webnovel

Haruskah Kembali?

Kau bilang ingin kembali? Apakah kau lupa tentang pengkhianatan yang kau beri? Kau bilang maaf? Aku sudah memaafkanmu, namun luka ini terlanjur menancap di hati. Kau bilang beri kesempatan sekali lagi? Aku sendiri tidak tahu, apakah hati ini masih untukmu. Aku begitu mencintaimu, hingga aku letakan sumber kebahagiaanku padamu. Aku yakin kamupun begitu mencintaiku. Bagiku, kamu sungguh suami luar biasa. Namun, kejadian dua tahun silam, membuatku tidak lagi percaya denganmu. Cinta dan kesetiaanmu telah kau bagi dengan yang lain. Meski kamu mengatakan maaf dan itu sebuah kesalahan, namun kepercayaan tak bisa lagi aku pertahankan. Aku putuskan pergi dari hidupmu dengan membawa hati yang pilu.

DYAR · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
12 Chs

Akhirnya Putus

Sudah dua kali hp Hasbi berdering, namun Hasbi masih mendiamkannya. Dia masih sibuk mengatur suasana hatinya agar lebih tenang. Pada dering ketiga dan hatinya mulai merasa sedikit tenang, Hasbi baru mengangkat telpon.

"Assalamu'alaikum". Terdengar suara Risa yang tampak bergetar.

"Wa'alaikumsalam." Jawab Hasbi dengan nada bicara yang dibuat setenang mungkin.

"Kak, mungkin kakak sudah mendengar dari sepupuku, Akbar tentang..." Risa menggantungkan obrolannya. Masih ragu untuk melanjutkan.

"Tentang apa Sa?" Jawab Hasbi pura-pura tidak tau.

"Kak... Aku ga bisa melanjutkan hubungan kita. Dua tahun kita menjalin hubungan tapi aku merasa seperti tidak memiliki kekasih".

"Maksud kamu Sa?"

"Kakak tidak pernah ada waktu untukku. Aku pengen seperti wanita lain, yang selalu dimanjain pacarnya. Bisa jalan berdua dan menghabiskan waktu berdua. Sering ketemu, ngobrol dan bercanda ini itu dengan bebas, layaknya orang pacaran pada umumnya." Risa mulai mengungkapkan keinginan yang selama ini dia pendam.

"Tapi dengan kakak, aku tidak mendapatkan itu semua. Aku tetap merasa seolah sendiri. Ketika aku rindu sama kakak, aku hanya bisa menahannya sendiri. Aku tidak tau, apa kakak pernah merindukanku? Apa kakak pernah ingin bertemu denganku? Kakak hanya sibuk dengan dunia kakak sendiri." Lanjut Risa.

"Sa, aku juga sama seperti laki-laki normal lainnya, merasakan rindu, ingin bertemu kamu, ingin ngobrol sama kamu, karena itu aku suka berkunjung ke rumahmu."

"Kak yang aku maksud bukan seperti itu. Aku ingin punya waktu hanya berdua dengan kakak. Tanpa ada keluargaku ditengah-tengah kita. Ketika kakak berkunjung ke rumahku, kakak malah sibuk ngobrol sama keluargaku. Kakak mengabaikanku."

"Sa kenapa kamu ngomong kaya gitu? Menurutmu aku harus gimana Sa?" Nada bicara Hasbi begitu lemah, tidak tau harus berbuat apa.

"Selama ini aku coba ngertiin kakak. Tapi yang aku dapatkan hanyalah kesepian dan ketidakpastian. Kakak tidak pernah memperlakukan aku layaknya seorang kekasih."

"Sa... Aku menghargaimu. Aku juga menghormati keluargamu."

"Aku tau kakak keluaran pesantren. Sedangkan aku, aku hanya wanita biasa yang tidak pernah mengenal dunia pesantren. Karena itu, aku merasa kalau kita tidak akan pernah menemukan kecocokan. Mungkin saat inilah waktu yang tepat buat kita mengakhirinya."

