webnovel

Haruskah Kembali?

Kau bilang ingin kembali? Apakah kau lupa tentang pengkhianatan yang kau beri? Kau bilang maaf? Aku sudah memaafkanmu, namun luka ini terlanjur menancap di hati. Kau bilang beri kesempatan sekali lagi? Aku sendiri tidak tahu, apakah hati ini masih untukmu. Aku begitu mencintaimu, hingga aku letakan sumber kebahagiaanku padamu. Aku yakin kamupun begitu mencintaiku. Bagiku, kamu sungguh suami luar biasa. Namun, kejadian dua tahun silam, membuatku tidak lagi percaya denganmu. Cinta dan kesetiaanmu telah kau bagi dengan yang lain. Meski kamu mengatakan maaf dan itu sebuah kesalahan, namun kepercayaan tak bisa lagi aku pertahankan. Aku putuskan pergi dari hidupmu dengan membawa hati yang pilu.

DYAR · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
12 Chs

Lelah

Di sebuah asrama ukuran 16x18 meter, di dalam kamar ukuran 3x3 meter, Fitri sedang merenungi kembali keputusan yang dia ambil dua hari yang lalu, saat dirinya kembali menolak laki-laki yang kakak sulungnya pilihkan untuknya. Dia sadar kalau dirinya sudah membuat kedua kakaknya kembali marah. Bahkan mungkin kemarahan mereka saat ini sudah sampai di puncaknya. Meskipun menyadari hal itu, namun dia tetap teguh pada keputusannya. Hatinya benar-benar menolak laki-laki itu. Hasil istikharahnya selama satu minggu, tidak memberikan petunjuk apa-apa, dan menurutnya laki-laki itupun tidak sesuai dengan kriterianya. Dia sangat yakin, kalau dia mendapati sorot mata nakal dan serakah dari laki-laki tersebut, hingga bulu kuduknya langsung merinding membayangkan kalau dia jadi istrinya.

Fitri kembali membuang nafas dalam-dalam. Dia benar-benar pusing memikirkannya. Lelah dengan keadaan yang terus membuat kedua kakaknya marah dan kecewa. Namun, dia sendiri tidak mau kalau harus sampai memaksakan diri menerima perjodohan yang jelas-jelas tidak dia inginkan.

Laki-laki yang dikenalkan dengannya, selalu bertolak belakang dengan kriterianya. Baginya, rumah tangga yang bahagia itu bukan hanya dilihat dari harta yang melimpah ruah. Hidup sederhana namun hati selalu tenang, merasa dekat dengan Allah, saling mencintai karena Allah, dan berjuang bersama di jalan Allah dalam meraih ridho-Nya, itulah bentuk keluarga yang dia inginkan. Maka dari itu, dia ingin memiliki suami yang faham akan agama.

Fitri kembali memejamkan mata, kemudian menghembuskan nafas dalam-dalam, saat ingat kalau besok dia harus menemui kakak sulungnya. Dia harus mempertanggungjawabkan penolakannya terhadap pengusaha kaya raya itu dua hari yang lalu. Sungguh, hal ini membuat hatinya lelah. Dia takut kakaknya murka ketika mendengarnya memberikan kembali alasan yang sama atas penolakannya. Dia yakin, kali ini kakaknya akan marah besar padanya. Tapi apa yang harus dia perbuat? Apakah dia tidak usah datang saja? Kalau tidak datang, justru itu akan semakin membuat kakaknya marah. Sampai pada akhirnya lamunannya terbuyarkan oleh suara ketukan pintu kamar dari luar.

"Assalamu'alaikum... Fitri ini aku Nara. Bukain dong pintunya. Kamu udah tidur belum?"

"Wa'alaikumsalam, iya bentar". Sahut Fitri.

Tidak menunggu waktu lama, pintu kamar Fitri buka. Melihat pintu terbuka, Nara neloyor begitu saja memasuki kamar Fitri, yang kemudian diikuti oleh Fitri dari belakang.

"Ra kok wajah kamu ditekuk gitu, ada apa sih?".

"Aku lagi kesel sama calon suamiku".

"Kesel kenapa emangnya? Bukannya tadi sore kamu masih baik-baik aja sama calon suamimu itu? Aku liat tadi kamu terima telpon darinya dengan raut muka yang sumringah".

