webnovel

Haruskah Kembali?

Kau bilang ingin kembali? Apakah kau lupa tentang pengkhianatan yang kau beri? Kau bilang maaf? Aku sudah memaafkanmu, namun luka ini terlanjur menancap di hati. Kau bilang beri kesempatan sekali lagi? Aku sendiri tidak tahu, apakah hati ini masih untukmu. Aku begitu mencintaimu, hingga aku letakan sumber kebahagiaanku padamu. Aku yakin kamupun begitu mencintaiku. Bagiku, kamu sungguh suami luar biasa. Namun, kejadian dua tahun silam, membuatku tidak lagi percaya denganmu. Cinta dan kesetiaanmu telah kau bagi dengan yang lain. Meski kamu mengatakan maaf dan itu sebuah kesalahan, namun kepercayaan tak bisa lagi aku pertahankan. Aku putuskan pergi dari hidupmu dengan membawa hati yang pilu.

DYAR · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
12 Chs

Mengenang yang Dulu

Di tempat lain, yaitu kampus yang akan menjadi tempat Fitri mengajar, Fitri sedang ngobrol serius dengan Irwan. Mereka membicarakan jadwal mengajar Fitri sebagai asisten Pak Emanuel.

"Ir kamu tau kan saat ini aku ngajar di Boarding School? Kemarin ketua yayasan ngizinin aku ngajar di sini dengan catatan tidak boleh ngeganggu jadwal ngajar aku di sana. Jadi sebisa mungkin jangan sampai ada jadwal yang bentrok." Fitri membeberkan.

"Jadwal Pak Imanuel yang biasanya selalu berhalangan hadir cuma hari Selasa dan Kamis di kelas A, B, C, dan D, masing-masing dua SKS. Jam ngajarnya dari pukul 13.00 sampai pukul 16.30. Nah kamu hanya mengisi jamnya beliau hari itu aja." Jelas Irwan.

Mendengar penjelasan Irwan, Fitri merasa sangat lega karena jadwalnya tidak bentrok dengan di sekolah.

"Alhamdulillah... Hari yang tepat. Oke aku siap. Kebetulan Selasa dan Kamis disana aku ngajar sampe dzuhur." Ucap Fitri dengan senyum mengembang sempurna.

"Brarti udah fix ya Fit?" Irwan meminta kepastian.

"Insya Allah fix Ir". Fitri menjawab dengan mantap.

"Oke, deal ya". Ucap Irwan sambil menjabat tangan Fitri, tanda mereka sudah mencapai kesepakatan.

"Oh ya kapan aku mulai ngajarnya?". Lanjut Fitri.

"Selasa depan. Tepatnya tiga hari lagi. Untuk kelengkapan ngajar termasuk materi perkuliahan nanti kamu konsultasikan langsung dengan Pak Emanuel. Sebentar lagi beliau ke sini."

"Oke siap." Seru Fitri.

Setelah kurang lebih lima belas menit menunggu, akhirnya Pak Emanuel datang.

"Hallo Fitri. Apa kabar?" Sapa Pak Emanuel.

"Alhamdulillah sehat. Bagaimana dengan bapak?" Fitri balik menyapa.

"Ya seperti yang kamu lihat saat ini, segar bugar. Cuma akhir-akhir ini kesibukan saya meningkat."

"Bolak-balik Sukabumi terus ya Pak buat ngurusin kampus cabang baru?"

"Iya nih Fit, jadi kadang saya terpaksa absen ngajar. Maka dari itu saya pengen kamu jadi asisten saya. Jadi ketika saya berhalangan hadir, kamu bisa handle. Oh iya sekarang kesibukan kamu apa?"

"Saya mengajar siswa SMA di Boarding School Pak."

"Tapi kamu ada waktu kan buat ngeasistenin saya?"

"Insya Allah Pak".

"Irwan udah cerita kan sama kamu mengenai jadwal ngajarnya?"

"Sudah bapak."

"Tidak bentrok kan sama jam ngajar kamu?" Tanya Pak Emanuel memastikan.

"Kebetulan hari Selasa dan Kamis jadwal saya sampe dzuhur. Jadi aman Pak." Jujur Fitri.

"Oke. Brarti kamu siap ngajar ya Selasa lusa?" Antusias Pak Emanuel.

"Insya Allah Pak siap. Mohon bimbingannya dari Bapak". Balas Fitri sambil sedikit menganggukan kepala dan membungkukan badan.

"Ya sudah pasti. Lagi pula kamu sangat mumpuni di mata kuliah ini, jadi saya tidak ragu dengan kemampuan kamu. Saya percayakan semuanya sama kamu jika saya sedang berhalangan mengajar".

"Insya Allah saya akan menunaikan kepercayaan yang sudah bapak berikan sebaik mungkin".

Obrolan antara Fitri dan Pak Emanuel semakin lama semakin serius. Pak Emanuel memberikan arahan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan Fitri sebagai asisten beliau.

"Pokoknya bantu saya selagi saya butuh bantuan kamu ya. Saya sering bolak-balik Sukabumi, jadi pasti beban ngajar saya sering dialihkan ke kamu!"

"Insya Allah Pak, selagi saya bisa, pasti akan saya lakukan semaksimal mungkin".

"Oke. Saya percaya sama kamu".

Pak Emanuel menjabat tangan Fitri, tanda mereka sudah sepakat. Kemudian beliau pamit pergi menuju ke urusan lainnya.