"Sa kita sudah dua tahun menjalani ini semua. Aku ingin di tahun ketiga ini kita mulai memikirkan hubungan kita ke arah pernikahan. Apa kamu mau mengakhirinya hanya karena alasan seperti itu?"

"Justru itulah yang membuat aku ingin mengakhiri semuanya kak". Tegas Risa.

"Kamu sudah bulat dengan keputusanmu?" Tanya Hasbi lemah. Pasrah dengan keputusan yang akan Risa ambil.

"Iya kak, aku sudah memikirkannya. Baiknya kita akhiri sekarang." Tantang Risa.

"Baiklah kalau itu maumu Sa. Semoga cowok itu sesuai dengan keinginanmu. Semoga keputusanmu tepat, dan semoga kalian hidup bahagia. Maaf jika aku banyak membuatmu kecewa. Sampaikan juga maafku untuk keluargamu". Jawab Hasbi sambil menahan tangis.

"Maafkan aku juga kak. Aku harap kakak mengerti dengan keputusanku dan kakak tidak membenciku. Assalamu'alaikum". Tanpa menunggu balasan dari Hasbi, Risa memutus sambungan telponnya.

Kini pecah sudah tangisan Hasbi. Dia tidak bisa lagi menahannya. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Banyak kenangan manis yang sudah dia lewati. Meskipun jarang bertemu, meskipun tidak pernah berduaan layaknya orang yang sedang kasmaran pada umumnya, tapi dua tahun bukan waktu yang singkat untuk bisa melupakan semuanya begitu saja. Hasbi kembali menangis. Dia laki-laki tapi dia tidak peduli. Yang dia rasakan saat ini hanyalah sebuah sesak, dan yang dia inginkan saat ini hanyalah menangis. Karena itu dia terus menangis.

***

Keesokan harinya, Hasbi bangun kesiangan. Dengan langkah gontai, keluar kamar untuk mengambil wudhu. Lalu menunaikan shalat subuh masih dengan suasana hati yang kacau. Dia mencurahkan segala kesedihannya lewat doa. Memohon agar Allah memberi dia keikhlasan dalam menerima setiap takdirnya. Selesai berdoa, Hasbi mengambil Qur'an, dia ingin mendapat ketenangan hati melalui tilawah. Kali ini dia tilawah cukup lama. Hingga tepat pukul enam pagi, Hasbi mengakhiri tilawahnya.

Hasbi keluar kamar, lalu menghampiri ibunya yang masih memasak di dapur.

"Ibu masih masak? Ada yang mau Hasbi bantu bu?" Tanya Hasbi.

"Ini bentar lagi juga selese, tinggal nunggu sayur matang. Kamu udah baikan Bi?" Ibu balik bertanya.

"Alhamdulillah udah bu. Ga baik juga kan seorang cowok berlarut dalam kesedihan. Toh semua terjadi atas kehendak Allah. Bener kan bu?".

"Itu kamu faham Bi. Ikhlaskan aja Bi. Insya Allah secepatnya Allah akan ganti dengan yang lebih baik".

"Ternyata feeling seorang ibu kuat ya bu?"

"Kamu sih tidak pernah mau dengar ibu. Dari awal ibu enggak begitu suka sama wanita itu. Entah kenapa hati ibu ngerasa ga cocok aja".

"Iya bu mungkin itulah hebatnya feeling seorang ibu. Aku aja yang keras kepala. Jadi akhirnya kaya gini". Senyum getir tersungging dari bibir Hasbi.

"Ya udah sekarang kamu tata kembali hati kamu. Lupakan dia. Berdoalah sama Allah agar kamu bisa mendapatkan wanita yang perangainya jauh lebih baik dari wanita itu".

"Dari dulu ibu ga suka manggil namanya. Dia memiliki nama lho bu..." Hasbi menggoda ibunya.

"Ya siapapun itu namanya yang jelas dia bukan lagi kekasihmu dan tidak akan menjadi menantu ibu. Segeralah lupakan dia!" Perintah ibu.

"Itu emang maunya ibu dari dulu kan?" Ejek Hasbi.

