasi lawan bicara. "So, lo harusnya berterima kasih ke gue karena gue udah mikirin alasan panjang lebar, masuk di akal. Supaya apa? Biar kita bebas!"
"Oke, terima kasih Streta Alrisa Marganya! Puas lo?" Nean mengeraskan volumenya. Lantas pergi tanpa pamit. Membuat Streta sedikit tergerak untuk melakukan aksi berkelahi, namun Aruna berusaha menengahi.
"Kita berdua harus ke kantin sekarang juga, Ncess," ucap Aruna kembali mengingatkan. "Lo gak perlu ngeladenin dia kali ini."
Streta merapikan kerah bajunya. "Pagi-pagi udah bikin rese aja tuh bocah!" keluhnya, kemudian melenggang pergi bersama Aruna.
Suasana kantin sangat ramai, tentu saja itu persoalan yang wajar terjadi. Hari pertama masuk sekolah biasanya banyak guru yang tak ingin membebankan muridnya untuk berpikir lagi setelah berlibur cukup lama. Kebanyakan dari mereka ya seperti ini, memilih menciptakan jam kosong.
Berbeda dengan kelas sepuluh yang kini tengah sibuk melaksanakan MPLS dengan anggota-anggota OSIS sekolah. Kini sibuk menggerakan diri ke sana ke mari. Merepotkan sekali!
"Nah itu Udin," kata Aruna menunjuk Audina yang kini tengah sibuk melahap semangkuk mi instan rasa soto. Dengan segera keduanya menghampiri. Streta mendaratkan bokongnya pada kursi panjang yang akan selamanya ada di kantin sekolah, selagi belum rusak. Kursinya tidak bisa digeser, karena telah dimodifikasi untuk hal ini. "Ke mana yang lainnya?" tanyanya setelah menyeruput es cokelat entah milik siapa.
"Lo tuh ya, kebiasaan banget! Dateng tiba-tiba, gak ada assalamualaikum-nya sama sekali," timpal Audina kesal.
"Ya udah deh, gue ulangin." Streta berdiri lagi seolah-olah baru saja tiba di tempat itu. "Assalamu'alaikum Udin."
Audina lantas menertawakan kebanyolan gadis itu. "Waalaikumsalam Ncess, silahkan duduk," jawab Audina dengan tawa jenakanya. "Gimana tadi urusannya, lancar?"
Streta terkekeh jadinya. "Lancar! Itu mah urusan kecil," lontarnya enteng.
Sementara Aruna kini masih sanggup berdiri. Jemarinya sibuk beratraksi pada layar ponselnya. "Eh bentar, gue ke perpus dulu. Aline ada di sana," ucapnya, lantas segera melarikan diri.
Streta duduk di hadapan Audina. Lalu celingak-celinguk mengamati keadaan. "Pada ke mana si?"
Audina menghentikan makannya, mengalihkan mi instan rasa soto kesukaannya untuk sementara demi menjawab pertanyaan Streta Alrisa Marganya. "Pertama, Aruna dan Aline lagi ada di perpus, tau dah lagi ngapain. Kedua, noh Glea sama Maura lagi ngantri pesen mi ayam Mang Kisno."
Gadis yang bertanya kini manggut-manggut saja mendengarnya. "Detail amat Din ngejelasinnya."
Audina menatap sinis. "Kalau enggak, lo bakal terus nanya." Ia kembali meraih mangkuk mi instan kesukaannya.
Streta kemudian tertawa saja. "Lo bisa aja deh, Din!" Ia kembali menyesapkan mulutnya pada segelas es cokelat yang dia pikir itu Maura yang punya. "Ini punya Maura kan?" tanyanya. "Mau abis nih di gue."
"Bukan," jawab Audina santai. Masih tetap melanjutkan makannya.
Uhuk
Mendapati jawaban 'bukan' dari Audina, membuat gadis itu kemudian tersedak es cokelat. "Apa?! Bohong ya lo?" terka Streta.
"Gue gak boong," jawabnya terdengar tak jelas, karena mulutnya penuh dengan mi instan yang kini tak kunjung habis.
"Trus kalo bukan Maura, punya siapa dong?" Perasaannya mulai tak karuan, pikiran-pikiran buruk mulai menghiasi dinding otaknya. Berharap es cokelat itu bukanlah es cokelat bekasan.
"Gue juga gak tahu, pas gue ke sini es itu udah nongol di meja," jelas Audina.
Lemas. Satu kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Streta pada saat itu. Kekhawatirannya benar, es cokelat itu bekasan. "Anjir, gue minum es bekasan dong. Lo kenapa gak bilang si Din!"
"Gimana mau bilang, orang lo dateng-dateng aja langsung ngejongkrok trus minum es cokelat kayak ikan yang kurang air."
