webnovel

7

1. BIBIT DENDAM

"Bu, Arif takut." Arif kecil bersembunyi di belakang ibunya ketika Pak Arfan berdiri di depan mereka dengan wajah merah padam.

"Nunik, keputusan ada di tanganmu. Jadi istriku dan semua utang suamimu lunas. Atau kamu bisa bayar sekarang juga. Enam puluh juta, tunai!" Pak Arfan dengan kumis tebalnya berdiri dengan congkak sambil berkacak pinggang. Di belakangnya dua orang lelaki, yang merupakan centengnya berdiri memeluk tangan.

"Tuan, suamiku baru seminggu dikuburkan. Bagaimana mungkin aku harus menikah denganmu. Apa kata orang? Aku hanya ingin menjaga nama baik kita, Tuan."

Pak Arfan tersenyum sinis. "Oh, jadi kamu butuh waktu? Ingat, Nunik! Aku tak masalah dengan apa pun yang orang pikirkan. Kamu 'kan tahu kalau aku sudah begitu lama menyukaimu. Apalagi dengan meninggalnya Jumadi, Arif jadi tidak punya bapak. Aku siap menjadi bapak yang bisa ia andalkan. Kau 'kan juga tahu, aku memiliki dua orang putra yang hampir sebaya dengan anakmu. Aku yakin, kita akan memiliki keluarga yang sempurna."

Di masa itu, Nunik tidak mempunyai pilihan lain. Pak Arfan, juragan kaya di kampung itu. Selain jadi juragan, dia merupakan Kepala Kampung. Semua tunduk pada perintahnya.

Dua minggu berlalu setelah kematian Jumadi, ayahnya Arif, pesta meriah pun digelar. Semua penghuni kampung keluar dari rumah masing-masing. Semua bergembira dan bersuka cita.

Kecuali Arif.

Dia memilih mengurung diri di dalam kamar. Menangis terisak-isak. Ingat ayahnya yang baik hati. Ayah yang menjadi idolanya. Ayah yang menjadikan ia raja di hatinya. Namun, tanpa diduga, ayahnya tiba-tiba saja tewas ketika sedang mandi di sungai. Seekor buaya menggigit dan hampir saja menelannya hidup-hidup. Begitu kabar yang ia dengar.

Orang menemukan Jumadi terkutung-kutung. Badannya hancur dan wajahnya rusak. Tidak bisa dikenali sama sekali.

Arif tidak percaya ayahnya mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Tidak percaya juga kalau jasad malang itu adalah Jumadi. Berhari-hari ia berharap, menunggu ayahnya pulang. Namun, waktu berjalan, ayah yang ia sayang tak kunjung datang.

Dan malam itu, ia tenggelam dalam kesedihan, menyaksikan ibunya bersanding dengan laki-laki yang sering menghardik ayahnya. Arif tidak suka sama sekali dengan Pak Arfan. Lelaki itu tidak memiliki hati yang baik. Bagaimana nanti jika Arif tinggal sama Pak Arfan, akankah dia bisa menyayangi lelaki yang terlihat jahat itu?

Apa yang Arif khawatirkan menjadi kenyataan. Di hari pertama ia menginjakkan kaki di rumah Pak Arfan, lelaki itu menempatkannya di kamar pembantu. Sekamar dengan Bik Atun.

"Kau tidak boleh memanggil ibumu lagi dengan panggilan Ibu. Kau panggil dia sekarang Nyonya. Dan aku Tuan! Kau paham, setan kecil?" Mata merah Pak Arfan mendelik. Arif kecil ketakutan dan mencoba meminta perlindungan sama bunda tercinta. Nunik pun protes, tapi yang ia dapat adalah sebuah tamparan yang cukup keras. Nunik merasakan pipinya panas dan sakit. Arif menangis melihat ibunya ditampar.

"Tuan ... Tuan sudah berjanji untuk menyayangi Arif dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Kenapa sekarang Tuan ingkar? Apa ... maksud semua ini?" Nunik memegang pipinya. Air mata merembes tanpa bisa ia cegah.

"Suka-suka akulah. Aku yang memiliki kuasa di rumah ini. Kau sudah jadi istriku. Jadi wajib tunduk dan patuh pada kehendakku, Nunik!" Pak Arfan melotot ke arah Arif, Nunik dan Bik Atun.

"Bik Atun! Sekarang, Arif adalah anakmu. Rawat dia dan beri apa yang ia mau. Namun, jangan sekali-kali diperbolehkan ia masuk ke rumah besar. Aku tidak mau berdekatan dengan keturunan Jumadi. Membuatku alergi dan meriang. Sekali saja kudapati ia berada di rumah besar, kau tahu resikonya, Bik Atun?" Pak Arfan menyilangkan tangan di leher. Bik Atun buru-buru menjatuhkan badan.

