webnovel

ARDI : Dirantai Kegalauan

Terus menyimak cerita wanita malam itu, tak terasa waktu berjalan cepat. Jarum arlojiku menunjuk pukul 2 dini hari. Eh, tunggu! Kenapa Suci tidak mencariku? Padahal aku sudah keluar dari rumah sejak 6 jam yang lalu.

Sedang apa Suci di rumah sendirian? Apakah dia sedang menangis? Atau malah sedang menelepon sang kekasih yang membuatnya kehilangan keperawanan?

Aku menyambar jaket kulit khusus motor sport. Ingin segera pulang menemui istriku. Ingin melihat langsung apa yang ia lakukan.

"Mas tunggu!" Selly mencengkram lenganku.

"Ada apa lagi?" sahutku kesal.

"Kenapa langsung pergi? Ceritaku belum selesai."

"Sudah, besok lagi. Aku ngantuk."

"Besok Mas ke sini lagi? Mas mau jadi pacar Selly?" tanyanya penuh harap sambil memegang tanganku.

Kutepis tangannya. Berjalan ke penjual angkringan, membayar pesanan.

"Tunggu kataku!" Selly menghadang motorku. Ada apa dengan cewek ini. Sial! Dia menempel kayak perangko.

"Uang yang tadi mau dikasihkan mana?"

"Kirain ga mau!" Jadi dia masih ingat uangnya.

"Aku ga kerja semalaman demi nemenin kamu. Mana mungkin ga mau," katanya sambil mengambil uang yang kusodorkan padanya.

"Oh ya, Mas, anterin pulang dong. Tempat kostku deket dari sini. Aku udah ga mood kerja lagi gara-gara Mas ungkit masalah dosa dan penyakit. Ayolah Mas, berbuat baik jangan setengah-setengah." Ia merengek-rengek. Kini mulai banyak mata di sekitaran Kota Tua yang memandang.

"Naik ojeg saja."

"Ga mau." Dengan sigap ia lompat ke motorku dan mendekap pinggangku.

"Eh, apa-apaan ini?" Aku menggeliat risih.

"Sekali aja Mas, sekali aja. Please!" pintanya sambil berbisik manja.

"Jangan meluk-meluk!"

"Iya enggak meluk. Tapi anterin." Keras kepala!

Ah, sudahlah. Kami jadi dilihat banyak orang gara-gara terus berdebat. Terlanjur terlibat. Bisa-bisa malah nanti para preman ikut-ikutan bikin onar. Kuanterin aja untuk mempercepat semuanya.

"Ke mana?" tanyaku dengan nada kesal.

Ia menyebutkan sebuah alamat. Dan aku pikir, gapapalah, dekat dan searah.

Setibanya di kostan Selly, jam menunjukkan pukul 02.30 dan Suci tenang-tenang saja. Sial, apakah aku juga sudah dibuang Suci ke tong sampah?

"Mas, kalau rindu sama aku langsung ke sini aja. Tempat kostku bebas. Kalau capek-capek, bisa mampir, aku pijitin. Gratis," ujarnya sambil mengerlingkan mata.

Tak kuhiraukan lagi ocehan Selly. Sudah cukup semalaman meladeni dia. Walaupun ia juga berjasa menyadarkan aku untuk tidak menghujat wanita berhijab. Karena bukan hijabnya yang salah, tapi oknumnya.

Kata-kata Selly pula yang menuntunku pulang. Aku ingin mendengar kisah Suci. Aku ingin bisa lebih memahami dirinya. Semoga aku bisa menahan amarah yang turut serta bersama kecewa.

***

Motorku tiba di rumah tipe 36/72 yang aku beli untuk kutinggali bersama Suci. Desain rumah minimalis ini terlihat teduh dengan warna hijau daun, pilihan gadis itu. Bahkan seluruh perabot di dalamnya, juga Suci yang memilihnya.

Aku ingin membuat dia betah di rumah, karena itu kuiizinkan ia mendandani rumah ini sesuai seleranya. Betapa aku sudah mempercayakan semuanya padanya. Termasuk hatiku.