Sepeninggalan Pak Emanuel, Fitri pun bermaksud untuk segera pamit. Tapi tiba-tiba dia bertemu dengan Rizal, kakak kelasnya dulu yang pernah menunjukkan ketertarikan padanya sewaktu mereka masih kuliah.

"Hai Fit apa kabar? Lama ya kita ga ketemu". Sapa Rizal sambil menyunggingkan sedikit senyum manisnya.

"Alhamdulillah sehat. Kak Rizal sehat?" Jawab Fitri sambil membalas senyum Rizal.

"Alhamdulillah aku juga sehat. Oh ya kamu jadi ngajar disini?"

"Insya Allah jadi Kak".

"Syukurlah... Ngomong-ngomong sekarang kesibukan kamu apa?"

"Aku ngajar di SMA Islamic Boarding School kak".

"Ngajar mata pelajaran apa".

"Ekonomi Kak".

"Bagus linier sesuai jurusan kamu".

"Iya Kak alhamdulillah".

"Udah lama ngajar di sana?"

"Alhamdulillah udah mau tiga tahun kak".

"Udah lumayan lama juga ya. Sekarang kamu tinggal dimana?"

"Aku tinggal di asrama Kak. Guru di sana kan wajib asrama".

"Lha terus suami kamu gimana? Apa emang kalian ngajar barengan juga di sana?"

"Aku belum punya suami Kak". Jawab Fitri sambil menggelengkan kepala.

"Oh aku fikir kamu udah nikah, hehe..."

"Kak Rizal sendiri udah punya anak berapa?" Antusias Fitri.

"Aku juga sama Fit belum nikah. Kamu sih nggak mau sama aku. Coba kalau waktu itu mau sama aku, mungkin kita udah punya anak tiga".

"Ah kakak bisa aja, hehe..." Wajah Fitri berubah semu merah.

"Eh malah cengengesan lagi." Kesal Rizal.

"Emang dulu kakak beneran ya suka sama aku?" Selidik Fitri.

"Emang kamu fikir aku becanda?" Rizal balik bertanya.

"What? Gue ga salah denger kan? Loe pernah suka sama Fitri kak? Kok gue ga pernah tau ya?" Tiba-tiba Irwan mengagetkan keduanya.

"Lha apa urusannya sama loe. Yang gue sukai dulu itu Fitri bukan Loe, jadi mana mungkin lah loe tau. Tapi apesnya, dia nolak gue tuh Ir". Ucap Irwan sambil menampakkan ekspresi lesu.

"Bukan gitu Kak, dulu aku ngrasa aneh aja, cowok se-cool dan secerdas kakak masa iya sih naksir aku". Ucap Fitri sambil pura-pura tidak mengerti.

"Hmmm Fitri... Fitri..." Rizal menggeleng-gelengkan kepala mendengar respons Fitri.

"Jadi dulu aku kurang begitu meyakinkan ya saat mengungkapkannya?" Rizal kembali bertanya sambil memasang muka serius.

"Iya. Lagi pula dulu kan aku kuliah masih semester enam kak, mana kefikiran lah buat nikah". Fitri menjawab seadanya.

"Yey siapa juga yang mau langsung ngajak nikah. Maksud aku, pendekatan dulu lah, ga mungkin langsung nikah kan? Lagi pula aku juga waktu itu baru lulus kuliah, mana ada duit buat nikah". Ucap Rizal sambil garuk-garuk kepala yang nyatanya tidak gatal sama sekali.

"Jiahaha... yang lagi pada nostalgia, lupa apa kalau disini ada gua". Irwan kembali berkicau. Fitri dan Rizal pun berbarengan menoleh ke arah Irwan. Lalu Rizal segera menimpalinya.

"Nimbrung mulu nih bocah kerjaannya".

"Cih dasar". Decak Irwan dengan nada kesal.

"Sebenernya gue agak heran sama loe Kak. Tumben-tumbennya loe ke sini. Biasanya juga jarang-jarang kan loe ke sini? Loe ke sini mau ketemu Fitri ya?" Sambung Irwan lagi.

"Hahaha... Itu loe tau". Rizal menjawab sambil ketawa.

"Apa-apaan sih kalian ini, makin ga jelas aja deh. Oh ya kalau gitu aku pamit pulang aja ya, kebetulan ini udah sore". Pinta Fitri.

"Kamu bawa kendaraan?" Tanya Rizal.

"Aku pake angkutan umum Kak." Jujur Fitri.

"Oh ya udah kalau gitu hati-hati ya". Balas Rizal.

"Cie... Yang lagi sok perhatian. Anterin napa, ini kan udah sore." Serbu Irwan.

"Maunya sih gitu, tapi aku masih banyak kerjaan nih." Sesal Rizal.

"Kalau masih banyak kerjaan kenapa kakak sempet-sempetnya ke ruangan gue dan bernostalgia sama Fitri". Ledek Irwan.

"Gue ke sini ada perlu sama loe dodol..." Seru Rizal kesal.

"Hehehe... Kalian ini lucu deh. Ya udah Kak Rizal, Irwan, aku pulang duluan ya ini udah makin sore. Assalamu'alaikum".

"Wa'alaikumsalam". Jawab Rizal dan Irwan berbarengan.

Sepeninggalan Fitri, Rizal dan Irwan kembali melanjutkan obrolannya. Kali ini tentang pekerjaan mereka, yang sama-sama bekerja di kampus itu. Meskipun beda divisi, tapi mereka memiliki garis koordinasi langsung.