webnovel

Lampu Hijau

Vidwan tertegun beberapa saat. Ia merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.

Benarkah apa yang baru saja ditangkap indera pendengarannya?

Benarkah Grisse menuntut yang lebih lagi?

Benarkah itu yang dikatakan Grisse?

Benarkah?

Benarkah?

Kepala Vidwan dipenuhi berbagai pertanyaan yang ia lontarkan hanya untuk dirinya sendiri.

Vidwan berdeham untuk memecah keheningan di antara dirinya dan Grisse.

"Vidwan…." Panggilan Grisse membuat Vidwan tanggap. Untuk sesaat ia menghentikan gerakan tangannya.

"Iya, Grisse."

"Apa yang kau lakukan padaku?"

"Aku hanya membantumu menghilangkan penat."

Grisse menghela napasnya yang terasa sesak dengan susah payah. Entah apa penyebab rasa sesak yang tengah menderanya kini. Apakah sesak karena terlalu lama tengkurap atau desakan gairah yang menuntut pemuasan. Entahlah, Grisse tidak tahu persisnya. Dan ia pun mengeluhkan apa yang dirasakannya pada Vidwan.

"Aku merasa sesak napas, Vidwan."

"Mungkin karena kau terlalu lama tengkurap. Telentanglah, Grisse. Aku akan memijat bagian tubuhmu yang lain."

Grisse menuruti kata-kata Vidwan. Gadis itu pun serta merta membalik badannya. Kini ia berada dalam posisi telentang. Matanya menatap langit-langit kamar Vidwan yang berwarna putih bersih. Perlahan, Grisse mengubah posisi sepasang lengannya menjadi ke atas sehingga memperlihatkan bagian ketiaknya yang bersih dan putih. Kedua telapak tangannya ia tautkan di atas kepala. Grisse merasa benar-benar rileks sekarang.

Sial!

Vidwan memaki dirinya sendiri karena kini ia semakin terbakar setelah melihat tubuh telentang Grisse yang terlihat seperti menantang dirinya. Satu tangan Vidwan berpindah pada miliknya yang telah menegang.

Sungguh sial. Miliknya sudah sangat keras.

"Bagaimana sekarang, apa kamu masih merasa sesak napas?" Tanya Vidwan sambil mendekati wajah Grisse. Maksud hati ingin melihat ekspresi Grisse ketika menjawab, tapi apa daya. Semua yang ada padaSepasang payudara Grisse yang bulat penuh dengan puncak yang teracung karena tegang membuat Vidwan teralihkan. Jiwa kelelakian Vidwan meronta semakin kuat. Pusat dirinya pun telah mengeras dan teracung. Dan… Grisse melihat milik Vidwan yang tercetak cukup jelas dibalik celana dalam milik lelaki itu ketika ia menundukkan pandangan, hendak melihat Vidwan.

"Apa kamu baik-baik saja, Vidwan?" Grisse melihat peluh membasahi dahi Vidwan.

"Melihatmu seperti ini? Tentu saja aku tidak baik-baik saja, Grisse."

"Rasanya aku ingin segera menjamahmu, Grisse. Kau dan tubuhmu adalah siksaan terberat untukku. Seandainya…."

"Seandainya apa?" Sambar Grisse cepat.

"Seandainya aku tidak mencintaimu, pasti aku sudah merenggut kegadisanmu sejak tadi."

Sepasang mata Grisse membelalak setelah mendengar pengakuan yang meluncur dari mulut Vidwan. Laki-laki dewasa ini, dosennya, guru bahasa Sansekerta serta pelatih yoganya, mencintainya. Cinta. C-i-n-t-a. Benarkah Vidwan sungguh-sungguh mencintainya? Rasanya terlalu cepat kata itu diucapkan Vidwan. Dan tentu saja, seharusnya, terlalu dini bagi Grisse untuk mempercayai semua yang dikatakan Vidwan. Namun, lagi-lagi, ada satu sudut dalam hati Grisse yang sudah melambung mendengar pernyataan cinta dari Vidwan.

Dan apa tadi yang dikatakan oleh pria itu? Merenggut kegadisannya? Ya Tuhan, Grisse langsung bergidik membayangkan hal itu menimpa dirinya.

"Grisse."

"Ya?"

"Izinkan aku."

"Untuk apa?"

Vidwan terdiam. Grisse juga terdiam. Ia menunggu apa yang akan dikatakan Vidwan selanjutnya.

"Katakan padaku, Vidwan."

Vidwan tampak ragu. Namun, sorot mata teduh Grisse disertai anggukan gadis itu membuat Vidwan membuang jauh keraguannya.

