webnovel

ARDI : Ciuman Pertama

Apa aku tak salah memandang? Istriku menunduk dan air matanya berjatuhan. Ia hendak menyampaikan sesuatu, tapi terbata-bata menyusun kata. Mataku yang tajam terus mengawasinya.

Kemarilah Suci, bersimpuh di hadapanku. Minta maaflah. Tunjukkan bahwa kamu menyesal. Dan katakan sejujurnya apa yang memang harus kau katakan. Maka aku akan memaafkan. Mari kita buka lembaran baru dengan kejujuran. Jangan mulai hal baik dengan kebohongan.

Selanjutnya, aku terkesiap. Bibirnya yang pucat tiba-tiba merah. Darah! Suci menggigit bibirnya hingga berdarah. Runtuh sudah egoku. Persetan dengan harga diri! Kudekati dia, kusentakkan dagunya. "Bodoh!" desisku geram.

Kenapa harus melukai diri sendiri? Jika tak ingin bicara, minta aku menunggu. Pasti kulakukan!

Mata kami bertemu. Mataku yang tajam berhadapan dengan matanya yang berlinang. Tak tahan. Kupagut bibirnya dengan kasar. Menyalurkan naluri lelaki. Lalu seluruh panas membakar tubuh ini, hingga gairah yang sempat padam kembali memancar.

Ciuman ini kuperlambat. Aku hanyut pada kesedihannya. Seberat itukah mengatakan kebenaran? Jika begitu, lupakan!

Kuulurkan tangan memeluknya. Biarkan aku jadi pria bodoh di hadapanmu, asal kini kau milikku seutuhnya. Hendak kubopong tubuh gadisku dan kubaringkan ke ranjang. Ia pasti lelah menunggu semalaman tanpa berani bertanya, aku di mana. Namun, ketika geloraku membara, suara azan Subuh dari Masjid dekat rumah berkumandang.

Waktunya bubar!

Logika kembali bertahta. Sebelum ia berfikir berhasil menaklukkan, sebaiknya kukatakan sesuatu. "Jangan Ge-eR. Aku bukannya mau. Aku hanya tak suka melihat kau gigit bibirmu seperti itu hingga berdarah. Dasar bodoh. Senangkah kau jika ibumu curiga padaku karena putrinya terluka? Jangan lakukan itu lagi, atau ... kukembalikan kau pada keluargamu."

Walaupun aku tak suka caranya, tetapi aku juga tak mau ia terluka. Terlebih jika itu karena menyakiti diri sendiri.

"Aku tak sanggup hidup dengan wanita yang tak bisa menjaga dirinya!" Kutegaskan sekali lagi. Ia pasti mengerti.

Sudah cukup omelanku padanya. Biarlah ia mengira, itu terjadi bukan karena nafsu. Namun, semata karena khawatir dan ingin menyeka darahnya. Meski harus kuseka dengan bibirku.

Oh, tampaknya aku sudah gila!

***

Gengsi, mending kabur ke kamar mandi. Aku perlu membersihkan diri. Apakah Suci tahu bahwa tubuh ini barusan dipeluk wanita lain? Semoga tidak!

Anganku melayang. Bayangan Suci yang pasrah saat kucium dan kupeluk kembali mengundang. Bodoh, bodoh, bodoh! Semudah itu aku takluk padanya. Sebaiknya hari ini aku pergi kerja. Kabur lagi dari dia!

Ups, lupa bawa baju ganti. Tak mungkin lagi kupakai baju semalam. Lebih tak mungkin lagi berjalan di hadapan Suci dengan tubuh telanjang. Handuk kecil yang selalu ada di kamar mandi tak akan bisa menyembunyikan rasa maluku. Terpaksa! Semoga ia mau menurut kali ini.

"Suci, ambilkan seragamku! Aku mau ke kantor!" Kuberteriak lantang agar Suci bisa mendengar.

Tak lama kemudian, ia datang dengan handuk di tangan dan baju seragam. Oho, dia rupanya sangat cekatan.

***

"Lho, bro, sudah sampai kantor lagi?" sapa Romi, saat melihatku muncul di saat seharusnya aku cuti menikah.

"Bosan, Bro. Terbiasa pontang-panting ngejar berita. Diam di rumah badanku pegal."

"Kok bosan, sih. Kan sudah ada bini. Tinggal 'bisbol' aja terus sampai keluar juniormu. Ingat umur, Bro." Bapak dua anak itu sok bijak menasehati.

"Ga bisa bro. Bini lagi astronot. Malah panas dingin di rumah. Bawaannya mau nerkam, yang diterkam halangan," kilahku berdusta.

Satu kantor tertawa. Aku tersenyum kecut. Lolos dari seribu tanya.

"Baguslah, kalau gitu bisa gantiin anak baru ambil berita Haji Hamid. Dia lagi diperiksa di Polda, kena kasus penganiayaan. Nanti jatah cutimu ditangguhkan saja," kata redakturku itu.

