webnovel

Haruskah Kembali?

Kau bilang ingin kembali? Apakah kau lupa tentang pengkhianatan yang kau beri? Kau bilang maaf? Aku sudah memaafkanmu, namun luka ini terlanjur menancap di hati. Kau bilang beri kesempatan sekali lagi? Aku sendiri tidak tahu, apakah hati ini masih untukmu. Aku begitu mencintaimu, hingga aku letakan sumber kebahagiaanku padamu. Aku yakin kamupun begitu mencintaiku. Bagiku, kamu sungguh suami luar biasa. Namun, kejadian dua tahun silam, membuatku tidak lagi percaya denganmu. Cinta dan kesetiaanmu telah kau bagi dengan yang lain. Meski kamu mengatakan maaf dan itu sebuah kesalahan, namun kepercayaan tak bisa lagi aku pertahankan. Aku putuskan pergi dari hidupmu dengan membawa hati yang pilu.

DYAR · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
12 Chs

Akibat Tidak Menuruti Nasihat Orang Tua

Hasbi adalah pemuda biasa dari keluarga sederhana. Dia anak bungsu dari tiga bersaudara. Sejak kecil, Hasbi sudah belajar hidup prihatin. Keadaan ekonomi yang serba pas-pasan, membuat Hasbi kecil minder dan selalu menjadi bahan bully-an teman-temannya. Hasbi tidak pernah protes dengan keadaan itu. Dia tetap menikmati hidupnya dengan penuh kepolosan.

Hasbi lahir dari keluarga yang religius. Ayah Hasbi merupakan salah satu ustadz di kampungnya, sehingga didikan agama begitu kental dalam keluarganya.

Ketika usia lima tahun, Hasbi sudah bisa membaca Al-Qur'an. Di usia tujuh tahun, Hasbi sudah khatam Qur'an. Di madrasah Diniyah, Hasbi kecil selalu mendapatkan peringkat tiga besar. Sedangkan di madrasah Ibtidaiyah sampai Madrasah Tsanawiyah, Hasbi selalu memperoleh peringkat sepuluh besar. Peringkat empat, lima, dan enam sudah menjadi langganannya saat itu. Meskipun dibilang memperoleh peringkat yang lumayan baik, tapi Hasbi masih tetap menjadi Hasbi yang minder dan selalu termarjinalkan.

Baru ketika menginjak sekolah Madrasah Aliyah, rasa percaya diri Hasbi muncul, berkat bimbingan dari guru BK dan wali kelasnya. Hasbi mulai aktif di berbagai organisasi sekolah, mulai dari OSIS, Pramuka, bahkan Praskibra. Hasbi yang dulu termarjinalkan, kini berubah menjadi Hasbi yang mulai diperhitungkan.

Keaktifannya dalam berbagai organisasi sekolah, kemampuan akademisnya yang tidak diragukan lagi, keterampilan berbicaranya yang selalu berhasil menghipnotis lawan bicaranya, sikap santunnya, kerendahan hatinya, kesederhanaan penampilannya, dan ketampanannya, membuat Hasbi cepat dikenal di seantero lingkungan sekolah. Terlebih ketika kelas XI dia menjadi ketua Praskibra. Sungguh, Hasbi yang dulu seperti butiran debu telah berubah bak mutiara di lautan samudra. Keberadaannya selalu berhasil menjadi pusat perhatian.

Selesai menuntaskan pendidikannya di Madrasah Aliyah, Hasbi tidak berani mengungkapkan keinginannya untuk kuliah seperti teman-temannya saat itu. Dia tidak mau menjadi beban kedua orang tuanya.

Baru dua tahun yang lalu kakak keduanya menyelesaikan sekolah keperawatan, dan baru lima bulan yang lalu orang tuanya bisa merdeka dari hutang-hutang bekas menyekolahkan kakak keduanya. Hasbi tidak tega kalau sampai dia harus menyaksikan ayah ibunya berhutang sana sini lagi untuk menguliahkannya.

Dulu, dia sering menyaksikan pertengkaran kecil orang tuanya, hanya karena kesulitan dalam mencari pinjaman untuk biaya kuliah kakak keduanya. Dia tidak mau kejadian itu terulang kembali. Sekalipun kuliah di universitas yang mampu memberinya beasiswa, dia sungguh tidak ada keberanian untuk mengutarakannya. Akhirnya dia simpan keinginannya itu di lubuk hatinya yang terdalam.