"Siap, Tuan. Saya akan lakukan apa yang Tuan perintahkan."

Pak Arfan tersenyum puas. "Dan kau Nunik, saatnya memuaskan suami barumu ini. Hahaha."

Arif menangis dan hendak menjerit-jerit, tapi tangan Bik Atun langsung membekap mulutnya dan menariknya ke dalam kamar, mengunci pintunya langsung.

"Sabar, Arif. Sabar .... Kamu harus ingat, bukan kamu saja yang ketakutan, Bibik juga. Yang penting, kamu kudu kuat. Dan ikuti semua aturan di rumah ini. Bibik khawatir kalau kamu nakal, ibumu yang jadi pelampiasan Pak Arfan. Kamu tidak mau 'kan ibumu dipukul lagi?"

Arif terisak-isak. Tangisannya begitu menyedihkan hati Bik Atun. Perempuan setengah abad itu memeluk tubuh kecil Arif dan mencoba menenangkannya.

Hari-hari berjalan. Walau ibunya begitu dekat, tapi Arif merasakan mereka berjauhan. Dia benar-benar tidak diizinkan sama sekali oleh Pak Arfan untuk menemui ibunya itu.

Berkali-kali ia mencoba menemui ibunya, tapi berkali-kali juga Bik Atun menggagalkan rencananya tersebut.

"Jangan, Arif. Bibik mohon. Kamu bisa membuat kita berdua terbunuh. Bahkan ibumu pun bisa ia sakiti kalau kita melanggar perintahnya."

"Tapi Arif kangen ibu, Bik. Arif hanya ingin menemui ibu sebentar saja. Arif mohon, Bik. Biarkan Arif pergi menemui ibu."

Namun, Bik Atun tetap memegang tangannya. Mencegahnya dari menemui Nunik. Tarik menarik di antara mereka pun tidak terhindarkan.

"Bik! Ada apa ini?"

Kedua orang itu langsung berhenti tarik-tarikan. Serentak menghadap sumber suara. Seorang remaja lelaki, berusia sekitar 13 tahun menatap mereka heran.

"Oh ... Den Andro. Ini, Den ..., Arif, memaksa untuk masuk ke rumah besar. Ia ingin bertemu ibunya. Nangis-nangis dari kemarin."

Andro memandang Arif dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. "Kau sudah tak berhak terhadap ibumu, Rif. Dia sudah menjadi ibuku dan Waluyo. Terima saja nasibmu sebagai budak di rumah ini."

"Bang ... izinkan Arif ketemu ibu, Bang. Arif kangen, Bang! Arif mau ketemu ibu!"

Bukannya mengabulkan permintaan Arif, Andro langsung menampar wajah Arif keras. Arif kian meraung kesakitan. Andro mengulurkan tangannya dan mencekik leher Arif kuat. Bik Atun ketakutan.

"Den ... sudah! Bahaya, Den!"

"Diam, Bik! Anak kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran!"

Andro menyeret tubuh Arif kembali ke kamar pembantu. Bik Atun mengikuti tergopoh-gopoh.

"Kalau kau ingin selamat, ikuti aturan. Ini masih untung aku yang turun tangan. Kalau bapak, bisa-bisa kau dan ibumu itu ditembaknya. Mau kepalamu diledakkan, Arif?"

Arif menggeleng ketakutan. Sebisa mungkin ia tahan diri untuk tidak menangis. Bahunya berguncang-guncang menahan perasaan. Dia sangat benci anak lelaki di depannya ini, benci sama bapaknya juga. Hanya kebencian demi kebencian yang dirasakan Arif.

"Bagus! Suatu saat kau akan berterima kasih kepadaku, Arif!" Andro mendorong tubuh Arif ke atas kasur. Kemudian berlalu tanpa menoleh lagi.

Arif hanya bisa menangis. Bik Atun yang sudah ada di kamar tersebut berusaha memberikan wejangan dan nasehat.

"Sabarlah, Nak. Kejahatan tidak akan pernah menang melawan kebaikan. Kamu hanya perlu menahan diri. Walau kamu tidak bisa bertemu, berbicara dan memeluk ibumu, kamu masih bisa melihatnya dari kejauhan 'kan? Ibumu sekarang pasti sangat ingin menemuimu, Rif. Cuma, dia pun pasti diancam. Ibumu pasti juga takut kalau kamu kenapa-kenapa. Bersabar ya, Nak? Hapus air matamu."

