webnovel

21 - SUCI : Kejutan Bombastis

"Ada kegiatan apa hari ini?" Rutin. Setiap pagi Ardi memonitoring aktivitasku by phone. Kadang berupa chat Whatsapp. Tetap saja itu mengganggu. Sebab jika tidak dibalas, ia mengomel panjang lebar.

"Pagi ini aku mau ke butik, Mas, mengecek produk baru yang ditawarkan supplier. Setelah itu, aku berencana ke rumah sakit menjenguk salah satu karyawan yang sedang dirawat. Lanjut jadi narasumber pada seminar remaja tentang 'Sukses Berwirausaha'. Kalau masih sempat, nanti mampir ke kajian sorenya." Laporku secara terperinci. Itu lebih baik daripada ditanya-tanya terus. Minimal dia tahu istrinya sibuk berkegiatan positif.

"Datang kajian hanya bila sempat? Konsepmu keliru. Baiknya kau dahulukan akhiratmu, sebelum duniamu." Pesan Ardi mendadak bijak.

"Iya, Mas, Insya Allah. Terima kasih sudah mengingatkan. Oh ya, Mas, mungkin seharian ini panggilanmu akan terabaikan."

"Udah biasa! Jika bukan aku yang menelepon duluan, mungkin seminggu tanpa kabar pun kamu baik-baik saja," balas Ardi ketus.

Aku diam, tak hendak mendebat. Dia benar. Aku bukan anak kecil yang suka laporan apa saja. Apalagi pada dia, yang aku tahu juga punya kesibukan sendiri. Kenapa kami tidak fokus pada kegiatan masing-masing saja? Yang penting aturannya jelas, jaga diri dan jaga hati. Jika aturan sudah ditaati, untuk apa masih sibuk mencampuri?

Ketika telepon diakhiri, itu menjadi moment paling melegakan bagiku.

Aku merasa ia sudah mencengkeram terlalu kuat, hingga aku merasa bagai tahanan kota yang wajib lapor setiap jamnya. Aku tidak bisa dengan terang-terangan protes, bagaimanapun aku tak ingin di sana ia gelisah memikirkanku. Cukup aku saja di sini yang menahan kesal karena memikirkannya yang luar biasa posesif.

***

Di kala aku futur, ada jadwal kajian yang masuk ke ponselku dari grup-grup kajian yang aku ikuti. Sering hanya ku-read, karena memang tak banyak waktu tersisa untuk membagi diri antara butik, pekerjaan rumah, dan pekerjaan sosial.

Ya, aku merasa sudah cukup kuat untuk teguh di jalan hijrah. Namun, ternyata aku salah. Aku masih sering goyah, terutama jika datang masalah.

Karena itu, bagaimanapun beratnya, aku tetap berusaha menyeret langkah kakiku untuk bergabung dengan majelis-majelis taklim dan kajian agama.

Seperti sore ini. Aku yang merasa kesal dengan semua perlakukan Ardi yang semena-mena, membuatku berfikir untuk pergi menjauh. Ada rasa tak nyaman yang kini mendominasi dan membuatku ingin melarikan diri.

[Di mana? Kenapa enggak diangkat?]

Kali ini Ardi kirim pesan untuk menerorku lagi. Mungkin ia kesal karena video call-nya kuabaikan.

[Di Masjid Nurul Huda. Ikut kajian. Tak pantas mainan Hp.]

[Oke semoga dapat ilmu yang bermanfaat. Share lok terkini ya. Aku tunggu, ga pakai lama.

Ah, kuhela nafas lelah. Lelah dicurigai. Kukirim lokasi terkini plus foto suasana kajian di Masjid. Sampai kapan aku begini Tuhan?

***

"Dunia adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatannya adalah istri yang salehah." (Hadis sahih riwayat Muslim). Karena itu, jika ingin bidadari cemburu padamu, jadilah istri yang shalehah. Bagaimana istri shalehah itu?" tanya ustadzah cantik yang mengisi kajian wanita sore hari ini.

