webnovel

Gentleman, tolong.

Brian, anak pertama dari 6 bersaudara merupakan tulang punggung keluarga. Suatu hari bencana menimpa keluarga mereka. Brian terbangun, kaget, akan identitasnya sebagai penerus sebuah perusahaan besar di Negeri I. Kekhawatirannya hanya satu: apa yang terjadi dengan adik-adiknya?!

Gaboet_Jiwa · Oriental
Pas assez d’évaluations
5 Chs

2.

Satu jam waktu yang singkat, di tambah dengan kepala Brian yang penuh dengan masalah untuk diselesaikan, dia sampai di daerah C dalam sekejap.

Brian menaiki taksi dan langsung pergi menuju rumahnya yang terletak di perbatasan area tertinggal. Keluarganya tidak jauh lebih baik dari yang tinggal disekitarnya. Kebanyakan yang duduk di area itu adalah kelompok menengah ke bawah.

Brian melihat angka argometer yang terus naik seiring dengan jauhnya perjalanan yang di tempuh. Brian ingin menaiki bus sebetulnya, tapi semakin dekat dia ke rumahnya, semakin dia tidak tahu harus berbuat apa. Jadi dia hanya diam sepanjang jalan. Tanpa sadar dia naik saja saat taksi berhenti di dekatnya.

Kemungkinan dia berpindah tubuh, mungkinkah pemilik tubuh ini sekarang yang mengambil alih posisinya? Brian memikirkan kemungkinan lain kalau bukan itu yang terjadi, apa yang harus dia lakukan.

Brian mengetik sejumlah nama pemimpin dan artis yang dia ketahui, hasilnya semua nama muncul. Brian bernapas lega, sepertinya dia tidak pindah dimensi.

Taksi berhenti di ujung jalan karena tidak bisa memasuki gang. Brian membayar dan turun dari taksi tapi tidak serta merta langsung memasuki gang.

Dia melihat area sekitar yang jelas sama seperti yang dia ingat. Jejak-jejak masa kecil dan tempat ketika dia dan adiknya membeli es krim masih sama; Brian yakin dia masih ada kesempatan.

Namun semakin dia mendekat, semakin rasa suram menghantuinya.

Dia melihat sebuah bendera kuning di bangunan kecil yang merupakan rumahnya. Matahari sudah terbenam, dari luar Brian melihat pintu rumah yang terbuka, meski tak ada satupun tamu; atau mungkin mereka sudah pulang semuanya.

Dari dalam, terdengar isak tangis kecil. Brian terpaku di halaman rumahnya saat melihat dari jauh, di dalam ruangan yang hangat dari lampu, fotonya terpajang.

'Aku mati??'

Mungkin ini kesalahan?

Brian masih membeku di tempatnya, suara seperti lenyap dari muka bumi, sampai seorang anak laki-laki dengan mata bengkak dan wajah sembab keluar dengan sebuah ember dan lap.

Melihat sosok Brian, anak laki-laki itu bertanya dengan suara nasalnya.

"Abang kesini untuk menjengukkah?" suara itu seperti lonceng yang menarik kesadaran Brian dan merasa sakit di dada seketika.

"..Ya. Aku teman kakakmu." mungkin ini senyum Brian yang paling jelek yang pernah dia tunjukkan. Bagaimana mungkin dia tidak kenal anak kecil ini? Adiknya yang masih kelas 5 SD ini hendak beres-beres di tengah kesedihannya.

***

Brian duduk di atas karpet kusam, di depannya meja kecil dengan beragam camilan, jamuan orang mati, gumamnya.

Secangkir teh di suguhkan, dan di depannya duduk 5 orang berjajar. Yang paling besar, Erika, duduk di bangku SMA kelas 1, menghadapnya sambil menggendong si bungsu Aciel yang masih di paud. Alasan Brian dulu memasukkan Aciel ke Paud adalah karena dia tidak bisa mengasuhnya di pagi hari sebagaimana jadwal istirahatnya. Kebetulan Paud itu di bangun oleh penduduk lokal, biayanya tidak mahal, tentu saja fasilitasnya juga seadanya.

Di sampingnya, dua orang gadis dengan wajah identik, si kembar Sana dan Sani, duduk di bangku SMP kelas 2. Terakhir, ada Felix, meskipun dia masih kelas 5 SD, rasa tanggung-jawabnya sebagai anak laki-laki tertua setelah Brian membuatnya berbeda dibandingkan anak seusianya.

"Um, jadi kau teman kakakku," Erika buka suara. Adiknya yang paling besar ini tidak seperti dirinya. Dia memiliki fitur terbaik dari kedua orangtuanya. Dia jauh lebih dewasa dan pendiam dari anak seusianya, membuatnya banyak jadi dambaan hati teman sekolahnya.

Meski sudah jelas keadaan Erika tidak memungkinkan untuk memikirkan percintaan di masa sekarang.

Brian menyembunyikan emosinya dan meneguk teh yang dihidangkan. Teh celup merk Mangkuk ini adalah salah satu teh yang rutin ada di dapurnya. Meski harganya murah, tapi rasa ini membuatnya merasa nyaman.

"Ya. Aku turut berduka cita dengan yang terjadi pada kakak kalian."

Brian mengetahui bahwa kematiannya terjadi setelah dia pulang bekerja shift malam. Tanpa sengaja dia tersenggol sebuah mobil yang melaju kencang di jalanan dan jatuh ke sungai. Brian ingin setidaknya kematian dirinya tidak konyol seperti demikian. Satu-satunya hal yang melegakan yang pernah Brian lakukan adalah, dia tidak berhutang.

