webnovel

SUCI : Tugas Pertama

Ardi bertanya dengan suara perlahan, tapi menimbulkan efek yang mengguncang jiwa.

Segala hal buruk yang berhubungan dengan pria pernah menimpaku. Namun, yang terjadi dengan Ardi malam ini, jauh lebih buruk dari semua yang pernah kualami. Bagaimana tidak? Baru sehari kita menikah, malam ini ia sudah menawarkan perceraian. Tak adakah tempat untukku berlabuh?

Mau tak mau, air mata yang sempat reda setelah zikir panjang, kini kembali menggenang. Aku mencoba menahan agar tak disangka sengaja mengeluarkan air mata buaya. Sesuatu yang dulu sering dituduhkan mantan-mantanku. Namun, aku gagal. Mata ini berkaca-kaca dan akhirnya satu persatu bulir-bulir bening itu berjatuhan. Luruh ke lantai keramik warna abu-abu.

Ardi mendesakku mengungkap masa lalu yang penuh catatan hitam. Bukan aku tak mau, tapi aku tak mampu. Terlalu berat untuk menceritakan padanya, bagaimana dulu aku hanyut dalam cinta terlarang. Dan bagaimana jika dia bertanya, berapa pria yang pernah menjamahku? Bukankah itu justru akan melukai kami berdua?

Akan tetapi, hubungan ini juga tak dapat dilanjutkan tanpa adanya kejujuran. Mau tak mau, aku harus mengatakannya. Walaupun aku tahu, tetap diam ataupun bilang, semua memiliki resiko yang besar. Nasibku tetap bagaikan telur diujung tanduk.

Sangat mudah bagi seorang pria untuk menceraikan istri. Cukup dengan kata : TALAK. Dan berakhirlah! Aku harus mengatakan sesuatu untuk mencegah kata itu terucap.

Bibirku bergetar. Kutata hati agar kisahku sampai, tanpa perlu membuka-buka terlalu dalam. Berat, tapi aku tetap mencoba demi dia. Seseorang yang kuharapkan bisa menemaniku melewati sisa usia hingga menua bersama.

"Aku dulu ... ya, aku pernah..." Ya Allah, sangat berat. Bibirku kelu. Sungguhkah harus kukatakan bahwa aku tidak perawan karena cinta satu malam? Dan aku pernah hamil, karena pacaran yang kebablasan. Lalu aku keguguran karena pacar tak mau bertanggung jawab. Apa harus kujelaskan, bahwa aku pernah dicampakkan seminggu sebelum pernikahan karena calonku tahu masa laluku? Dan kini, oh Tuhan, aku tak bisa. Sungguh tak bisa!

Kugigit bibirku kuat-kuat, berusaha menegarkan diri untuk berbagi kisah dengan Ardi. Tetapi kata yang keluar tetap terbata-bata. Tak bisa lancar meski aku coba. "Maaf ... aku, aku memang bersalah. Tapi aku ...."

Sedetik yang begitu cepat, Ardi beranjak dari duduknya dan merenggut daguku dengan kasar. Mata kami bertemu. Mataku yang basah dan matanya yang tajam.

"Bodoh!" desisnya.

Di luar prediksi, ia melumat bibirku. Disesap begitu kuat. Hingga perih berganti harap. Ciumannya yang kuat perlahan melembut. Menenggelamkan aku pada gairah yang tiba-tiba meletup.

Sepasang tangan perlahan-lahan melingkar di pinggangku. Apakah Ardi akan menuntaskan permainannya kali ini? Aku bukan gadis munafik. Aku pun rela jika ia melakukannya. Dia suamiku, ia berhak menyentuhku sebanyak yang ia mau.

Oh Tuhan, pria ini telah menuangkan candu ke dalam hidupku.

Ketika aku mulai tenggelam bersama pagutannya yang dalam dan tenang, inderaku mencium aroma berbeda. Parfum wanita yang sangat tajam. Mungkinkah? Ardi, apa yang kau lakukan semalam? Curiga bertumbuhan. Jangan-jangan Ardi telah menemui wanita lain untuk menyalurkan hasratnya yang tertahan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar... suara azan Subuh berkumandang.

Ardi berhenti dari aktivitasnya. Berhenti memelukku dan menjauhkan bibirnya dari bibirku.

"Jangan Ge-eR. Aku bukannya mau menyentuhmu. Aku hanya tak suka melihat kau gigit bibirmu seperti itu hingga berdarah. Dasar bodoh! Senangkah kau jika ibumu curiga padaku karena putrinya terluka? Jangan lakukan itu lagi, atau ... kukembalikan kau pada keluargamu," ancam Ardi menyentak nuraniku.

Tak cukup begitu, ia kembali berkata, "Aku tak sanggup hidup dengan wanita yang tak bisa menjaga dirinya!"

Setelah mengomel, ia berjalan menuju kamar mandi. Sekejab kemudian, suara shower terdengar.

Ardi, dia menciumku hanya karena khawatir bibirku luka? Aroma parfum siapa yang menempel di tubuhnya? Kenapa Ardi? Kenapa kau balas aku dengan cara seperti ini?

Sampai kapan ia akan terus meninggalkan aku di tengah-tengah hasratku? Ia selalu menarik diri, justru saat aku sudah tenggelam dalam pesonanya. Betapa keji.

Mungkinkah kau telah mengalihkan hasratmu dengan bermain api di luar sana? Mungkinkah kau putuskan berselingkuh karena aku tak sesuai harapanmu? Tapi kenapa kau masih marah padaku setelah pulang menemui gadismu itu? Harusnya aku yang marah, karena baru sehari telah kau nodai ikatan suci ini.

Air mata kembali merebak. Sakit karena merasa berkali-kali dirajam. Ya Rabbi, aku masih lemah, dan bertambah lemah dengan semua luka ini.

"Suci, ambilkan seragamku! Aku mau ke kantor!" suara barito Ardi memerintah dari dalam kamar mandi. Aku tersadar. Segera kukerjakan, walau curiga belum sirna.

Apa yang kau harapkan Suci? tanya suara di dalam hati. Pernikahanmu sejak awal berpondasi prasangka. Tak ada rasa saling percaya. Jadi kamu harus berkompromi dengan situasi ini. Bisikan itu kembali menguatkan iman.

Aku salah dan Ardi membalasnya. Cara dia menyiksa batinku memang hebat. Ia berubah 180 derajat. Tak lagi bermanis-manis seperti dulu, saat ia belum tahu bahwa aku telah ternoda. Meski perih karena merasa sudah dikhianati, tetapi aku berusaha berdamai dengan nasib. Ingin membuat dia mengerti aku seutuhnya.

Inilah perjuangan hijrahku, bersabar terhadap segala ujian. Seperti Asiah yang bersabar dengan semua siksa yang dihadirkan suaminya, Firaun. Cukup janji Allah akan indahnya surga yang menghiburku. Toh, Ardi tak se-dzalim Firaun dalam menyiksa.

Ya, seburuk apapun perlakuan dia, aku tetap bersyukur karena ia tak jadi menceraikanku. Bahkan ia memberiku tugas pertama sebagai istri, yakni melayani keperluan suami. Walau itu sederhana, hanya mengambilkan baju seragam. Tapi bagiku itu berharga. Perintah itu mengikatku dalam bakti sebagai istri.

***