Dan memang itu yang dilakukan Arif, bersabar. Membiarkan rasa sakit membatu di dalam hatinya. Bersikap kalau ia baik-baik saja.

Di rumah Pak Arfan ia benar-benar diperlakukan bak budak. Disuruh mengerjakan ini, itu. Siang dan malam tiada henti. Semua itu membuat Pak Arfan bahagia. Bahkan Waluyo, yang saat itu baru berusia empat tahun, sudah diajarkan untuk merundung Arif.

Derita yang paling diingat oleh Arif adalah melihat Nunik yang seperti sudah dicuci otaknya. Dijadikan kelinci percobaan. Dalam seminggu dua kali, Arif akan dipanggil ke dalam sebuah kamar di rumah besar untuk menemui Nunik. Bulan-bulan pertama Nunik masih mengenalnya. Namun, di bulan ke empat, Nunik benar-benar tidak ingat lagi kalau Arif adalah anaknya. Yang ia tahu, Arif adalah anaknya Bik Atun. Semua itu membuat luka di hati Arif semakin parah. Dia seperti dipaksa untuk membenci ibunya sendiri. Dan satu hal yang tidak dimengerti oleh Arif, setiap kali Pak Arfan mabuk, ia akan membawa Arif ke dalam suatu kamar lalu mencambuk nya berkali-kali.

Arif yang sudah berusia lima belas tahun, habis dia sabet dengan ikat pinggang. Tidak peduli permohonan ampun yang Arif lontarkan, Pak Arfan terus menganiayanya. Melontarkan kata-kata makian yang menyakitkan hati.

"Anak haram! Anak setan! Kau sama saja dengan ayahmu! Sama saja dengan sundal pelacur laknat itu! Jika kuturutkan hati, ingin aku membunuhmu saat ini juga. Setiap kali melihat wajahmu ini, hanya kebencian yang kurasakan! Inilah pembalasanku atas kejahatannya. Menyiksamu perlahan-lahan dan membuatmu mati membusuk!"

Sungguh Arif tidak mengerti kenapa Pak Arfan begitu membencinya. Apakah ini sebenarnya tujuan dari Pak Arfan menikahi ibunya? Agar dia bisa menyiksa Arif sepanjang waktu? Selanjutnya Arif akan dirawat luka-lukanya oleh Bik Atun.

Seiring berjalannya waktu, Arif semakin tumbuh besar. Begitu juga dengan Andro dan Waluyo. Sayangnya, kedua saudara tirinya itu memiliki sifat yang sangat berbeda. Waluyo sangat suka mengintimidasi Arif. Menjadikan Arif bahan lelucon dan bulian bersama teman-temannya. Semua itu membekas jelas di ingatan Arif. Dan malam ini, di tengah gelapnya hutan Arif ingin mengoyak-ngoyak tubuh Waluyo dengan pisau tajam di tangannya.

Waluyo yang tadi serasa mau mati, kembali mendapatkan udara, ketika pisau tajam yang hendak ditusukkan Arif ke matanya, menancap kuat di kayu tiang yang mengikat tubuhnya. Terengah-engah dan menatap Arif dengan rasa takut yang teramat sangat.

"Bang ... Aku mohon, Bang! Jangan sakiti aku. Aku janji, aku janji akan melakukan apa saja untuk membuatmu senang, bahagia. Akan kuturuti semua perintahmu, Bang, asal engkau membiarkanku hidup. Aku tahu ... sudah begitu banyak ... kesalahan yang telah ... aku lakukan. Aku ... mohon maafmu, Bang! Mohon ampuni aku, Baaang!" Waluyo meratap dengan napas masih megap-megap. Arif yang mendengar tangisan Waluyo mencabut pisau yang tertancap di dinding. Menggoreskan ujungnya ke pipi Waluyo. Lalu, ujung pisau yang ternoda oleh darah, ia jilat tanpa ragu.

Darah kembali merembes. Waluyo menggertakkan rahang menahan sakit.

"Maaf?" Arif mendengkus. Udara yang keluar dari hidungnya, terasa hangat di wajah Waluyo. Waluyo mengangguk dengan cepat.

"Boleh! Aku memberimu maaf, tapi ada syaratnya!"

Mata Waluyo berbinar. Harapan seketika memenuhi hatinya.

"Apa, Bang? Katakan! Aku akan sanggupi apa pun yang kau minta!"

Arif menyeringai. Tanpa menjawab, dengan cepat tangannya memotong sesuatu di tubuh Waluyo.