"Dia? Bagaimana bisa?" Terbayang wajah kiai kharismatik yang memimpin salah satu ponpes ternama di Semarang. Sebulan yang lalu, ia mengundang satu tim redaksi kantor ini untuk menghadiri akad nikah putrinya. Acara resepsi pun diselenggarakan besar-besaran, karena sebagai tokoh agama yang disegani, ia memiliki banyak relasi.

"Bagaimana orang seperti dia bisa terkena kasus penganiayaan?" tanyaku menerka duduk perkara. Kiai itu termasuk orang alim nan santun.

"Kena penyakit kaget, Bro. Putrinya yang baru ia nikahkan sebulan lalu, kemarin melahirkan. Kalap dia, nggak nyangka kecolongan putrinya sendiri. Tahu sendiri kan Bro, putrinya itu bercadar. Jadi perut buncitnya bisa ditutupi dengan baik. Bapaknya juga ga nyangka kalau putrinya sudah hamil duluan."

"Haji Hamid kemudian menampar putrinya yang baru saja melahirkan di rumah sakit bersalin. Suaminya bermaksud membela, jadi ikut kena tampol juga. Apalagi saat suaminya itu mengaku, ia ayah bayi itu. Habislah si menantu dihajar Haji Hamid hingga babak belur."

"Tahukan, menantu Haji Hamid bukan orang biasa. Ia juga anak orang terpandang. Bapaknya nggak terima. Sudah, kau gali sendirilah kelanjutannya."

"Sekarang susulin dia ke Polda sebelum masuk tahanan. Ambil liputan khususnya. Kalau kamu yang ngambil, pasti jadi bagus beritanya. Tenang bro, ada bonus. Yang penting berita ini harus jadi HL (headline)," perintahnya.

Secara jabatan, Romi di atasku. Sebenarnya aku bisa menggeser posisinya jika mau. Namun, karena masih suka menenteng kamera sendiri, jabatan itu belum hendak kuisi. Jadi redaktur menuntut lebih banyak di kantor daripada di lapangan. Sedangkan aku bukanlah tipe pria yang betah berdiam dalam ruangan.

***

Hasil liputan khusus sudah kukirim ke meja redaksi. Aku melakukan investigasi mendalam pada kasus ini. Keberadaan Haji Hamid di kantor polisi menjadi berita besar, tanpa perlu kugoreng sudah panas sendiri. Seorang Dai kondang yang selalu berdakwah tentang akhlak terpuji, merasa tertusuk ulah putrinya sendiri. Kasihan.

"Saya mau menerapkan prinsip keadilan, Mas. Santri saya di pondok, kalau ketahuan pacaran langsung dikeluarkan tanpa dispensasi. Ini malah anak sendiri. Pantas ia minta segera dinikahkan. Mana saya tahu anak saya itu hamil duluan." Teringat kutipan wawancara dengan Haji Hamid yang penuh emosi di kantor polisi.

"Dia mencoreng nama keluarga. Berdosa besar dia berani melakukan hubungan haram. Saya yakin, pria itu yang merayu-rayu anakku sampai begitu. Anakku itu lugu, orangnya diam. Parasnya pun ditutup cadar. Kalau enggak dijebak, enggak bakal kejadian."

Kapan, di mana, dan bagaimana peristiwa itu terjadi semua dibeberkan. Aku sendiri meskipun merekam dengan baik, tetapi pikiranku berkelana ke pribadi Suci. Rasa iba yang tadi sudah membumbui kini kembali hambar. Berganti curiga lagi, dan lagi. Sampai kapan?

***

Baru pukul 13.45 WIB. Masih siang, belum waktunya pulang. Ada beberapa materi yang harus kususulkan untuk melengkapi berita sehari ini. Namun, curiga parah membuat hati gelisah. Tak ada jalan. Ku-video call dia.

Pada panggilan pertama, tak langsung diangkatnya. Baru pada panggilan kedua, ia menjawabnya. Wajahnya muncul di layar datar 6 inci. Ayu mengenakan jilbab biru (Ayu = Bahasa Jawa artinya cantik).

Diam-diam ku-screenshot. Itulah foto pertama Suci yang tersimpan di gawai ini.

"Assalamu'alaikum, Mas, ada apa?" Dia bertanya kebingungan.

"Wa'alaikumsalam. Ada barangku yang ketinggalan di kamar. Coba masuk ke dalam, laci lemari. Ada lensa kameraku di situ?"

Aku mencari-cari alasan untuk mematai-matai keberadaannya.

"Bentar, Mas, aku ke kamar dulu."

"Ga usah dimatikan teleponnya," pintaku.

"Iya, Mas."

Saat Suci berjalan, mataku tajam mengawasi keadaan di sekelilingnya lewat layar gawai. Sepertinya aku butuh CCTV. Awas kalau ada pria lain di sana saat aku tak ada! Paranoid adalah jejak yang ditinggalkan Desi. Bertahun-tahun lamanya rekam jejak itu masih ada. Entah, kapan aku bisa benar-benar menghapusnya.

