webnovel

24 - SUCI : Diserang Kembali

Aku masih berusaha mencari waktu luang untuk berbicara dengannya. Sejam kemudian ketika acara berita usai, aku kembali mendekatinya. Kali ini kubawakan teh dan cemilan.

Ardi duduk santai di sofa ruang keluarga, sambil membaca salah satu koleksi bukunya. Aku berusaha pengertian. Menghela nafas perlahan dan menata hati.

Kata ustadzah harus pintar mencari waktu berdiskusi dengan suami, agar ia mau mendengarkan apa yang hendak kita sampaikan. Dan waktu luang Ardi, jika bukan untuk menyimak berita, memainkan laptopnya, pasti ia akan membaca. Bagiku, saat dia membaca itu adalah saat paling tepat untuk mulai ngobrol.

"Mas, besok aku mau cari ART. Dia sementara biar tidur di ruang kerja ya. Nanti kita tambah satu ranjang di sana." Ardi masih diam, tak bergeming dari bukunya.

"Mas ..." aku mulai menggoyangkan kakinya agar ia bisa fokus padaku.

"Terus kalau dia tidur sana, aku kerja di mana?" tanyanya. Rupanya ia menyimak juga perkataanku. Padahal, kukira ia tak mendengarkan.

"Aku mau renovasi halaman belakang. Bisa kita buat taman kecil yang ada kolam ikannya sesuai keinginanmu. Di sana kita juga bangun satu kamar pembantu. Sekalian bikin kamar mandi di dalam kamar agar ada privasi."

"Tak usah. Begini dulu saja. Sudah sangat privasi. Tak ada orang lain masuk kecuali kita membukakan pintu. ART tidak urgent," katanya sambil tetap membaca buku tebal berjudul "Jernih Melihat, Cermat Mencatat".

"Urgent!" bantahku penuh penekanan sambil menarik turun bukunya supaya dia lebih memperhatikan setiap kata yang aku ucapkan.

Kini Ardi memandangku. Ia memiringkan kepalanya, siap mendengar argumenku.

"Jadi Mas, sekarang aku sedang persiapan untuk membuka cabang ketiga di Yogjakarta. Namun, kali ini aku menggunakan konsep waralaba. Dan itu perdana bagiku. Jadi aku butuh persiapan yang matang dan ilmu yang cukup sebelum memulainya."

"Jika hanya menyiapkan makanan, itu bukan hal yang sulit bagiku. Namun, jika harus mencuci, menyetrika, menyapu rumah, menyapu halaman depan, halaman belakang, juga mengepel aku tak sanggup. Juga mengelap buku-bukumu agar tidak berdebu. Vas-vas bungaku juga harus rutin diganti agar tidak bau. Kita juga butuh dia untuk membersihkan kamar mandi agar tidak licin dan berlumut. Dan …"

"Dan masih banyak lagi, begitukan Suci?" Ardi memotong ucapanku. Membuatku menyadari kesalahan yang terlalu bertele-tele di hadapan pria yang selalu to the point ini.

"Iya, Mas, banyak. Jujur, aku tak sanggup," curhatku. Mataku mulai berembun. Rasanya ingin menangis. Mungkin aku terlalu lelah, merasa menjadi pembantu di rumah sendiri.

Di rumahku dulu, ibu tak pernah membiasakan aku untuk pekerjaan rumah. Ibu lebih senang aku jadi anak yang rajin belajar, supaya juara kelas, supaya gampang cari pekerjaan. Supaya hidupnya tak susah, kata ibu. Dan sekarang, aku merasa kewalahan harus mengurus semuanya sendirian.

Ardi meletakkan buku tebalnya di meja. Ia ulurkan lengannya untuk memeluk tubuhku yang kurasa bertambah kurus setelah jadi istrinya. Tenagaku terforsir. Benar-benar habis untuk urusan kerjaan dan rumah yang tak habis-habis.

"Sudah jangan cengeng. Bisa?" Ardi menenangkan aku dalam pelukannya. Air mataku akhirnya bergulir di dadanya yang bidang. Dada yang selalu memberikan kekuatan.

Ia kemudian mengangkat daguku. Dengan jemarinya, diusaplah sisa-sisa air mata yang meleleh di pipi.

"Suci, jika ada ART di rumah ini maka kita tak bisa begini," katanya sambil mencium keningku.

"Juga begini." Bibir Ardi merambat mencari bibirku.

"Dan begini," lalu Ardi membaringkan tubuhku di sofa.

