"Ngapain kita ke sini?" pekik Putri kaget saat Alif menghentikan mobilnya di depan sebuah salon yang sangat mewah.
Alif tidak menjawab pertanyaannya, pria itu hanya meliriknya sekilas, lalu keluar dari mobil.
Mau tidak mau, ia pun ikut turun dari mobil, dan mengekori Alif masuk ke dalam salon.
Oh, tidak!
Ingin rasanya gadis itu berbalik sekarang juga, dan pergi sejauh mungkin dari tempat itu.
Bukannya apa, ia jadi gugup sendiri melihat pria gemulai yang sedang mendandani seseorang di dalam sana.
"Oh, Aliiif, yuhuuu. Sangat mengejutkan sekali lihat elu ada di sini!" teriak pria gemulai tersebut.
"Duduk aja dulu, gua selesaikan dulu mahakarya gua!" seru pria itu sambil melambaikan tangannya pada Alif dan Putri.
"Take your time!" sahut Alif dengan santainya. Ia lalu berjalan pelan menuju ruang tunggu dan duduk dengan santai di sana.
"Al, kita ngapain ke sini?" tanya Putri begitu ia duduk di samping Alif.
"Gue baru inget, kalau gue itu punya temen yang jago dandan! Nah, pas banget kan? Biar dia aja yang ajarin lo pakai make up!"
"Ehm, iya sih. Tapi, aneh rasanya kalau harus belajar dari seorang pria."
"Gak usah terlalu banyak mikir!" seru Alif sambil menyenggol lengan Putri pelan.
"Iya. Ya udah. Semoga cara ini bisa bekerja!"
Alif tersenyum tipis, ia lalu menepuk pelan lengan Putri.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya pria gemulai itu menyelesaikan pekerjaannya.
Dengan senyum mengembang, pria gemulai itu melambaikan tangan ke arah mereka.
Alif pun menarik tubuh Putri, dan setengah menyeret gadis itu untuk menghampiri si pria gemulai.
"Mince, ini cewek, diselingkuhin cowoknya gegara dandanannya kayak anak SMA!" kata Alif pada pria gemulai itu.
'Wah, benar-benar si Alif. Haruskah dia menceritakan hal itu pada pria gemulai itu?' Putri menggigit bibirnya kesal.
Mince langsung melotot menatap Putri tajam.
"Elu tenang aja, gua akan ajarin lu cara dandan yang kece badai, biar mantan lu itu nyesel!"
Putri langsung mengangguk semangat dengan mata membara.
Setelahnya, Mince mengajari gadis itu banyak hal, tentang skin care yang cocok untuk kulitnya, make up natural step by step-nya, dan masih banyak lagi.
Mata gadis itu terbuka lebar, mengetahui ketidak mampuannya dalam hal merias wajah.
"Ini, elu harus nyobain ini! Lu akan kelihatan semakin mempesona kalau pakai ini!" Mince menyerahkan sebuah lipstick berwarna merah menyala pada Putri.
"Apa enggak terlalu menor?"
"No! Menor gimana sih? Elu ini bukan lagi anak SMA! Jangan mengadi-ngadi bilang lipstick merah bikin menor!" samber Mince.
Putri hanya tersenyum lebar dan mengangguk semangat ke arah Mince.
Ia lalu menyapukan lipstick itu pada bibir Putri
"Heh, Al! Gimane? Aduhai nggak?" Mince menyenggol lengan Alif.
"Mantep!" sahut Alif dengan santainya.
"Dandanan oke, baju kek anak SMA? Please deh! Hancur dunia persilatan!" gerutu Mince sambil berjalan meninggalkan mereka.
"Tapi Al, aku kan nggak ikut silat!" bisik Putri pada Alif.
Alif hanya terkekeh pelan, ia lalu mencubit gemas pipi gadis itu.
"Enggak semua yang Mince omongin itu ada artinya! Ngerti nggak?!" ucap Alif pelan.
"Apa lu pada bisik-bisik? Gak sopan lu, sialan!" pekik Mince yang tengah berjalan menghampiri mereka.
Putri menatap ngeri sebuah gaun berwarna hitam yang Mince bawa.
"Nih! Anggep aja gue lagi buang baju yang menuh-menuhin almari!" kata Mince sambil melemparkan gaun itu pada Putri.
Gadis itu langsung mengangkat tinggi-tinggi gaun itu, lalu melirik Alif yang juga tengah mengamati gaun itu.