"Ya itu tadi, tapi sekarang lain lagi ceritanya. Aku kesel, karna dia ingin setelah nikah, aku di rumah aja jadi ibu rumah tangga sejati. Dia bilang dia ingin memuliakan aku, ga mau bikin aku cape, ga mau liat aku banyak interaksi dengan laki-laki. Ah banyak banget deh alibinya."

"Kenapa kamu musti marah? Niatnya baik lho ingin memuliakan kamu."

"Tapi aku masih ingin kerja. Aku ga biasa diam di rumah. Ga kebayang hari-hariku dipenuhi dengan aktivitas yg membosankan. Bersih-bersih rumah, abis itu terus duduk melamun sambil nunggu kepulangan dia kerja tiap hari. Yang ada aku jadi stres dengan rutinitas yang membosankan kaya gitu".

"Ya kalau banyak waktu luang kamu isi dengan hal-hal yang positif lah, sholat dhuha, ngaji, baca-baca buku yang bermanfaat, atau apa gitu biar kamu ga bosen di rumah. Kamu kan belum mencobanya. Ingat lho tugas paling mulia seorang istri itu ya melayani suami. Ridho Allah ada pada ridho suami. Siapa tau nanti kamu langsung hamil, terus ga lama jadi seorang ibu. Insya Allah ga akan jenuh, malah akan terasa nikmat jika kamu bener-bener menikmati prosesnya".

"So tau loe!" Elak Nara.

"Eh... Dibilangin malah bilang so tau. Dasar kamu ini". Ucap Fitri sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Entahlah". Jawab Nara dengan wajah tidak bersemangat.

"Oh ya dua bulanan lagi kan ya kamu nikah?" Tanya Fitri.

"Tepatnya empat puluh sembilan hari lagi". Nara memberikan penekanan pada instonasi bicaranya.

"Hahaha... Kayaknya hari demi hari kamu hitung dengan telaten banget deh. Udah ga sabar lagi pengen cepet dihalalin ya?" Goda Fitri.

"Ah ga gitu juga. Tapi iya juga siiiih hihihi..." Jawab Nara sambil cengengesan.

"Huh dasar!!! Moga segala sesuatunya berjalan lancar ya sampai hari H-nya".

"Aamiin... Terus kamu kapan nyusul? Masa iya terus-terusan nolak setiap laki-laki yang kedua kakakmu jodohkan?"

"Entahlah Ra aku juga bingung. Kadang aku ngerasa bersalah sama kedua kakak aku, karena selalu menolak niat baik mereka".

"Nah itu kamu nyadar. Kalau gitu kenapa kamu ga coba untuk menerima salah satunya".

"Gila kamu. Emangnya nikah itu ajang coba-coba?"

"Maksud aku bukan asal terima, tapi kamu coba jalani dulu sambil saling mengenal karakter masing-masing. Istilah lainnya ta'aruf gitu deh, siapa tau kalau dijalani dulu nanti timbul kecocokan."

"Kedua kakak aku tidak memahami kata ta'aruf. Tiap kali aku minta informasi tentang laki-laki yang mereka kenalkan, selalu aja bilang kalau aku ini ribet. Mereka bilang ga mungkin mereka mau menjerumuskan adik sendiri, sudah pasti laki-laki yang mereka kenalkan itu baik dan memiliki karir menjanjikan. Aku bingung harus gimana lagi selain bilang minta waktu beberapa hari buat istikharah dulu".

"Dan tiap kali ditanya hasil istikharah kamu, pasti selalu berakhir dengan penolakan, iya kan?" Ucap Nara sambil ketawa dan tepok jidat.

"Ish kamu kok tega sih ngetawain aku? Terus aku harus gimana coba? Minta info tentang mereka? Kakakku bilang mereka itu baik, malah kadang jadi sewot jawabnya. Ya pegangan aku satu-satunya hanya istikharah. Tapi emang hasil istikharahnya itu ngblank. Aku juga bingung kenapa kaya gitu mulu. Seolah-olah hati aku nolak".

"Kamu pernah minta waktu buat ngenalin dulu mereka ga sebulan dua bulan gitu?"

"Pernah. Cuma ya itu dia, kakak aku malah marah sama aku. Dia bilang kalau ujung-ujungnya aku nolak mending ga usah ada acara gituan segala. Karena semua cowok yang kedua kakak aku kenalkan itu bukan lagi ABG yang punya banyak waktu buat pacaran, gitu katanya."

"Tapi ta'aruf kan beda sama pacaran Fit".

