webnovel

ARDI : Perpisahan

Aku mandi, sesuai jadwal kereta, sore nanti harus berangkat agar besok pagi sudah siap meliput. Inginku tampil mempesona bak aktor deodorant. Tapi kuurungkan. Percuma, ada tamu bulanan!

Suci masih sibuk berkutat di dapur. Rupanya ia masih amatir dalam menaklukkan ikan nila yang meletup-letup di penggorengan. Sesekali ia lap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Kenapa di rumah masih repot pakai jilbab? Ah sudahlah,,, aku cukup mengamati tingkahnya dari kejauhan.

Ada rasa nyaman dan keteduhan melihat seorang bidadari memegang spatula dan tutup panci untuk memperisai dirinya dari cipratan minyak. Ia membuat dapur mengepulkan aroma wangi, kusebut itu aroma surga.

Tapi entah sampai kapan ia akan bertahan? Setiap teringat bahwa Suci adalah wirausaha sukses, tak pelak membuatku minder. Mudah bagi dia hidup mandiri tanpa sokongan laki-laki. Dia memiliki dua butik yang representatif di Semarang. Punya belasan karyawan. Dia seorang bos, dan aku adalah karyawan di perusahaan tempatku bekerja.

Wanita seperti dia, sampai kapan mau memasak untuk suaminya? Mungkin sebentar lagi dia malah akan membawa seorang asisten rumah tangga (ART) untuk mengurusku saat ia tak ada.

Merinding rasanya jika membayangkan ada ART di rumah ini. Rasanya risih melihat wanita lain yang tak ada hubungan darah denganku, tidur dan mandi seatap di sini, saat Suci tak ada. Berdua saja. Bukankah hadistnya jelas, jika dua orang bukan mahram berduaan maka yang ketiganya adalah setan.

Tak takutkah Suci jika suaminya main mata dengan wanita lain? Wanita yang bisa lebih memanjakan pria?

Ngomong-ngomong tentang ART. Ada kejadian yang sulit kulupakan. Dahulu, Mama pernah punya satu yang masih gadis belia. Diambil dari dusun. Manis. Dan kerjaannya juga rapi. Setiap aku pulang kuliah, dia selalu melayani dengan baik. Bahkan saat aku belajar tengah malam, ia bisa mendadak muncul sambil menyajikan susu dan cemilan. Katanya, untuk penunjang gizi.

Sebagai pemuda, aku sadar dia naksir. Bisa dibilang aku cukup peka. Apalagi, ada berbagai model wanita serupa yang juga berusaha mencuri perhatianku di kampus. Maklum, anak Senat selalu jadi idola. Namun bukan Ardi namanya, jika tak pandai jaga diri.

Kala suatu malam, ART itu sengaja menyiapkan cemilan dengan baju kelewat mengundang dan suara yang dimanis-maniskan. Aku memandangi tingkahnya. Bukan menikmati, tapi mengamati, sejauhmana seorang gadis akan bertindak untuk menggoda lelaki. Ketika akhirnya aku mulai goyah juga, Mama datang sebagai penyelamat.

Agak berang Mama menegur wanita itu, termasuk memarahiku. Ceramah malam-malam hingga Papa ikutan terbangun. Memalukan.

"Kamu juga Ardi, sebagai lelaki harus pandai menahan diri. Jangan mudah hanyut oleh situasi. Lalu bagaimana Mama bisa tenang saat kamu kuliah di sana. Ingat, dimana pun kamu berada, ada Allah yang mengawasi. Tak kasihan kamu jika lihat Mama kecebur neraka karena lalai mendidik putra? Jangan hancurkan hidupmu hanya untuk kesenangan sesaat."

Mama terus saja ceramah sambil marah-marah. Segudang kosakata agama dan moral berhamburan. Seolah aku sudah terlampau salah. Padahal aku belum ngapa-ngapain. Baru memandang, belum memegang. Akhirnya, demi kemurnian putranya, Mama memulangkan gadis genit itu ke kampung.

Lalu setelah itu, hampir setiap menit, setiap detik mama memonitoring kegiatanku. Padahal aku kuliah beda kota. Jika teleponnya tidak diangkat, muncullah sejumlah dalil-dalil tentang anak durhaka. Sungguh-sungguh overprotektif. Dan sekarang, perhatian semacam itu aku rindukan.

Benar kata orang, kemaksiatan itu sering terjadi bukan karena ada niat. Tapi karena ada kesempatan dan situasi yang mendukung. Ditunjang setiap manusia punya kadar keimanan yang berbeda. Jika tak kuat iman, setiap godaan syetan akan mudah kita turutkan.

Seperti kisah Nabi Adam. Karena kuatnya syetan membujuk, sekelas Nabi pun memakan buah terlarang. Padahal ada banyak buah surga lain yang lebih nikmat dan boleh disantap. Apalagi aku, pria biasa yang kadar keimanannya sedang-sedang saja. Bagaimana jika aku jatuh dan tergoda?