"Tapi bener kan dia menunjukkan perangai aslinya sama kamu?" Ibu tidak mau kalah bicara dari Hasbi.

"Udah ah bu jangan bahas dia terus. Nanti aku malah keinget dia lagi".

"Huh dasar cowok lemah. Kamu itu tampan, bisa dapetin wanita baik yang lebih cantik dari dia". Optimis ibu.

"Tampan ga punya duit susah laku bu di zaman sekarang." Jawab Hasbi sambil tertawa.

"Makanya kamu yang rajin nyari duit biar cepet laku". Ejek ibu.

"Siap bos. Ngomong-ngomong udah mateng belum nih sayurnya? Aku mau berangkat sekolah nyari duit biar cepet laku." Menirukan ejekan ibunya.

"Ambilin wadah sayurnya tuh di rak". Sambil menunjuk ke wadah sayur yang tersimpan di rak.

Hasbi mengambilnya dan menyerahkan pada ibu.

"Ayah kamu udah selesai belum ya ngajar anak-anak pengajian? Coba kamu lihat sana. Biar kita makan bareng."

"Oke". Jawab Hasbi sambil meninggalkan Ibu untuk memanggil ayahnya.

Seperti biasa, tiap pagi mereka makan bersama. Selesai makan, Hasbi langsung mengambil handuk, lalu menuju kamar mandi. Selesai mandi, Hasbi segera mengenakan kemeja dan celana kerjanya.

Setelah dirasa cukup rapih, Hasbi keluar kamar membawa tas gendong yang berisi laptop, buku kerja, dan alat tulis. Sebelum keluar rumah, Hasbi pamit dan mencium tangan kedua orang tuanya, lalu keluar menenteng sepatu.

Di teras rumah, Hasbi menyalakan motornya guna memanaskan mesin terlebih dahulu. Sambil menunggu mesin sedikit panas, Hasbi memakai kaoskaki dan sepatunya. Selesai memakai sepatu, Hasbi langsung berangkat menggunakan motor.

Sepeninggalan Hasbi, ibu memberitahukan ayah kalau Hasbi sudah mengakhiri hubungannya dengan Risa.

"Ayah ternyata perasaan ibu bener ya? Dari awal, ibu kurang suka sama wanita itu. Belum jadi istri, udah nunjukin tabiat nggak baik. Untung dia ga jadi menantu kita".

"Hus ga boleh ngeghibahin orang ah bu, pamali". Nasihat ayah Hasbi.

"Habisnya cewek itu berani-beraninya selingkuhin anak kita. Padahal anak kita kurang ganteng apa coba".

"Udahlah bu, jangan memperkeruh keadaan. Yang penting sekarang ibu ga jadi punya menantu dia. Tapi Hasbi nggak kenapa-kenapa kan?"

"Nggak kenapa-kenapa gimana? Semalam dia nangis ayah... Makanya ibu jadi kesel sama cewek itu."

"Mungkin jalan putusnya mereka ya seperti itu bu. Ibu ini serba salah. Hasbi mempertahankan wanita itu, salah. Hasbi putus, salah juga".

"Hasbi putus nggak salah kok Yah, cuma caranya itu yang ibu ga suka. Diselingkuhin lho yah, ibu kan ga terima anak ganteng ibu diselingkuhin".

"Ah ibu ini selalu membanggakan anak sendiri. Yang penting sekarang ibu doain agar Hasbi cepat Allah pertemuan dengan pendamping hidupnya yang shalehah dan ga matre. Usia Hasbi kan udah sangat matang. Udah waktunya dia membangun rumah tangga".

"Insya Allah yang shalehah ga akan matre Yah. Tapi kalau ternyata Hasbi Allah pertemukan dengan jodohnya secepatnya gimana? Emang kita punya uang buat ngurusin pernikahannya?"

"Jangan mewajibkan sesuatu yang tidak wajib bu. Wanita yang baik tidak akan memberatkan pihak laki-laki. Mungkin Hasbi juga punya simpanan untuk hal itu".