Dia fokus memperhatikan layar komputer sambil terus membaca artikel yang di telusurinya. Sesekali kening Naratama bertaut ketika mendapatkan kata dari bahasa latin yang memang tidak dia ketahui. Harus segera dia catat, dan mencari arti dari kata tersebut beserta fungsinya. Pelajaran biologi selalu membuatnya kesusahan, tapi ini juga salahnya karena sejak awal dia sendiri yang memilih untuk masuk ke jurusan itu.
Naratama menghela berat begitu melihat lebih banyak lagi bahasa Latin beserta beberapa nama penyakit yang tidak pernah dia ketahui seperti apa bentuknya. Hal itu membuatnya mendengus, melepas headphone dengan perlahan sebelum akhirnya bersandar pada kursi roda nan empuk itu.
"Aduh! Kenapa tugasnya jadi ngeselin kaya gini sih? Bikin orang pengen ngomong kasar mulu deh jadinya," gerutu Naratama sambil menggaruk kepalanya dengan kesal.
Tugas sekolahnya begitu sulit, tidak ada jawaban yang dia dapatkan dengan mudah. Bahkan dia juga tidak bisa meminta jawaban dari teman-temannya karena mereka pun tidak bisa mendapatkan jawaban. Pun pada anak perempuan yang sangat baik padanya, tidak ada dari mereka yang mendapatkan jawaban. Katanya masih mencari di internet, ada pula yang mengirimkan foto sedang berada di perpustakaan.
Mereka semua mencari jawaban dengan tekun, dan teliti. Sementara Naratama sudah jenuh dengan layar komputer dan artikel di dalam sana. Kedua matanya mulai kelelahan, dan terasa pegal. Dia juga mulai lapar, tapi di tahan karena ada camilan di samping komputer, tapi alasan yang lebih kuat lagi karena dia malas.
"Ven, lo ngapain di depan pintu kamar gue?" ucap Naratama sebelum menoleh ke arah pintu kamarnya yang sekarang terbuka sedikit. Tidak ada suara dari luar, tapi dia benar-benar yakin ada yang membuka pintu kamarnya, dan tentu saja pelakunya Venus. Siapa lagi yang ada di rumah ini selain dia dan Venus? Tidak ada. Mustahil hantu.
Dia kembali fokus dengan artikel yang dia dapatkan, membaca ulang sebelum beralih pada soal-soal di dalam buku tulisnya. Tidak ada jawaban, hal ini semakin membuat Naratama kesal setengah mati. Dia beranjak, membuka lemari bukunya dan mengambil beberapa buku biologi milik Edgar.
Lembar demi lembar dia baca sambil duduk, keningnya bertaut beberapa kali. "Ketemu!" serunya senang. Pena berwarna biru dia ambil, menulis jawaban nomor lima, dan nomor tujuh. Baru dia nomor yang dia isi, lainnya masih kosong.
Kriett...
Pintunya terbuka lebih lebar, tapi tidak selebar sampai menyentuh dinding belakang pintu. Naratama yang sadar dengan perubahan pintu itu malah mendengus, tatapannya berubah tajam meskipun terlihat kelelahan. "Ven, demi Allah Ven gue gak lagi pengen bercanda. Gue lagi capek ini ngerjain tugas sekolah."
Penjelasan sepanjang apa pun itu tidak mendapatkan respon dari orang di luar kamar. Padahal Naratama yakin dia baru saja melihat seseorang berlari sambil tertawa kecil.
"Ck! Nyebelin banget sih lo jadi adek, untung sayang gue sama lo," ucapnya lagi sebelum kembali fokus pada soal di depan sana.
Naratama mencoba untuk kembali fokus, menjawab beberapa nomor soal yang menurutnya cukup mudah karena baru saja mendapatkan jawaban dari artikel yang baru saja dia buka. Ini menyenangkan, tapi juga menyebalkan.
Brak!
"Hahaha!"
"Aduh! Lo tuh ngeselin banget ya!" gertaknya sambil beranjak dari kursi. Naratama melangkah dengan cepat, pintu yang baru saja di tutup dengan cara dibanting itu dia buka dengan cara yang lebih kasar lagi. Suaranya cukup kencang, tapi tidak sekeras bantingan pintu barusan. "Loh! Ven, kok.. lo pake... baju warna item?" kening Naratama bertaut ketika langkahnya berhenti tepat di depan pintu kamar Venus.
