webnovel

3

1. WALUYO

Kita kembali dulu ke saat-saat api melahap habis rumah Hamidah.

"Hamidah! Di mana kamu, Nak? Hamidaaah! Jawab Ibu! Ya Allah, di mana anakku!?"

Di antara deru api yang kian menggila, Nurhayati mencoba melewati kobaran panas yang menyengat. Matanya yang sedikit rabun, berusaha fokus mengitari area rumah.

Lengkingan bayi terdengar di telinganya sebelah kanan. Harapan pun bergejolak di hatinya. Dalam jutaan do'a yang dia ucapkan, hanya satu keinginanannya agar dikabulkan Tuhan, bisa melihat cucu dan anaknya, walau hanya sekejap saja.

Kaki tua itu melangkah secepat yang ia bisa. Tak peduli kalau beberapa potong bara ia injak, tak peduli kalau ujung bajunya sudah mulai terbakar, tak peduli kalau kayu di langit-langit rumahnya berderik-derik dimakan api, Nurhayati terus bergerak menuju sumber suara.

Selangkah

Dua langkah

Tiga langkah ....

Bummm!

Plafon kayu runtuh. Nurhayati melompat mencoba menghindar. Namun, apa daya tubuh tuanya tak mampu bergerak sigap.

Batang kayu sebesar paha manusia dewasa menghimpit kakinya. Raungan Nurhayati menyayat hati.

"Ya Allah! Tolooong!"

Ia berteriak, memohon ada yang mendengar jeritan kesakitannya. Panasnya bara api membakar daging betisnya. Bajunya pub terbakar dengan cepat. Tangan tuanya kalang-kabut memadamkan api di badannya.

Dalam keremangan matanya yang rabun, hanya sejarak sepuluh jengkal, ia melihat Hamidah tergeletak. Sementara lengkingan bayi terdengar begitu memilukan.

"Cucuku ..., Hamidaaah! Wahai anakku malang. Ini ibu ... bangunlah, Nak! Selamatkan anakmu!" Rintihan dan harapan seakan-akan memenuhi ruang jiwa perempuan tua itu. Ada kemarahan yang ia dendangkan atas cobaan yang diberikan Tuhan.

"Haruskah aku mati dalam keadaan berburuk sangka kepada Engkau, Ya Allah? Begitu berat cobaan yang Engkau berikan. Aku mohon, Ya Allah, berikan sedikit keajaiban untuk tubuh tua ini. Selamatkan anak dan cucuku, Ya Allah."

Walau kayu yang terbakar itu mulai mengoyak-ngoyak dagingnya, Nurhayati menarik kakinya sekuat tenaga. Sakit, perih, dan pedih berusaha dia tahan.

Dia terus bergerak sampai akhirnya daging di kakinya benar-benar terkelupas. Tulang tungkainya terlihat jelas. Namun, ia tidak peduli. Dia terus merayap mendekati Hamidah.

"Hamidah ... bangun, Nak! Bangun ...." Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, dia tepuk-tepuk lembut pipi Hamidah.

Mata lelah itu perlahan terbuka, "Ibu ...."

Lemah dan seakan -akan tak mampu Hamidah menggerakkan bibir. Lidahnya terasa kaku, tenggorokannya kering dan pedih.

"Maafkan ibu, Nak. Jika memang kita tidak ditakdirkan untuk hidup. Marilah kita bersama-sama menghadapi datangnya maut. Mungkin inilah yang terbaik bagi kita. Kamu hanya perlu tahu kalau ibu begitu mencintaimu."

Nurhayati mencium pucuk kepala Hamidah. Api masih berkobar dengan garang. Masih terasa panas membakar.

"Anakku, Bu ... alangkah malangnya anakku ... bahkan ... aku tidak sempat melihat wajahnya ...."

Bagaimana mungkin Hamidah bisa melihat bayi yang mengeak-ngeak di antara dua pahanya. Suaranya terdengar parau dan menyedihkan. Seakan-akan ikut marah atas takdir yang menimpa.

"Relakan, Nak! Relakan ...."

Mendadak Nurhayati terpotong ucapannya ketika tiba-tiba muncul seorang lelaki di depannya. Hamidah pun menatap orang tersebut nanar, lalu penglihatannya memudar, dan akhirnya gelap mengambil alih.

"Hamidaaah!" Nurhayati menjerit, melihat Hamidah terpejam.

"Tolong ... siapa pun kamu adanya. Tolong selamatkan anak dan cucuku. Aku mohon ... mereka tidak bersalah! Tolonglah, demi Allah, hanya kamu yang bisa menolong."