"Enggak terlalu terbuka nih?" tanyanya dengan konyol.
Mince langsung mencubit pinggang gadis itu dengan gemas.
Itu sakit!
"Umur lu berapa, Neng? Lu bukan anak SMA! Lu udah dewasa! Ini saatnya lu buat makai gaun-gaun kece kayak gini! Astaga, Al! Lu nemu dia di gua mana sih?" Mince terlihat gemas.
Kenapa Putri selalu salah di mata Mince? Ia tidak mengada-ngada! Gaun itu memang cukup terbuka.
"Udah, gak usah kebanyakan mikir! Lu bawa pulang aja dulu! Entar pasti ada waktu di mana lu bener-bener butuhin gaun ini!" seru Mince sambil duduk di samping Putri.
Putri hanya mengangguk pelan, lalu melipat gaun tersebut agar mudah ia bawa pulang.
"Ngomong-ngomong, kerjaan lu ape?" tanya Mince sambil menatap Putri lurus-lurus.
"Aku guru TK!" sahut Putri singkat.
"Buset, hei! Guru TK itu berapa sih gajinya? Udah, keluar aja! Kalau lu mau, gua bisa jadiin lu model top markotop, Neng!"
Reflek, kepala Putri langsung menggeleng secepat mungkin. Bukannya apa, ia tidak ingin memamerkan kecantikan dan keindahan tubuhnya pada orang banyak.
"Ih, bandel! Lu bisa beli apa aja yang lu mau kalau jadi model! Guru TK berapa sih bayarannya? Itu paling gaji lu, buat beli skin care gua, habis!"
"Berapa pun itu, disyukuri aja, Mince! Seru lho jadi guru TK! Main sama anak-anak, ngajarin mereka hal-hal baru!"
"Apaan? Anak-anak itu berisik! Suka lari-lari lagi, bikin pusing!" samber Mince.
Putri hanya terkekeh pelan mendengar ucapan Mince. Ia tidak berbohong, menjadi guru TK memang cukup menyenangkan. Ya, setidaknya untuk orang yang menyukai anak-anak seperti dirinya.
"Sama kek elu, berisik! Ya udah ah! Gue mau balik! Pusing gue dengerin ocehan elu!" samber Alif sambil menepuk dengan sangat amat kencang, pundak Mince. Membuat pria gemulai itu berteriak dengan sangat kencang.
Alif langsung menarik Putri, dan mebawanya kabur, sebelum Mince semakin murka di dalam sana.
Alif membukakan pintu mobil untuk gadis itu. Dan, mereka pun segera beranjak pergi meninggalkan salon Mince.
"Gila kamu, muka Mince sampai merah banget! Itu pasti sakit!"
Putri menggeplak lengan Alif. Pria itu hanya tertawa terbahak-bahak sambil menyalakan mesin mobilnya.
"Dulu, Mince itu gagah perkasa! Itu otot-otot tangannya, beuh luar biasa! Sekarang? Di senggol dikit aja teriak!" Alif berujar dengan santainya.
"Itu tadi kenceng banget, Al! Apanya yang senggol dikit?!" protes Putri.
Alif hanya menoleh ke arah gadis itu, sambil mengerlingkan sebelah matanya.
Untung tampan nan rupawan!
"By the way, si Reyhan apa kabar?" tanya Alif tiba-tiba.
"Dia cuek, seperti biasa! Anyep! Tapi, semakin hari, kulihat dia semakin nempel aja sama Lusi. Bener-bener nggak punya hati!"
"Sabar!"
"Ya gimana bisa sabar? Kalau tiap hari aku harus lihat dia mesra sama perempuan lain? Nggak bisa gini, Al! Aku harus bisa balesin dendam aku!"
Alif hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Putri. Pandangannya masih terfokus pada jalanan di hadapannya.
"Harus banget ya, bales dendam? Mending, lo fokus lupain dia, dan buka hati lo buat orang lain! Bahagiain diri sendiri lo dulu! Itu jauh lebih penting!"
"Enggak, aku nggak akan bisa lihat pria lain sebelum rasa sakit hati ini terbalaskan! Selama ini aku membuang banyak hal cuman untuk menjadi calon istri yang baik, tapi dia seenaknya aja menghianati aku! Kebayang nggak sih gimana sakitnya?"
Alif terlihat membuang napas berat, ia lalu menoleh sekilas ke arah Putri, dan mencubit kesal pipi gadis itu.