Tentu saja Venus ikut mengernyit bingung, dia ikut memperhatikan kaos hitam lengan panjang yang kebesaran itu beberapa kali. "Kenapa emangnya? Daritadi loh gue pakai, pas pulang sekolah langsung pakai ini. Lo juga liat kan tadi pas gue keluar kamar buat naro seragam kotor?"
"Aah.. iya sih, gue liat, tapi... barusan lo dari kamar gue kan?"
"Ha! Engga anjir, gue daritadi di kamar. Nonton film doang gue daritadi. Ini baru keluar buat ngambil air mineral, kenapa emangnya?"
"Eh Ven seriusan gue." Naratama mendekat, menyentuh lengan kiri adik perempuannya itu dengan jantung yang mulai berdetak lebih cepat. Detik berikutnya dia ajak Venus untuk masuk, menutup pintu secara perlahan sebelum berakhir duduk di bibir kasur.
"Lo kenapa anjir?" kening Venus bertaut bingung, penasaran dengan tingkah aneh kakaknya.
"Gue tadi diganggu deh kayanya. Masa barusan kamar gue di buka sih, terus abis itu di buka lagi lebih lebar. Keliatan banget anaknya cewek pake gaun gitu. Dress selutut warna putih, rambutnya panjang kaya lo gini. Mana ketawanya sama persis kaya lo gitu, ya gue pikir lo yang iseng kaya biasanya. Tapi... kok jadinya gini... akhirnya gue takut. Mana yang terakhir pintu kamar gue di banting."
"Ya ampun, bukannya lo gak percaya sama hantu? Lagian mana ada sih hantu siang bolong kaya gini? Sekarang jam tiga sore loh, gak mungkin ada setan."
"Gue juga pengennya percaya kaya gitu, tapi lo gak tau aja sih gimana tadi. Beneran gue liat, pintu kamar gue beneran kebuka anjir."
Venus membisu dengan kening bertaut. Sudah jelas sekali ada yang tidak beres dengan rumahnya. Awalnya hanya dia yang diganggu, tapi sekarang Naratama yang tidak percaya, dan bahkan tidak pernah mendapatkan gangguan sebelumnya pun mulai diganggu. Desas-desus soal rumah peninggalan neneknya ini memang sudah menyebar luas, bahkan dia sudah mendengar meskipun dari gosip Naratama. Akan tetapi, yang masih membuat Venus bingung adalah maksud dan tujuan dari mereka sendiri.
Tidak mungkin tiba-tiba mengganggu tanpa ada tujuan tertentu, dan lagi keluarganya adalah keluarga terdekat bahkan keluarga kandung dari pemilik rumah ini. Seharusnya mereka tidak mendapatkan gangguan seperti ini, dan jika mereka ingin berkenalan pun seharusnya tidak perlu karena sudah mengenal sedari dulu.
Venus menghela samar, dia kebingungan sekarang. "Lo takut gak Kak?" tanyanya yang sekarang menatap Natatama.
"Jelaslah anjir gue takut, emang lo gak takut?"
"Ya... takut sih... tapi..." Venus benar-benar kebingungan karena tidak mendapatkan solusi. Pundak kirinya dia garuk perlahan agar tidak meninggalkan bekas. "Nyokap sama bokap pulang jam berapa?"
"Aduh! Gue gak nanya tadi, tapi kayanya bakalan lama gara-garanya pakai pakaian bagus gitu. Kayanya ke kantor deh, mungkin ngecek proyek baru. Kalau edgar jelasnya bakal nanti malem. Kita berdua doang di rumah, gue takut."
"Hm, gimana kalau kita keluar aja? Lo ada duit gak?"
"Ada nih sisa seratus doang, lo punya berapa?"
"Ada lima puluh di tas. Kita mau pergi ke mana?"
"Gak ada tempat bagus, ke mall aja gimana? Nonton film, makan di KFC terus main game aja di sana sampai bokap telepon?"
"Ide bagus!"