Dua bulan lamanya dia menganggur dari semenjak lulus MA. Selama dua bulan itu, Hasbi telah memasukkan lamaran sana sini, tapi belum juga mendapatkan panggilan kerja. Sampailah pada keputusannya untuk pergi nyantren. Menurutnya, nyantren lebih baik daripada harus diam dirumah menjadi seorang pengangguran dan menjadi beban keluarga.

Hasbi mengutarakan keinginan nyantren pada kedua orangtuanya. Dia beralasan ingin menuntut ilmu agama lebih dalam lagi. Kedua orang tuanya memberikan izin. Setelah mengantongi izin dari kedua orang tuanya, keesokan harinya Hasbi pergi ke pondok pesantren Al Munawir diantar oleh kedua orang tuanya.

Di Al Munawir, Hasbi pun cepat dikenal oleh segenap penghuni pesantren. Dia cepat memahami ilmu-ilmu kitab yang diajarkan disana. Bahkan pemahamannya hampir mau mengimbangi santri-santri senior. Hal ini tentunya berkat ajaran ayahnya dulu. Jadi ketika masuk pesantren, Hasbi sudah punya ilmu dasarnya.

Di tahun ke tiga mesantren, Hasbi diminta menjadi ajudan atau lebih kerennya sebagai sekretaris pribadi pemilik pesantren, yaitu Pak Kyai Rasyid. Jadwal pengajian Pak Kyai yang begitu padat, membuat Hasbi terus bolak-balik luar kota menemani Pak Kyai. Bahkan sampai ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Karena kesibukannya melayani segala kebutuhan Pak Kyai, Hasbi sudah jarang ngaji kitab lagi bersama teman-teman pesantrennya. Dia betul-betul fokus melayani Pak Kyai. Meskipun kesibukannya membuat dia jarang ngaji kitab bersama santri-santri lainnya, tapi dia tau berkhidmat pada Pak Kyai pun merupakan tugas yang sangat mulia. Dia berharap, semoga berkah hidup karena ridho guru bisa dia dapatkan.

Di tahun ke empat mesantren, Hasbi memutuskan untuk kuliah. Dia mengambil kelas karyawan, karena kesibukannya di pesantren yang tidak memungkinkan dia mengambil kelas reguler. Tentunya keputusan kuliahnya ini dengan izin dari Pak Kyai.

Di tahun ke enam mesantren, tepatnya memasuki semester ke lima kuliahnya, Hasbi mulai mengenal Risa. Orang tua Risa adalah jemaah setianya Pak Kyai. Setiap pesantren mengadakan acara pengajian atau acara apapun itu, orang tua Risa selalu hadir.

Suatu ketika Akbar mengatakan pada Hasbi, bahwa orang tua Risa sangat menyukainya. Mereka ingin mengenalkan Risa padanya. Merasa tidak enak menolak niat baik sahabatnya, Hasbi pun bersedia berkenalan dengan Risa. Tidak disangka keduanya memiliki ketertarikan satu sama lain. Tentu saja hal ini membuat orang tua Risa dan Akbar bahagia. Mereka berharap dengan mengenal Hasbi, sifat buruk Risa bisa berubah. Memang betul, sejak saat itu, Hasbi banyak membawa perubahan positif pada Risa.

Setiap keluar rumah, Risa mulai mengenakan kerudung, meskipun auratnya belum terbalut dengan sempurna. Sifat membangkangnya mulai melemah. Keegoisannya mulai berkurang. Bagi keluarganya, perubahan Risa sungguh sangat luar biasa. Hal ini semakin menambah perasaan sayang orang tua Risa pada Hasbi.

Tidak terasa, sudah setahun hubungan Hasbi dan Risa berjalan. Hubungan yang tanpa kemesraan, tanpa jalan berdua, dan tidak ada kontak fisik sama sekali. Ketika Risa ingin bertemu diluar, Hasbi lebih memilih datang langsung ke keluarga Risa dan ngobrol bareng Risa ditemani keluarganya. Saat itu, Risa berusaha memahami perlakuan Hasbi. Fikirnya, mungkin itulah bentuk hubungan yang Hasbi fahami sebagai orang pesantren.