"Jika ada orang lain di sini, kita tak bisa leluasa seperti ini lagi. Hanya di situ," katanya sambil memandang ke arah kamar tidur kami. Wajahnya menunjukkan ekspresi bosan.

"Bukankah itu monoton? Ayolah, biarkan rumah ini jadi surga kita selama masih berdua. Tak banyak yang harus dikerjakan di rumah sederhana ini, Suci. Kumohon, kamu bisa bersikap tegar."

Kini tubuh Ardi berada di atas tubuhku. Tangannya digunakan sebagai penopang agar tidak menindihku. Sikapnya membuat dada ini bergemuruh kencang. Aku mengira, ia akan melakukannya di sini. Namun ternyata, Ardi hanya menggoda.

"Aku tahu apa yang ada di pikiranmu," sentilnya sambil tersenyum. Rona malu kini menjalari wajahku. "Kamu mau aku melakukannya di sini sekarang?" tanyanya kembali membuat dadaku berdebar kencang.

"Iya, Mas," kataku malu. "Tapi habis ini kita cari ART sama-sama ya." Aku tak lupa membujuknya. Bagiku, masalah ART sangat penting.

"Ayolah Suci, kita urus rumah ini berdua. Tunggu hadirnya anak-anak yang akan mengacau-balaukan rumah ini. Kita hanya perlu sedikit olahraga. Mamaku, bahkan bisa sendirian mengurus rumah yang ukurannya dua bahkan tiga kali rumah ini. Dengan tiga anak yang semua ia jaga sendiri. Kurasa tak seberat itu asal kamu ikhlas."

Dibanding-bandingkan dengan mamanya yang hanya ibu rumah tangga membuat nafsuku sirna.

"Mama tidak kerja, Mas. Mama tak punya bisnis yang harus ia urus dan ia awasi setiap hari," jelasku. Bukan untuk mengecilkan peran mamanya, tetapi untuk menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda.

"Jadi menurutmu mamaku tak sehebat kamu? Seorang pengusaha sukses yang punya banyak anak buah sehingga apa-apa harus dilayani orang? Kenapa tak kau suruh orang lain untuk melayaniku sekalian?" Tiba-tiba nada suara Ardi meninggi.

Ardi menarik tubuhnya dari tubuhku. Ia duduk kembali. Mata tajamnya kini mengintimidasi. Padahal semenit lalu, mata itu berlumuran cinta penuh bara menggoda.

"Tahukah kamu Suci, karena ada ibu yang rela berkorban untuk membunuh seluruh obsesinya; yang rela tak dibayar untuk menjaga dan mengurus anak-anak serta suaminya; maka tumbuh tiga tunas bangsa yang pandai menjaga diri pula. Dan ada suami di sana, yang betah di rumah karena dihargai keberadaannya."

"Bukan seperti kamu, Suci. Kamu tak ada yang mengawasi sehingga tak bisa jaga diri. Sebenarnya aku penasaran, apa orang tuamu tahu kamu itu gadis yang tak perawan?"

DUAR!!!

Bagai disambar petir ketika mendengar kata-kata itu. Kenapa mengungkit-ungkit masa lalu lagi? Kukira kami sepakat menguburnya rapat-rapat. Mengapa Ardi mudah sekali berubah? Dari hangat menjadi jahat!

Ia sangat keterlaluan. Tak hanya menjatuhkan martabatku, tetapi juga membanding-bandingkan pola asuh orang tua kami masing-masing. Dia boleh menghinaku, tapi tidak orang tuaku. Rasanya ingin berontak.

Beginikah rasanya menikah? Bukan hanya menyatukan dua hati dan dua pikiran, tetapi juga menyatukan dua kebiasaan yang berbeda.

Ibuku bukan wanita kuno seperti Mama Ardi. Ibuku pandai mencari uang. Ibuku seorang pengusaha yang ulet dan tekun. Sedangkan mamanya? Hanya ibu rumah tangga biasa. Mengurus rumah memang pekerjaannya. Kenapa malah dibanding-bandingkan?

Bagaimana aku harus bersikap? Haruskah aku diam saja dan membiarkan Ardi mengkritik keluargaku? Atau aku harus ...?

Ah, sekali lagi hatiku remuk dibuatnya.

Sampai kapan Ardi akan menyiksa batinku? Menghujaniku dengan cinta sekaligus nestapa. Aku merasa terombang-ambing. Tak mampu untuk berlari. Namun, berat untuk bertahan.

***

Jangan lupa komen dan kasih bintang ya, kak.