Dahulu aku masih muda, masih takut ambil resiko, masih takut jika hanya sekali berbuat lalu anak orang hamil karenanya, masih takut diusir orang tua, takut tak dapat uang saku, dan mempertimbangkan segala macam resiko lainnya. Karena itu, jangankan bermain wanita, pacaran saja aku mikir-mikir.

Namun sekarang aku sudah dewasa. Aku mapan, mandiri, dan sudah banyak pengalaman. Bukankah tidak mungkin lebih mudah bagiku terseret ke lingkaran setan itu? Ketika aku butuh, dan istriku tak ada kemana aku harus menyalurkannya?

Suci, semoga itu tak pernah terjadi di pernikahan ini.

Rasanya, ingin segera kuminta Suci totalitas menjadi istri. Maaf jika egois, aku tahu pekerjaan rumah tangga bukan pekerjaan yang bergengsi. Bahkan dinilai beresiko bagi wanita masa kini. Tapi, mana mungkin aku biarkan Suci menghadapi resiko saat aku masih ada?

Aku punya gaji yang lumayan besar. Sangat cukup untuk hidup nyaman tanpa kekurangan, asal pandai saja mengelola. Pun banyak bonus dan tunjangan yang biasa mengalir ke rekening. Hasilnya cukup jika hanya untuk menafkahi istri dan empat anak sekaligus. Tapi masalahnya, standar Suci mungkin lebih tinggi daripada standar yang ingin kuterapkan dalam rumah tangga kami. Dan apakah aku bisa memenuhi?

"Mas, kenapa melamun aja? Makanan sudah siap. Sambel terasinya juga sudah ready," kata Suci sambil menata hasil masakan di meja makan.

Memikirkan status sosial kami berdua, mendadak selera makanku hilang. Konsep yang ingin aku bangun, mungkin Suci tak akan menyetujui. Dan kekhawatiran-kekhawatiran akan nasib rumah tanggaku ke depan semakin membayang. Gadis ini pernah sekali berdusta tentang statusnya sebelum menikah, tak mungkinkah ia kembali berdusta setelah menikah?

"Kenapa mas, kurang enak ya? Kok makannya pelan-pelan? Biasanya makanmu lahap." Suara Suci kembali menarikku dari sejumlah pemikiran yang memberatkan.

"Bukan enggak enak, ini enak. Saking enaknya, aku ingin bisa begini setiap hari. Kamu memasak untukku, untuk anak-anak kita, menghidupkan suasana di rumah ini dengan cinta dan kasih sayang," kucoba melempar kode. Bisakah ia paham maksud di balik kalimatku?

"Iya sama. Tapi mana mungkin. Baru dua hari Mas Ardi sudah hendak pergi. Rumah pasti terasa sepi. Mungkin agar tidak jenuh di rumah, besok aku mau mulai cek butik. Laporan dari Santi, manajemen butik agak kacau. Aku tidak mau ada defisit. Lagipula, katanya ada satu karyawan yang sering bolos. Ia tak berani menegur, sebab itu karyawan titipan saudaraku. Biar nanti kukroscek sendiri, maunya apa. Jika sudah tak betah harus segera cari karyawan baru. Apalagi sebentar lagi liburan panjang. Pengunjung Mall akan meningkat. Dan Butik pasti bertambah ramai," cerocos Suci membuat nafsu makanku semakin menguap.

Kukatupkan sendok dan garpu di piring. Dentingnya nyaring, membuat Suci terpancing. Ia menatapku, bingung. Otomatis ceritanya yang tengah menggebu-gebu tentang rencana penataan butik terhenti. Biarlah, dia juga tak peka.

"Aku sudah kenyang," kataku menjelaskan. Lalu pergi ke ruang keluarga. Menyalakan televisi dengan suara berisik.

Suci menghampiri. Jarinya memijit bahuku dari belakang. "Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?"

Aku menggeleng. Memejamkan mata. Menikmati pijatannya.

"Suci..." Hendak kukatakan, berhentilah kerja. Jadilah ibu rumah tangga. Tapi itu terlalu diktator. Karena seolah memaksakan kehendakku yang arogan. Suci bisa menganggapku penjajah emansipasi wanita. Bukan hanya Suci, bahkan seluruh keluarga besarnya pasti akan menentang juga, jika sampai aset keluarga terhenti sia-sia. Meski itu untuk ketentraman rumah tangga.

"Ya, Mas, ada apa? Katakan jika ada beban. Biar kita tanggung bersama. Dari tadi Mas tampak gelisah," ia bertanya sambil melingkarkan kedua lengannya di leherku.

"Tak ada. Kuharap semua lancar, kau juga. Baik-baiklah jaga diri. Jangan tebar pesona. Aku ini pendendam, tak akan memaafkan jika ada pengkhianatan," akhirnya hanya itu yang dapat kukatakan sebagai perisai untuk menjaga hubungan ini tetap aman sementara waktu.

Suci membalas kata-kataku dengan sebuah kecupan di pipi. "Pasti, Mas fokus saja di sana. Percayalah padaku. Aku tidak akan mengkhianatimu. Sebab menikah denganmu, adalah ibadah terpanjangku," jawabnya menentramkan.

***