"Iya, tapi kedua kakak aku taunya ta'aruf itu kaya pacaran. Segimanapun aku jelasin, tetep aja mereka bilang aku itu terlalu mengada-ngada. Maunya mereka, aku langsung terima. Terus ga lama setelah itu langsung nikah. Ya mana aku mau lah nikah dengan orang yang sama sekali aku ga punya informasi jelas tentang mereka".

"Ah aku jadi pusing denger curhatan kamu. Entah kamu yang terlalu ribet, atau emang kedua kakakmu yang terlalu yakin dengan cowok yang mereka pilihkan untukmu. Yang jelas, banyak juga wanita menikah tanpa melakukan ta'aruf, tapi rumah tangga mereka harmonis dan awet".

"Iya juga sih. Intinya, laki-laki yang kedua kakak aku kenalin itu masih belum sesuai kriteria aku. Mungkin karena itu hatiku enggan untuk menerimanya".

"Nah kalau alasannya gitu aku faham. Makanya segeralah bawa cowok yang sesuai kriteriamu itu pada kedua kakakmu, biar kamu ga terus-terusan bikin mereka kesal".

"Aku pernah bawa laki-laki yang sesuai kriteriaku pada kedua kakakku, tapi berujung pada penolakan". Fitri menjawab sambil menunduk menahan tangis putus asanya.

"Oh iya kamu pernah cerita masalah itu sama aku dua tahun yang lalu. Kedua kakakmu menolak cowok yang kamu bawa hanya karena dia dari keluarga sederhana kan? Ah fikiran kedua kakakmu itu bener-bener ga masuk di akal fikiran kita".

"Terlalu banyak perbedaan diantara kami tentang cara kami memandang hidup ini Ra, hingga aku selalu membuat mereka tersulut emosi. Aku lelah dengan sikap keduanya yang selalu memandang materi sebagai sumber kebahagiaan. Aku cape Ra. Kadang aku berfikir apa terima aja perjodohan yang kakakku buat. Tapi hatiku ga rela ngambil tindakan itu, takut jika kelak rumah tangga kami berlabuh di pelabuhan yang salah". Fitri semakin menunduk dan mulai sesenggukan.

"Ayo keluarin semua beban yang ada di hatimu biar lega, jangan ditahan. Tarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan sekuat-kuatnya". Ucap Nara sambil nepuk-nepuk punggung Fitri.

"Makasih kamu selalu dengerin curhatan aku." Ucap Fitri setelah selesai menangis dan menutupnya dengan hembusan nafas yang sangat kuat.

"Teruslah berdoa sama Allah, agar kamu segera dipertemukan dengan jodoh yang sesuai kriteriamu itu. Jangan putus asa dalam berdoa. Tambahkan lagi kekuatan doamu itu agar segera Allah kabulkan".

"Insya Allah Ra. Makasih ya atas semuanya. Makasih kamu udah dengerin semua curhatan aku dan bikin aku sedikit lega, padahal hati kamu sendiri lagi kurang baik".

"Aku malah jadi lupa dengan suasana hatiku, karena isakan kamu tadi". Sambil mendelikan matanya sebagai isyarat mengejek Fitri.

"Hehehe... Syukurlah kalau curhatan aku bikin suasana hati kamu membaik".

"Siapa bilang membaik, malah semakin kacau tauuu". Jawab Nara sambil memanyunkan bibirnya.

"Hehehe... Maaf deh...". Balas Fitri dengan mengatupkan kedua tangannya di dada sambil memelas meminta maaf.

"Hahaha... Udah biasa kaliiii". Jawab Nara sambil ketawa terbahak.

Akhirnya obrolan merekapun selesai dan Nara kembali ke kamarnya untuk tidur. Sedangkan Fitri, kembali berbaring sambil mencoba memejamkan matanya yang sulit untuk terpejam, karena masih memikirkan bagaimana dia menghadapi sikap kakak sulungnya besok.

Fitri terus membolak-balikan badan dengan penuh gelisah. Karena rasa ngantuk benar-benar jauh darinya, akhirnya dia bangun dan mengambil Wudhu, lalu shalat istikharah meminta petunjuk. Setelah itu, dia lanjutkan dengan berdoa dan tilawah. Saat berdoa, air matanya terus mengalir. Begitupun ketika tilawah, air matanya mengalir makin deras. Setelah menghabiskan dua lembar Al-Qur'an, akhirnya dia tertidur dengan mukena yang masih dia pakai dan al Qur'an yang masih dalam keadaan terbuka.