Pelajaran pertama di mulai dengan sangat cepat, padahal ada tiga lembar untuk bab kali ini, tapi pria berkepala plontos itu menyelesaikan tugasnya dengan sangat cepat. Caranya sangat mudah, dia menulis rangkuman apa yang ada di dalam kepalanya pada papan tulis dan kemudian menjelaskan inti dari isi materi yang ada di dalam buku. Naratama sangat suka dengan guru barunya yang ini, apalagi dengan tambahan bahasa Inggris, Laki-laki itu suka mencampur bahasanya. Untungnya tidak dengan bahasa daerah yang masih belum Naratama kuasai.
Tugas di berikan begitu bel istirahat berbunyi nyaring, semua siswa mulai merapikan buku-buku mereka, dan pergi keluar bersama guru laki-laki itu, tapi Naratama tidak. Dia masih di sana, di bangkunya. Menulis semua tugas yang dia Terima, dan membuat jawaban yang sudah ada di dalam kepalanya. Untungnya materi kali ini sangat mudah untuk dia Terima, dan jawaban sudah ada dengan cepat.
Tak butuh lama akhirnya tugas itu selesai dengan cepat. Ia segera memasukan semua alat tulis ke dalam ransel, ketika menoleh kembali ke depan wajahnya sedikit terkejut dengan kedatangan gadis bersurai hitam pekat di. Dengan tambahan bando, dan anting emas yang nampak membuat gadis itu sangat cantik.
"Gue ketua kelas, fara." Memberikan jabatan tangan, dan di jawab begitu semangat dengan Naratama, "Tugas pertama gue di sini bawa lo keliling sekolah, terus nanti gue kasih tau jadwal kelas, tugas-tugas kelas kaya piket, tugas buat setor uang tiap minggu ke bendahara, sama... tugas beresin ruang olahraga."
Kening Naratama bertaut, sekolahnya tak begitu elit. Sekolah swasta yang cukup mahal, dan di isi anak-anak yang terlihat kaya. Namun, rupanya sekolah ini sangat berbeda dengan yang dia pikirkan, terlalu banyak tugas untuk Naratama yang tidak suka di berikan aturan, dan tugas.
"Ayo, pergi!" ucap Fara sebelum melenggang, dengan berat hati Naratama beranjak. Mengikuti Fara dari belakang, dan tidak mendengarkan semua penjelasan yang gadis itu berikan. Dia sibuk memperhatikan sekeliling, semua ruangan yang ada di sekolah sangat bagus, masih baru, dan ada banyak wangi bunga sepanjang koridor.
"Kenapa panggilnya gue - lo? Kenapa gak aku-kamu?" tanya Naratama bingung.
Fara menoleh sekilas dengan tatapan tak bersahabat, "Kita gak sedeket itu. Lagian lo juga nyaman kan pakai yang ini? Ngapain nanya?"
"Iya gue nyaman, tapi tadinya gue mikir kalau bakalan pakai aku kamu gitu sih, tapi ternyata engga."
"Yang pake mah cuman anak SD sama TK doang sih setau gue, soalnya gue dari SMP udah pake. Oh iya, ini kantinnya, nanti kalau mau ke kelas lagi, lo masih inget sama jalannya kan?" Fara menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, menatap Naratama dengan senyum yang cukup manis, "Gue udah laper, istirahat kurang sepuluh menit lagi soalnya."
"Hm, oke."
"Oke, gue duluan!" gadis itu berlari memasuki kantin, dan menemui teman-temannya yang lain.
Sementara Naratama masih di tempatnya, dia melihat ada meja kosong di sana. Segera dia hampiri, dan duduk di sana. Pemandangan dari atas memang yang terbaik, lapangan basket bisa dia lihat dengan sangat jelas. Ada banyak orang di Koridor, banyak yang berbincang, dan makan sambil berdiri. Apa enaknya makan sambil berdiri? Padahal duduk lebih enak, pikirnya sebelum menoleh ke arah lain.