Kulirik arloji, pukul 03.05 WIB. Sepi.

Sudah jadi kebiasaan baikku sejak kecil, masuk rumah mengucap salam. Ada atau tiada orang. Kali ini aku mengucapkan perlahan agar tidak mengusik Suci. Entah sedang apa dia kini.

"Assalamualaikum," kuucap salam saat masuk rumah dengan kunci cadangan yang menempel di kunci motorku. Betapa terperanjat saat mendengar Suci menjawabnya. Langkah kakinya cepat menyusulku ke ruang tamu. Istriku itu muncul dengan mengenakan mukena putih.

Cless, hatiku merasa bersalah. Dia tidak tidur, tetapi tengah berdoa. Se-saliha itukah dia?

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Mas, aku senang kamu pulang," jawabnya dengan wajah muram. Mendengar jawaban Suci, hati ini kembali meradang. Teringat pada jawaban Desi dahulu setiap menyambutku pulang.

Desi selalu bilang senang melihatku pulang. Namun, dalam camera recorder pengkhianatannya, jelas terekam bahwa semua itu palsu. Pada selingkuhannya ia bilang, senang jika aku tugas luar kota. Sebab ia sudah bosan denganku, merasa muak melayaniku, dan berharap aku sering-sering bepergian. Hanya demi uang Desi bertahan!

Ya Tuhan, mengapa aku melihat cerminan diri Desi pada Suci? Senyum genit Desi yang pernah menggoda setiap malamku, seperti terpatri di wajah Suci yang tersenyum menyambutku. Desi dan Suci, dua orang yang berbeda dengan watak yang sama. Sama-sama suka berzina! Arg, mengenang masa lalu menyulut emosiku kembali.

Seulas senyum getir tergores di parasku yang mengeras. "Senang atau tidak senang, ini masih rumahku!" jawabku ketus.

Suci Batrisyia tersentak. Wajahnya pias. Wajah muram itu bertambah muram. Namun, itu tak lama. Ia kemudian menjawab dengan tenang. "Ya aku tahu itu, Mas. Apakah Mas ingin aku pergi dari sini?"

Bukan itu jawaban yang aku inginkan. Seolah ia berhak datang dan pergi sesukanya dari hidupku.

"Ckckckck, pasti kamu merasa luar biasa hebat. Bisa pergi kapan pun kamu suka. Jangan-jangan kamu menikah denganku hanya untuk bikin alibi?"

"Alibi apa, Mas?" Ia memasang wajah polos. Seolah benar tak tahu.

Baiknya, kukeluarkan seluruh beban di hati padanya. Gadis yang membuatku kecewa. Semua kalimatku penuh tuduhan. Namun sesungguhnya, itu hanya bentuk perlindungan diri yang kubangun, agar harga diriku sebagai lelaki tak jatuh di hadapannya.

Lelah setelah semua resah kuungkap. Semua tanyaku dijawabnya dengan kebisuan. Hanya suaraku yang memenuhi ruangan tanpa menemukan pembelaan.

Aku duduk di sofa dan mendesah kalah. Percuma melawan gadis ini, gadis yang angkuh, yang tak merasa salah telah menyembunyikan rahasia. Bahkan menyamakan statusku yang tak perjaka dengan statusnya sebagai gadis tak perawan.

Aku tidak bisa membuat dia bicara. Apa yang ia alami di masa lalu? Bisakah katakan sesuatu untuk menentramkan batinku?

Suci ... dia masih berdiri membisu. Tapi matanya mulai berkaca-kaca. Mungkin ia iba melihatku putus asa. Akulah pria pecundang yang tak mendapatkan rasa hormat dari istrinya.

Apa maumu Suci? Katakan! Haruskah aku menyerah denganmu? Pikiran itu membuatku mendengus kesal.

"Baiklah aku tanya terakhir kali. Apakah kamu mau kita bercerai?"

***