"Maka Rasulullah menjawab: Wanita yang dapat membahagiakan suami saat dilihat, taat kepadanya saat diperintah, dan tidak menentang suami dengan melakukan hal yang tidak disukainya, baik tentang dirinya maupun hartanya."

"Jadi saudariku, jangan sampai kita sengaja, diam-diam berbuat yang tidak suami sukai hanya karena kita suka. Misal, sengaja boros dalam belanja karena merasa tidak kesulitan mencari uang. Artinya kita tidak menjaga harta suami yang dipasrahkan pada kita. Dalam hal dirinya? Misal: suami enggak suka istrinya pergi tanpa ijin, tapi kita sengaja pergi karena merasa ada urusan penting. Nah, apa akibatnya? Murka Allah. Boleh pergi, asal suami mengizinkan."

"Demikianlah saudari-saudari muslimahku yang saya cintai karena Allah. Semoga kita semua di sini, memiliki keikhlasan untuk berbakti kepada suami, seberat apapun itu. Selama suami tidak memerintah dalam hal kemaksiatan, maka wajib bagi kita untuk mematuhinya. Sebab: Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam hal maksiat kepada Khalik."

Sepenuh hati aku menyimak isi kajian Ustadzah Maimunah hingga membuat mataku basah. Entah bagaimana jika aku absen ke kajian ini. Mungkin, saat Ardi pulang nanti, aku tidak cukup punya hati untuk menyambutnya dengan sukacita karena terlanjur tersinggung dengan semua ucapannya. Bahkan sudah terbersit niat di hatiku, meminta cerai darinya jika ia terus posesif. Aku merasa tak bisa, jika harus menjadi katak dalam tempurung untuk mematuhinya.

Aku wanita yang mandiri, terbiasa hidup tanpa lelaki. Dan kini, selalu diawasi. Kemanapun, apapun, siapapun, semua harus melewati kontrol darinya. Terkadang, aku iri dengan orang-orang yang bisa bebas bergaul, bebas beraktivitas, bebas tersenyum tanpa dituduh macam-macam.

Namun, Allah mengembalikan aku ke jalur seharusnya. Jalur di mana titian kesabaranku harus ditingkatkan. Tak hanya tawakal, tetapi juga ikhtiar maksimal untuk mengembalikan kepercayaan Ardi padaku lagi.

***

"Mas sampai Semarang jam berapa nanti? Biar aku jemput ya." Aku berinisiatif menelepon dia pagi ini. Berharap Ardi pulang dengan hati gembira.

"Tak usah dijemput. Tunggu saja di rumah," jawabnya datar.

"Iya, Mas. Ada request? Mungkin mau dimasakkan sesuatu?"

"Apa saja yang biasa kau makan, aku bisa makan." Lagi-lagi jawabannya datar.

"Baiklah. Aku tunggu ya mas. Hati-hati di jalan, jangan lupa baca doa."

"Iya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumusalam warahmatulahi wabarakatuh."

Tut, tut, tut ... panggilan berakhir. Aku tak bisa melihat bagaimana ekspresinya, karena aku memilih menelepon dengan panggilan operator biasa.

Aku tak mau seperti dia, membuat orang tak nyaman dengan melakukan panggilan video call tanpa pemberitahuan. Apalagi jika saat itu diangkat di tempat umum. Konyol, seolah harus pamer kemesraan bahkan mungkin perdebatan, yang tidak perlu diumbar kemana-mana.

***

Ardi pulang saat jam makan malam. Aku sudah menyiapkan menu yang sempurna untuk menyambutnya. Tidak semua kumasak sendiri, ada sebagian yang kuboyong dari salah satu restoran. Aku berharap, bisa melihat senyum dan kepuasan di wajah tampan yang kaku itu.

Benar saja, Ardi terpana. Wajahnya sangat terkejut begitu masuk rumah dan melihat penyambutanku yang manis plus romantis.