Di akhir tahun ke tujuh mesantren, tepatnya ketika Hasbi tengah menjalani kuliah semester tujuh, Hasbi memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Ayahnya yang sudah mulai sepuh, begitu kewalahan mengurus santri kampung miliknya, hingga meminta Hasbi untuk pulang, menjadi alasan Hasbi. Pak Kyai memahami keputusan Hasbi. Beliau memberi nasihat agar Hasbi senantiasa mengamalkan ilmu yang telah dipelajari selama di pesantren Al-Munawir kepada para santrinya di kampung, dengan hati yang ikhlas. Setelah kurang lebih tujuh bulan menemani perjuangan ayahnya di kampung, Hasbi pun akhirnya lulus kuliah, dengan mendapat gelar Sarjana Komputer.

Tidak terasa, sudah dua tahun Hasbi mengenal Risa. Hubungan antara Hasbi dan keluarga Risa-pun sudah semakin dekat. Tidak disangka, ketika mau beranjak ke tahun ketiga hubungannya dan Hasbi memiliki niat untuk secepatnya membawa hubungan mereka ke ikatan pernikahan, Risa malah tega mengkhianatinya.

"Risa, dua tahun aku mengenalmu. Jujur, hatiku sangat sakit saat mendengar pengkhianatanmu. Aku disini selalu menjaga hatiku. Aku fikir, kamu akan memilihku sebagai pendamping hidupmu. Ternyata, dua tahun tidak bisa membuatku berhasil menyelami isi hatimu. Mengapa kau tega mengkhianatiku? Apa salahku?" Kedua bola mata Hasbi mulai kembali berkaca-kaca.

Dari luar kamar terdengar ketukan pintu. Namun Hasbi mengabaikannya. Sampai akhirnya pintu kamarnya kembali diketuk.

"Hasbi... Ini ibu. Dari tadi sore, kamu di kamar terus. Kamu belum makan kan? Ini udah jam delapan malam Bi. Ke masjid nggak, ngajar ngaji anak-anak pengajian juga nggak. Kamu itu kenapa, tidak seperti biasanya?" Tanya ibunya dari luar pintu kamar.

Mendengar suara ibunya, Hasbi segera membuka pintu kamar. Tanpa dipersilahkan masuk, ibunya sudah masuk duluan, kemudian duduk di samping Hasbi.

"Kamu lagi ada masalah?"

"Tidak ada bu." Jawab Hasbi singkat.

"Jangan bohong kamu Bi. Dari tadi kamu dikamar terus. Ga mungkin kalau kamu tidak sedang punya masalah".

"Bu... Apa ini akibatnya jika tidak menuruti nasihat orang tua?" Hasbi berkata sambil menundukkan kepalanya menahan tangis.

"Apa maksudmu Nak? Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu?" Sambil mengangkat wajah Hasbi dengan kedua tangannya. Betapa terkejutnya Ibu melihat mata anak bungsunya berkaca-kaca.

"Kamu kenapa Bi? Ada masalah apa? Kenapa kamu sedih gitu? Coba cerita sama ibu Nak." Kekhawatiran mulai terlihat di wajah ibunya melihat Hasbi yang begitu rapuh.

"Risa mengkhianatiku bu". Jawab Hasbi dengan terbata.

"Kamu tau dari mana? Apa kamu melihat sendiri pengkhianatannya?"

"Akbar sendiri yang bilang padaku Bu. Tadi siang dia nelpon aku."

"Kamu sangat mencintainya Nak?"

"Dua tahun bukan waktu yang sebentar Bu". Jawab Hasbi.

"Coba kamu tanyakan langsung kebenarannya sama Risa. Siapa tau Akbar salah. Temuilah dia. Selesaikanlah baik-baik jika memang kalian mau mengakhirinya. Ibu memang tidak terlalu menyukainya, tapi ibu tidak mau melihat kamu... "

Belum selesai ibunya bicara, tiba-tiba Hp Hasbi berbunyi. Sontak keduanya melihat layar Hp yang sedang menyala.

" Itu Risa nelpon kamu. Angkatlah. Selesaikanlah baik-baik. Janganlah kamu memperlihatkan sisi lemahmu padanya. Ibu tinggal dulu". Dengan cepat ibu keluar dari kamar Hasbi.