Lelaki itu terlihat tegang dan cemas dalam waktu bersamaan. Dia segera mengangkat bayi Hamidah yang masih ada tali pusarnya. Dia letakkan di atas perut wanita malang itu. Lalu dengan sekuat tenaga dia angkat ibu dan anak tersebut.

"Bagaimana denganmu, Bu?" Lelaki itu terlihat meneteskan air mata.

"Jangan pedulikan aku! Pergilah lekas! Bagiku, keselamatan Hamidah dan anaknya adalah yang terpenting!"

Nurhayati memaksakan diri tersenyum. Lelaki itu mengusapkan wajah ke lengannya.

"Maafkan aku, Bu!"

Seiring dengan ucapannya tersebut, kayu di langit-langit rumah kembali jatuh. Kali ini menghantam kepala Nurhayati dengan telak.

Tak ada lagi teriakan dan jeritan. Hanya saja darah mulai menggenang bersama api yang kian membara.

Lelaki itu berlari sekencang-kencangnya. Dengan hati yang remuk redam.

"Andai aku bisa mencegahnya lebih awal. Hamidah tidak akan seperti ini. Ibunya tidak akan mati mengenaskan. Andai saja aku tidak pengecut, sudah kuselamatkan ia jauh-jauh hari. Andai saja ....!"

Dia menangis terisak-isak sembari menggendong Hamidah dan bayi malang itu.

"Bertahanlah Hamidah! Bertahanlah! Aku akan menyelamatkanmu. Jangan mati dulu. Aku ... aku mencintaimu!"

***

Sementara itu, peristiwa mengenaskan yang baru saja terjadi membuat Kepala Kampung terkejut. Dia yang baru saja pulang dari kota, mendapati tragedi mengerikan tersebut.

Malam itu juga dia menyuruh semua warga berkumpul. Mencari tahu siapa yang telah meletupkan malapetaka mengerikan itu.

"Waluyo, Pak!" Terdengar seseorang berteriak. "Dia yang memprofokasi warga. Kita semua tersulut emosi karena kata-katanya, Pak!"

"Wendon! Di mana Waluyo sekarang?"

"Saya ... di sini, Pak Kepala!" Seorang lelaki muda berusia 25 tahun mengangkat tangan. Wajahnya takut sembari menundukkan kepala.

Kepala Kampung mengusap wajahnya gusar. Kenyataan ini benar-benar membuatnya geram. Waluyo adalah adiknya sendiri. Bagaimana bisa dia menurunkan hukum untuk kesalahan yang telah diperbuat adiknya itu.

"Apa kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan, Waluyo?"

Waluyo terdiam. Namun, wajahnya tidak lagi merunduk.

"Kau baru saja menggerakkan masa untuk membunuh perempuan tua dan perempuan hamil! Kau sadar betapa jahatnya kelakuanmu itu?"

Waluyo bergerak mendekat. "Sudahlah, Bang! Seharusnya abang berterima kasih kepadaku. Perempuan sundal itu sudah sepantasnya mati. Dia telah mencemari kampung kita dengan aib. Apa kata desa tetangga jika tahu akan hal ini? Abang juga yang akan susah."

Kepala Kampung dan penduduk lainnya melengak kaget. Tidak menduga kalau Waluyo tidak takut sama sekali.

"Kita semua di sini terlibat. Kita telah sepakat untuk mengenyahkan wanita murahan tersebut. Jadi kalian tidak boleh menyalahkan aku saja. Ini demi kebaikan kampung! Demi kebaikan kita bersama! Memang terlihat kejam dan jahat. Namun, jika tidak begitu, hukum tidak akan pernah tegak di kampung ini."

Gumaman warga serupa desingan mesin-mesin pabrik. Berisik. Sebagian mengaminkan, sebagian tidak setuju dengan ucapan Waluyo.

"Pokoknya, semua yang terlibat malam ini harus tutup mulut rapat-rapat. Biarkan peristiwa ini terkubur di dalam hati masing-masing. Selama kita bisa merahasiakan kejadian ini, kita aman!"

Hanya keheningan yang menjawab ucapan lantang seorang Waluyo. Dia berdiri dengan pongah di samping abangnya, Sang Kepala Kampung.

"Sekarang, kita pulang dan besok kita rapikan tempat kebakaran tersebut. Kunci mulut kalian rapat-rapat! Ingat, jika sampai bocor ke telinga penduduk kampung lain, maka aku tidak segan-segan membunuh kalian!"

Waluyo mengacungkan tangannya ke udara.

Dor!

Andai Waluyo sadar, kalau malam itu istrinya juga melahirkan di rumah sakit. Namun, ia malah sibuk membakar rumah Hamidah.

Akankah takdir akan mempertemukan mereka kembali? Di mana mata rantai baru saja tercipta. Dan ujung kematian akan menghampiri hidup seorang Waluyo.