Sekali pun keadaan mencekiknya hingga membuatnya sulit bernapas, dia tidak mengambil hutang. Selain pinjaman ilegal, pinjaman ke bank memerlukan pekerjaan tetap dan profesinya sebagai pegawai supermarket tidak memenuhi kriteria karena jumlah pemasukan yang tidak memenuhi syarat.

Bukankah sekarang dia adalah tuan muda kaya raya? Dia bisa menggunakan sumber yang dia miliki untuk menopang adik-adiknya.

Tiba-tiba wajah Ferdi, orang tua itu terlintas. Tentu saja, ini tidak akan mudah.

Dia perlu mendiskusikannya dengan ayah tubuh ini. Dia juga harus membuat rencana atas nama apa dia akan mengasuh adik-adiknya.

"Apa kalian sudah makan?" pertanyaan Brian tiba-tiba mengalihkan perhatian anak-anak di depannya.

***

Erika menatap adik-adiknya yang kini tengah menyantap hidangan di meja. Menu yang ada di mejanya terdiri dari daging sapi, nasi, sup tulang, jus jeruk, sayur oseng, dan lainnya. Yang jelas dari rasa yang dia cicipi, makanan ini terasa mewah. Tulisan di bungkus nasinya tertera 'Mora', salah satu restoran elit yang terletak jauh dari tempat tinggal mereka. Katanya segelas kopi di restoran itu bisa seharga seporsi daging sapi di kedai bawah.

Sementara Erika menyuap nasinya, matanya bergerak ke halaman, dimana orang yang mengaku sebagai teman kakaknya kini sedang menelepon.

Erika merasa keberadaan orang ini mengingatkannya dengan kakaknya. Dia pasti berkhayal karena terlalu sedih. Bagaimana mungkin orang asing terasa seperti kakak kandungnya? Benar-benar gila.

Memikirkan kembali soal kakaknya yang meninggal tanpa di duga, Erika merasa air matanya akan membuat asin nasi di piringnya.

"Kakak? Tidak enak?" Sana bertanya diiringi tatapan tanya dari Sani.

"Aku baru sadar kalau aku belum makan dari pagi. Ini sangat enak." Erika tersenyum menenangkan lalu mulai makan.

Meskipun banyak kebingungan di pikirannya, dia merasa hal itu tidak akan serta merta selesai.

"Makan yang banyak, kalian pasti lelah hari ini." kata Erika lagi.

Felix, yang duduk disisinya, berbisik kecil pada Erika.

"Kakak, aku merasa dia bukan orang yang jahat."

Erika nampak terkejut, namun tidak heran, karena dia merasakan hal yang sama. Hanya, selama ini mereka tidak pernah melihat kakaknya membawa teman seperti abang diluar itu. Di SMAnya, ada satu anak yang hobi membawa tabloid sebagai bacaannya dan mengidolai artis luar negeri. Salah satu jam yang dia lihat di tabloid itu benilai hampir setengah harga rumah mereka. Erika selalu jeli dengan apa yang dia lihat, dan yakin bahwa jam yang dipakai abang tadi adalah merk yang sama.

'Dari mana kakakku kenal orang kaya seperti dia?'

Meski pun kakaknya selalu bilang untuk waspada dan tidak percaya begitu saja, perasaan ini terlalu sulit untuk dienyahkan.

Di luar, Brian tengah menyambungkan telepon dengan 'ayahnya'. Setelah pertimbangan mendalam, dia memutuskan untuk langsung memberitahu ayahnya. Dia tidak ingin terjadi hal yang merepotkan sementara Ferdi tidak tahu menahu soal apa yang terjadi dan dari mana di mulainya.

Bagaimana kalau ada fitnah soal dirinya 'menindas anak yatim-piatu, menipu dan memanfaatkan.'

Brian hanya perlu menunggu sampai dering kedua sebelum panggilan tersambung.

Di seberang, suara Ferdi terdengar lagi, membuatnya kembali merasa seperti dia berdiri di depan pria itu. Tapi kenapa dia merasa badannya ini terlampau pengecut?? Bahkan tanpa bertemu langsung pun tangannya mendingin. Lalu dia teringat dengan punggungnya yang banjir keringat dingin seusai rapat, mungkin ini efek psikologis dari tubuh asli pemilik tubuh ini.

"Ada apa?" Ferdi bahkan tidak mempertanyakan keabsenannya setelah rapat.

"Ayah." Brian ancang-ancang sebelum melemparkan serangan. "Aku mengunjungi seorang teman saat ini."

"Hm.. Lalu?" balas Ferdi sambil membaca laporan jejak Brian hari ini. Brian malang, tidak hanya satu orang yang melacaknya selama ini. Diam-diam pria tua itu mengangkat alis, omong-kosong apalagi yang akan anak ini ocehkan.

"Dia meninggal dan masih punya adik." Brian berdehem. "Aku pikir aku menyukai anak-anak juga."

"Apa? Kau mau menikahi anak kecil? Jangan bilang kau mau mengincar mereka? Brian, dengar baik-baik ucapanku, perbuatan immoral seperti itu lebih baik membusuk di neraka. DFF grup tidak memerlukan penerus berprilaku sampah seperti itu!!"

Brian masih belum menyelesaikan kalimatnya sebelum Ferdi memotong kalimatnya. Tapi bagaimana Ferdi masih tidak memutus sambungan, sepertinya pria ini masih memiliki kepercayaan padanya.

"Ayah, tidak seperti itu. Maksudku aku suka anak-anak, kupikir..." jeda, "Aku ingin mengadopsi mereka sebagai anakku!"

Hening mengisi setelahnya.

***