Tangan kanannya terangkat, memberikan intruksi, dan salah satu pemilik kedai datang menghampiri. Dengan senyum yang begitu ramah, dan pulpen beserta buku kecil pria itu berikan pada Naratama. Pria berkaos biru laut itu memberikan bahasa isyarat jika dia tidak bisa berbicara, dan tidak bisa mendengar, tapi bisa membaca.
Naratama paham tanpa perlu berpikir, dia segera menulis pesanannya dan kemudian memberikan uang beserta kertas dan pena pada pemilik kedai. Senyum tulus tak lupa dia berikan sebelum pria berkaos biru laut itu melenggang pergi.
"Tama, ngapain sendirian?" ucap cowok berkumis tipis yang baru saja duduk di depan Naratama, dia membawa semangkok mie ayam dengan kerupuk pangsit yang cukup banyak.
"Mau makanlah, tadi mau gabung, tapi ternyata gak ada yang gue kenal di sini, jadinya gue ambil meja buat sendiri Don."
Doni mengangguk mengerti, dia mulai mengaduk es jeruknya dengan perlahan, dan kembali berkata, "Btw, Anak-anak cewek pada rame ngomongin lo tau gak sih? Ya... gimana ya? Lo ganteng anjir, terus juga pada nyariin username instagram lo, dapet tuh, tapi langsung patah hati."
Kening Naratama bertaut, "Lah! Perasaan gak ada apa-apa deh di instagram, aneh banget pake acara patah hati."
"Lah, wong ada foto lo di cium sama cewek cakep. Nih kalau gak percaya, tapi bentar!" Doni mengeluarkan ponselnya, mencari akun instagram Naratama dengan susah payah, dan segera dia berikan pada teman barunya itu, "Tuh, ada bukti, masa masih gak ngaku sih?"
Kedua sudut bibir Naratama terangkat, dia tidak ingat jika ada foto ini, dan pasti ini ulah Venus. Tak mungkin dia memasang wajah cantik adiknya di sini, tak akan pernah setuju untuk melakukan hal itu. Benda pipih itu dia kembalikan pada Doni, senyumnya semakin melebar sehingga deretan giginya nampak cantik, "Itu adik gue, bukan pacar."
"Lah!" Doni terkejut bukan main, dia segera memberikan klarifikasi Naratama melalui grup kelas, memberikan gosip lain pada teman laki-lakinya, dan kemudian kembali menatap lawan bicaranya, "Cakep banget anjir, kenapa pake acara cium pipi?"
"Hari ulang tahun Venus."
"Namanya Venus?"
"Iya."
"Namanya unik, anaknya cakep, kelas berapa? Sepuluh? Kenapa gak satu sekolah?"
"Engga, masih kelas sembilan anaknya."
"Yah! Gak jadi gue deketin."
"Lah! Anjir, lo mau deketin adek gue? Jangan!" Naratama menggelengkan kepalanya begitu kuat, kening yang bertaut membuat Doni bertanya-tanya, "Move on aja deh dari Venus!"
"Kenapa dah?"
"Anaknya galak, lo gak bakalan betah sama dia. Mana dia bukan tipe orang yang bucin, gak suka tuh yang namanya bucin. Mendingan lo cari satu kelas aja deh, banyak juga yang cantik," jelas Naratama, perhatiannya beralih pada pemilik kedai yang datang, meletakan bakso isian lengkap beserta es teh manis, "Makasih Mas."
"Dih! Gak asik lu jadi temen, gitu banget sih? Eh tapi, kalau user instagram Venus apa? Namanya Venus siapa?" ucap Doni agak kesal, tapi masih penasaran dengan gadis bernama Venus.
"Gak ada, dia gak punya HP. Udah deh dengerin gue aja!"
"Masa anak jaman sekarang masih gak punya HP?"
"Ngapain nanya? Itu tergantung orang tua yang ngasih, bokap gue beliin HP kalau anaknya udah masuk SMA, kalau masih SMP mah harus pinjem ponsel nyokap atau bokap. Udeh deh gak usah nanyain Venus, bikin gue risih jujur!"