Streta menatap pias sahabatnya. "Iya juga si. Jadi, gue yang bego di sini!" ungkapnya. "Bodoamat deh, semoga yang punya minuman ini gak punya virus TBC," harap gadis itu.
"Aamiin," sahut Audina kemudian. Lalu beranjak dari tempatnya. "Gue mau ngembaliin mangkuk dulu ya ke Bu Tina."
Streta menganggukkan kepalanya mengerti, kini ia mulai menyibukkan diri pada layar ponsel miliknya. Sesaat sebelumnya ia melongok stand makanan mi ayam Mang Kisno yang masih dipenuhi sekelompok siswa. "Gle, Ra, kalian yang sabar ya," ucapnya lirih, lalu melambaikan tangan pada keduanya yang kini masih sibuk mengantre, demi mencicipi lezatnya mi ayam spesial Mang Kisno.
"Ncess!" panggil seseorang yang kini ada di hadapannya.
Gadis itu menengok, sedikit terperanjat mendapati jika Fayzan-lah yang memanggilnya kali ini. "Kenapa?" jawabnya, terdengar biasa saja.
"Lo lihat gelas gue gak?" katanya masih mencoba berpikir.
"Gelas apa ya?"
"Gelas yang isinya es cokelat, lo lihat gak? Perasaan tadi gue naroh di sini deh."
APA? GELAS YANG ISINYA ES COKELAT?
Apa dia tidak salah dengar? Tidak Streta sayang.
Streta terdiam sejenak. Apa dia harus mengakui kesalahannya kali ini? Tapi bagaimana bisa, oh jika saja bukan Fayzan yang bertanya, pasti akan dengan sangat enteng dia mengaku.
"Ncess, kenapa?" tanya Fayzan yang mendapati pola wajah Streta yang mulai gusar.
Gadis itu hanya menggeleng, sesekali menggigit bibir bagian bawahnya. Kegugupan mulai menguasai habis dirinya. Suara degupan jantung kian mengeras, membuat gadis itu sedikit kewalahan mengontrolnya. Perasaan macam apa ini?!
"Ya udah deh, paling udah diambil sama penjualnya. Kalau gitu, gue duluan Ncess!" Pada akhirnya pria itu memilih pasrah dan meninggalkan kantin.
Sesaat sebelumnya, gadis itu mencegah. "Tunggu Zan," katanya. Pria itu kemudian menghentikan langkahnya. "Ini ge-las lo." Streta menyerahkan gelas kosong pada tangan Fayzan. Membuat Fayzan bingung dengan aksi gadis itu. "Maksudnya apaan?"
Streta menghela napasnya, siap mengaku akan kesalahan yang sudah ia perbuat kali ini. "Itu gelas lo, dan seperti yang lo bilang ada es cokelat di dalamnya. Tapi maaf Zan, es cokelatnya udah gue minum."
"Sumpah si, gue gak tahu kalau itu gelas lo. Gue pikir itu gelas Maura, makanya gue minum aja seenak jidat. Eh si Udin baru bilang kalau gelas ini bukan punya Maura setelah gue ngabisin minumannya. Maaf Zan, gue gak sengaja. Hm gini deh, gue bakal ganti rugi!"
Pria yang diajak berbicara hanya tertawa lantas menatap gadis itu dengan tatapan tak percaya. "Lo kesambet apa barusan? Ngabisin es cokelat aja kaya abis ngabisin uang negara," kekeh Fayzan.
Streta tersipu malu, persetan dengan warna wajahnya yang mungkin mulai memerah. Dia tak peduli. "Gue kan cuma mau minta maaf," ucapnya lirih.
“Sans aja kali Ncess! Lagi pula gue juga mau ngembaliin gelas itu ke penjualnya kok," balas Fayzan lagi. "Tadi es cokelatnya pahit kan? Gue salah pesen, yang tadi lo minum itu dark cokelat, makanya pahit."
Entahlah!
Dirinya meminum pasca keadaannya tengah dilanda rasa haus dahaga, jadi dia tak menyimpulkan detail rasa es cokelat yang diminumnya. Lagi pula kalau seandainya dark cokelat pun dia tetap menyukainya.
"Gue suka dark cokelat kok," cibirnya, lalu menguraikan senyum. "Oh ya ini." Gadis itu mengulurkan uang lembaran yang bertuliskan dua puluh ribu rupiah. "Buat bayar es cokelatnya," katanya.
"Lo pikir gue gak mampu bayar?"
"Ih bukan gitu, kan gue yang minum es cokelatnya. Jadi, gue yang seharusnya bayar!"
"Gue yang traktir deh kalau gitu." Fayzan lalu tersenyum dengan manis. Dan pergi meninggalkan gadis yang kini semakin kuat untuk mengagumi pria itu.