Jeritan Waluyo setinggi langit akibat rasa sakit yang ia alami. Di depannya, Arif melambai-lambaikan sesuatu di tangannya.

Daun telinga!

"Kau ... kau benar-benar tidak punya rasa kasihan, Bang! Tega-teganya kau memotong telingaku!"

"Tssss!" Arif mendesis sambil menyumpalkan daun telinga tersebut ke mulut Waluyo.

"Kamu tahu kenapa aku memotong telinga kananmu, Dik?"

Waluyo berusaha meludahkan kuping yang ada di dalam mulutnya, tapi Arif menekan rahangnya kuat.

"Agar kau sadar! Telingamu itu tolong dipakai. Ingatkah kau? Dulu, berkali-kali aku meminta dan memohon agar kau tidak menyiksaku! Tapi kau abaikan. Kau acuh dengan jeritan dan kesakitan yang kualami. Bukankah itu artinya telingamu ini tidak berfungsi?"

Waluyo merasakan seluruh persendian di tubuhnya lemas. Apa yang dilakukan Arif betul-betul sangat menyiksa. Rasa sakit di bekas telinganya itu sungguh tidak terperi. Darah masih mengucur membasahi leher dan bahunya.

"Kunyah!"

Arif memerintah sambil terus memegang rahang Waluyo. Lelaki malang itu memohon, gumaman suaranya tidak jelas. Air mata kembali merembes. Sungguh,Waluyo benar-benar merasa akan mati malam ini.

"Jika tidak kau kunyah, apa perlu aku potong daun telingamu satu lagi?"

Waluyo menggeleng takut. Dia memejamkan mata. Membiarkan bening-bening kristal membasahi sudut matanya. Dengan perlahan, Waluyo mengunyah daun telinganya sendiri.

Semakin ia kunyah, semakin perutnya bergejolak.

Arif tertawa terkekeh melihat Waluyo yang akhirnya muntah hebat.

Di luar hujan tak kunjung reda. Bahkan badai kian menggila.

"Kau kutinggalkan dulu, ya, Dik? Aku harus menjenguk Hamidah. Oh, ya, kau mungkin tidak percaya kalau pelacur itu masih hidup."

Mata Waluyo melotot. Telinganya menangkap jelas apa yang disampaikan Arif.

"Selain itu, aku juga harus membawa anak Sanira bersamaku. Sayang, kalau dia tinggal bersama keluargamu. Dia bisa menjadi jahat kelak kalau berada di bawah asuhan orang-orang seperti kalian."

Mendengar anaknya disebut, jantung Waluyo merasa tersakiti.

"Jangan, Bang! Jangan usik anakku! Tolong ... aku mohon, hanya ia satu-satunya kenangan yang diberikan Sanira. Aku mohon, Bang!"

Arif tertawa terkekeh-kekeh. "Kau tidak layak lagi diberi kenangan indah, Waluyo! Waktu kematianmu semakin dekat. Aku hanya menundanya sehari dua hari. Yang jelas, selamat tidur, Adikku Sayang."

Pisau di tangan Arif kembali beraksi. Waluyo menjerit hebat untuk ke sekian kalinya. Kuping satunya lagi terbabat putus. Arif kembali menyumpalkan daun telinga tersebut ke mulut Waluyo.

"Aku pulang, ya? Tidak bisa menemanimu lebih lama. Maklum, urusanku masih banyak. Luka di telingamu itu tidak akan membuatmu banyak kehilangan darah. Yah, kalau kau bisa bertahan sampai esok pagi, itu emang sudah semestinya. Tapi, kalau kau mati, aku hanya bisa mengucapkan turut berduka cita. Apa ada pesan-pesan untuk anakmu, Dik?"

Waluyo menangis dengan kondisi perut bergejolak dan jijik karena memakan kupingnya sendiri. Tidak terhingga begitu banyak isi perut yang sudah ia muntahkan.

"Jangan sakiti anakku, Bang! Aku mohon!"

Arif terkikik dan merasa lucu melihat tampilan Waluyo yang tanpa daun telinga. Dia berdiri dan menatap Waluyo sejenak dengan tampang dingin.

"Kalau kau mau mati, dipersilahkan waktu dan tempat, Dik!"

Malam itu, di tengah hujan yang menderu, Arif melawan derasnya, melewati pohon demi pohon. Sekali-kali ia menyeka air mata yang bercampur dengan air hujan. Ada rasa sakit yang ia rasakan di dadanya. Suatu perasaan hampa dan kosong.

"Aku tidak akan biarkan anaknya Waluyo berada dalam cengkeraman keluarga jahanam itu!"