Aku tahu lensaku ada di lemari. Tapi memang itulah trikku agar tidak kecolongan lagi. Sengaja memantaunya.

"Ada Mas lensanya. Gimana? Haruskah kuantar ke kantormu?"

"Tak usah. Ya udah, kukira tadi hilang. Syukurlah kalau ada di rumah."

Kumatikan ponsel. Tenang sudah.

***

Setibanya di rumah, aroma masakan menggoda cacing-cacing di perutku. Rupanya Suci memasak sayur asem, panggang kukus dan sambel terasi. Pantas aromanya menyengat. Segera kusantap. Aku tak malu untuk makan dengan lahap. Meski Suci menemani makan dengan lambat.

"Apa agendamu hari ini?" tanyaku setelah kenyang.

"Seharian aku hanya di rumah. Sesuai kesepakatan kita dulu. Mas, memintaku libur kerja satu minggu setelah menikah. Jadi aku sudah menugaskan Santi untuk meng-handle butik selama aku off," jawabnya dengan suara pelan.

"Suci, kenapa kamu masih pakai jilbab walau di rumah. Tak ada siapapun di sini kecuali kita." Aku penasaran. Apa yang ia sembunyikan?

"Tidak apa-apa, Mas, kebiasaan saja," balasnya salah tingkah.

Teringat pada kejadian tadi siang. Jangan-jangan, Suci juga punya rahasia di balik jilbabnya. Jangan-jangan, Suci sudah hamil dengan orang lain, dan orang itu kabur. Jangan-jangan, Suci sengaja menjebakku agar menjadi ayah bagi janinnya agar aibnya sebagai gadis tak perawan tak ketahuan? Jangan-jangan .... Seribu prasangka bertebaran. Harus kutuntaskan.

Kukeluarkan tiga buah testpack berbagai merek dari dalam tasku. Setelah pulang dari Polda, sengaja aku mampir apotek membelinya. Aku tak mau terperdaya seperti Haji Hamid!

"Pakai ini, aku mau lihat hasilnya," perintahku sambil meletakkan semua testpack itu di meja makan. Suci melihatnya, bingung.

"Apa ini, Mas?"

"Masa kamu tak tahu?" ujarku beseloroh.

"Maksudku, kenapa memintaku menggunakan ini? Padahal belum pernah kau menyentuhku?" Mukanya merah padam. Malu atau marah?

"Justru karena aku belum melakukannya. Jadi jika ada nyawa di rahimmu yang aku tak tahu, bisa ketahuan sejak awal. Setidaknya aku tahu, itu anakku atau bukan. Jangan sampai, aku salah mengenali anak orang sebagai anak biologisku," jelasku logis.

Tiba-tiba Suci bangkit dengan menggebrak meja. Ia raih ketiga tespack itu dan dilemparkan ke mukaku. Salah satunya kena mata. Tak kusangka ia akan bereaksi seberani ini.

"Kau boleh menganggapku kotor, tapi jangan kau anggap dirimu paling bersih. Bahkan aku tak pernah mencerca dengan siapa kamu pergi malam itu. Parfum siapa yang menempel di tubuhmu? Wajah siapa yang kau bayangkan saat menciumku?" Suara Suci bergetar saat berkata. Air merebak di kedua bola matanya.

"Aku mengaku salah tidak berkata jujur padamu sebelumnya. Namun, bukan berarti kamu bisa menuduhku semaumu. Jika selamanya kau akan curiga padaku, kenapa menunggu? Kembalikan saja aku pada orang tuaku. Aku juga tak bisa apa-apa untuk memperbaiki keadaan ini. Seperti katamu, nasi telah menjadi bubur." Letup Suci dengan mata membara, tetapi jelas berkaca-kaca.

"Ya. Memang aku penuh dosa. Aku pernah tersesat. Namun, jika kamu imam yang baik, seharusnya kamu menuntunku. Membimbingku. Bukan hanya bisa memojokanku, menuduhku, menuntutku. Inilah ruginya, menikah dengan pria yang tidak tahu agama."

Setelah menyemprotku dengan berbagai kata yang membuat kuping ini panas, Suci kemudian lari ke kamar. Terdengar tangisnya semakin mengundang.

Sial, segera kususul untuk minta penjelasan. Apa salahku? Aku hanya tak mau tertipu. Betapa banyak pria bodoh di luar sana yang tak benar-benar tahu, siapa anak yang tengah dikandung istrinya. Aku hanya sedang berjaga-jaga.

Suci terus menangis di ranjang kami. Ia tergugu pilu. Tangisannya gaduh. Membuat hatiku tak karuan. Hilang sudah harapan akan ketenangan maupun kedamaian.

Sejak hari pertama, Suci telah membuatku terpenjara curiga. Tanpa sadar tanganku mengepal. Emosi ini harus kuluapkan!

***