"Izinkan aku untuk membuatmu menjadi wanita dewasa."

"Maksudnya?"

"Aku ingin menjadi yang pertama untukmu, Grisse. Kumohon bercintalah denganku."

Grisse kembali menatap langit-langit kamar Vidwan. Ia tampak berpikir sejenak. Grisse tahu ia tidak boleh gegabah, terburu-buru membuat keputusan, tapi sosok Vidwan yang tampan terlalu sayang untuk dilewatkan.

Perlahan, Grisse bangun kemudian duduk. Setelah beberapa saat, Grisse merangkak mendekati Vidwan. Sepasang buah dadanya yang menggantung dan bergerak seiring gadis itu merangkak membuat Vidwan tidak tahan. Vidwan mendesah. Kepalanya pusing karena gairah yang tertahan.

"Vidwan." Bisik Grisse lembut setelah gadis itu berada pada jarak yang cukup dekat dengan Vidwan. Vidwan berdeham sebagai jawaban.

"Kamu sudah membuatku merasakan semua hal baru ini. Dan… Sialnya, aku menginginkan itu lagi."

"Apa maksudmu, Grisse?"

"Aku percaya padamu, Vidwan."

Bola mata Vidwan berbinar. Ia merasa senang karena Grisse sudah memberinya lampu hijau. Seolah enggan menunda lebih lama, Vidwan pun menyambar bibir Grisse kemudian melumatnya. Grisse yang masih belum terbiasa, tidak membalas lumatan bibir Vidwan.

"Ikuti nalurimu, Grisse?" Ujar Vidwan setelah menyudahi lumatannya.

"Aku tidak tahu." Jawaban polos Grisse membuat Vidwan tersenyum mendapati bahwa Grisse masihlah seorang gadis polos. Ya, Grisse yang masih belum mampu merespons sentuhan bibirnya tentulah layak disebut polos.

"Ikuti apa yang hati dan dirimu inginkan, Sayang." Vidwan membelai wajah Grisse sembari menepikan anak rambut yang menempel di kening Grisse yang basah oleh peluh.

Grisse mengangguk kemudian menunduk. Ia merasa bersalah karena merasa dirinya mengganggu kesenangan yang akan diberikan Vidwan padanya.

"Maaf."

"Hey, ini bukan salahmu. Aku tahu kamu belum terbiasa."

"Tapi aktivitas kita jadi terganggu."

Vidwan menangkup pipi Grisse. Dibisikkannya kata-kata untuk membuat gadis itu tenang dan berhenti merasa bersalah.

"Aku akan bersabar untuk mengajarimu terbiasa dengan semua ini, Grisse."

"Oh, Vidwan." Grisse memeluk Vidwan tanpa canggung. Lama mereka berpelukan, dan Grisse masih belum menunjukkan tanda-tanda bahwa gadis itu akan menyudahi pelukannya. Vidwan kembali mencoba menikmati pelukan Grisse. Hingga kemudian telinga Vidwan menangkap isakan lembut Grisse. Serta merta Vidwan mengurai pelukan Grisse kemudian menatap gadis di hadapannya dengan ekspresi bingung.

"Kenapa, Grisse?"

"Aku takut."

"Apa yang membuatmu takut?"

Grisse masih terisak, tapi gadis itu berusaha untuk menghentikan isakannya.

"Aku takut kamu pergi."

"Maksudmu?"

"Aku takut dicampakkan setelah kamu mendapatkan semuanya, Vidwan."

Vidwan tertegun. Ia paham apa maksud dari ucapan Grisse. Dan ketika Grisse menunduk untuk menyeka sisa-sisa air mata yang membasahi wajahnya, Vidwan menampilkan senyuman yang lebih mirip seringai.

"Apa yang kamu inginkan, Grisse?" Pertanyaan Vidwan yang lebih tepatnya sebagai pancingan untuk Grisse. Dan, kepolosan serta keluguan Grisse membuat gadis itu menjawab pertanyaan Vidwan dengan mudahnya.

"Aku ingin kamu menikahiku."

Tepat sekali! Sorak Vidwan dalam hati. Ia tahu bahwa gadis baik-baik seperti Grisse membutuhkan ikatan dan kepastian dalam hubungan.

Ketika pandangan Grisse dan Vidwan bertemu, tanpa ragu lelaki itu mengucapkan kalimat yang ia yakin akan membuat Grisse senang.

"Maukah kau menjadi istriku, Grisse?" Tanya Vidwan tanpa melepas pandangannya pada sosok Grisse yang langsung berubah ekspresinya: semringah.

***