Di meja makan kami, kunyalakan tiga buah lilin dengan lampu yang temaram. Ada red wine glass (gelas berkaki panjang) yang telah kuisi dengan jus jeruk berhiaskan potongan stroberi di bibir gelasnya. Sebuah kue tart vanila dengan hiasan love di atasnya turut melengkapi pesta kecil yang kubuat untuk meluluhkan hatinya.

Aku juga melengkapi penyambutan ini dengan mengenakan gaun malam yang kubeli dari sebuah butik. Gaun ini memiliki potongan seksi, hingga menonjolkan beberapa lekuk tubuhku yang selama ini kututupi. Warna gaunnya hitam berkilau, pilihan tepat untuk kulitku yang putih pucat. Tak lupa, rambut panjangku kuurai dan telah kucreambath.

Saat tadi berhias di depan cermin, aku melihat sosok Suci di masa lalu. Aku merasa malu, namun aku yakin ini langkah yang tepat untuk menyenangkan suamiku.

Rupanya usahaku tak sia-sia. Puas kulihat Ardi terpana dengan mulut menganga.

Kucium tangannya dengan takzim. Tangan yang lelah mencari nafkah. Ada aroma keringat yang ikut melekat. Bajunya kusut dan kumal, mungkin karena pulang dari bepergian jauh.

Ada haru melihat suamiku pulang dengan menenteng ransel besar. Aku tahu di dalamnya tidak banyak baju, sebab Ardi lebih suka mendominasi bawaannya dengan perlengkapan kerja seperti laptop dan kamera.

Celana jeans balel yang ia pakai, juga tampak lusuh berdebu. Betapa lelahnya harus mengejar berita dengan kedua kaki itu. Sementara aku? Mengangkat galon saja tak mampu!

Melihatnya seperti ini, hilang sudah semua kesal dan sesal yang sempat kurasa. Aku mencintainya karena Allah. Semoga semua lelah yang mendera, menjadi berkah karena Allah ridho kepadanya.

Ardi masih larut dalam keterpanaan. Ia benar-benar terkejut melihatku tampil berbeda dari biasanya. Kakinya bagai terpaku, atau malah sudah membatu? Kenapa tubuh itu tak bergerak?

"Assalamu'alaikum suami. Kenalkan aku Suci, istrimu." Aku menyapa untuk kembali menyadarkannya.

Ardi pasti pangling melihat penampilanku. Sebelumnya, aku telah memoles wajahku dengan sejumlah make up yang kubeli bersamaan dengan gaun ini. Dahulu aku karyawan swasta di perusahaan ternama. Bermake up adalah salah satu keseharianku. Kini, aku mengulang kesuksesan melukis wajah untuk membuat Ardi terkesima.

"Benarkah kamu Suci?" Ardi seolah tak percaya.

Aku mengangguk malu-malu. "Mas suka penampilanku?"

Dia justru menggelengkan kepala. "Tidak Suci, jangan begini."

Jawaban Ardi membuatku tersentak kaget.

"Mas, teganya ..." kugigit bibir kuat-kuat. Merasa malu, merasa terluka, merasa hina. Aku tak bermaksud berhias jika hanya untuk ditolaknya.

Aku berdandan hanya untuk dia. Hanya di depannya. Dan dengan gamblang, seolah tanpa dosa, ia bilang tak suka. Apa yang ia fikirkan? Terlihat seperti wanita murahan? Terlihat norak? Terlihat seperti pelacur? Atau apa? Kenapa?

Malu yang menjalar di sekujur tubuhku menyebabkan sumber mata air kembali memancar. Perlahan, air mata berguguran.

Haruskah kuberlari dan mengganti baju? Mengurung diri di kamar karena malu? Ardi, Ardi, apa yang ada dipikiranmu?

***

Gimana? Makin seru 'kan? Jangan lupa vote agar bisa lanjut sampai tamat.