webnovel

Atap Gedung

"Din, kesini.."

Dia menarik tangan kananku menggunakan tangan kirinya. Posisiku sekarang berada tepat di punggung cowok itu. Mengikuti jejak langkah kakinya yang tinggi. Masuk ke dalam lift dan menuju atap. Dia adalah Devano.

"Lah kenapa ke sini?"

"Gak apa-apa, bentar doang."

Kami berdua berada di atap gedung. Tadinya aku sudah di dalam perpustakaan bersama tema-temanku. Namun tiba-tiba cowok tampan itu mengajaku ke sini. Ini adalah atap gedung paling tinggi di antara gedung kami di sekolah. Dari sinilah semua pemandangan jelas dapat terlihat oleh mata kami.

"Nih..!" Dia menyodorkan sesuatu.

"Wah..pagi-pagi dapet cekolat." jawabku.

"Bilang apa kalo udah dikasih?".

"Iya, makasih."

"Nah gitu dong. Itu namanya baru pacar aku."

"Ish..? Aku kan belum jawab." Aku sedikit protes dengan kata-katanya itu

"Oke kamu jawab dulu," pintanya.

Aku terdiam sejenak.

"Iya aku mau."

"Gitu doang? Gak ada kata-kata lain gitu?" potesnya dia kepadaku.

"Lah harus bilang apa lagi?"

"Iya udah," katanya.

Dia memeluku dengan erat. Entah benar atau tidak yang aku rasakan, namun bagiku aku merasa bahwa Devano bukan cowok nakal yang orang-orang bicarakan. Aku selalu melihat kelembutan dan keseriusan terpancar jelas pada raut wajahnya. Dia sangat baik. Aku mencintai kelebihan dan kekuranganya.

"Nanti pulang sekolah aku teraktir makan di luar gimana? usulku padanya.

"Hmm...gimana ya?"

"Ayo jawab. Ah kamu nyebelin. Gak mau ya?" Aku bertanya dengan sedikit kesal.

"Boleh, iya aku mau. Haha" Dia tertawa sembari mengggodaku.

Ada kebahagiaan yang sangat jelas terpancar di raut wajahnya. Entah mengapa aku selalu tenang saat berada di dekatnya ini. Devano aku harap kamulah yang terbaik dalam hidupku, gumamku sendiri.

Perpustakaan, 08.15

"Tolong anak-anak tugasnya minggu depan di kumpulkan ya. Ingat, harus sudah jadi. Bekerjasama dengan kelompoknya masing-masing," penjelasan Bu Asih.

"Bu, maaf nanya. Ini bikin resensi novelnya di ketik lalu di print atau diketik lalu di kirim email bu?" tanyaku pada Bu Asih.

"Oke makasih ya Adina. Sudah mengingatkan Ibu. Anak-anak minggu depan dikumpulkan melalui email ya. Ibu akan periksa pekerjaan kalian."

"Oh, iya email sudah Ibu kirim ke chat group kelas." kata Bu Asih.

"Din, gimana?" tanya Devano.

"Gimana apanya?"

"Aku belum paham tugasnya gimana?"

"Nanti aku ajarin," kataku.

"Oke, terus dimana ngerjainnya?"

"Di rumahku aja gimana?" tanyaku.

"Kalo di rumahku aja Din? Ada Mbok Asih kok."

"Ya udah deh, oke."

Ruang Kelas, 11.13

"Anak-anak kita kedatangan siswi pindahan dari Bandung. Dikarenakan tadi harus mengurus keperluan administrasi dan dokumen lainnya maka barulah siang ini dia bisa mulai mengikuti pembelajaran. Coba perhatikan dulu ya. Silahkan diperkenalkan diri di depan teman-temanmu," kata Pak Bejo, Guru Kesenian itu.

"Halo semua... Namaku Mellyana Nirmala Elgos. Panggil aja aku Melly. Aku dari Bandung, salam kenal semua.." seru gadis bernama Melly itu.

Hujan, cafe dan senja adalah tiga elemen penting dalam momen perdana ini. Membawaku sejenak menaiki tangga puncak kebahagiaan ketika bersamamu. Mengaduk secangkir cokelat dan menikmati senja bersama. Kita berdua seperti sepasang siang dan malam dalam harmoni yang indah. Aku menyukai cokelat, dan kamu menyukai kopi. Dapatkah kita semeja bersama?

Cafe, 16.33

Bagaimana bisa aku melukiskan kebahagiaan ini secara jelas. Momen yang indah di sore hari bersama Devano. Tak akan pernah terlupakan begitu saja. Kami berada di sebuah cafe yang baru perdana buka.

Persis seperti hari jadi kami yang juga baru perdana di rayakan, hari jadi yang baru satu hari. Entahlah, ini disebut kencan atau perayaan. Tapi satu hal yang pasti, dan tidak bisa dibantah.

Aku bahagia bersamamu.

Sebuah cafe dengan konsep seperti rumah dengan luas sekitar sepuluh kali Sembilan meter persegi. Di dalamnya terdapat lukisan-lukisan abstrak yang tidak sedikit, terpasang di dinding cafe. Dinding yang warnyanya lebih didominasi dengan cokelat tua dan hitam, serta terdapat banyak mural kopi di dindingnya. Milly Cafe, cafe yang perdana buka di Malang.

Kami duduk berhadapan dengan meja kecil bulat berbahan besi berwarna hitam, alasnya menggunakan kaca bening. Selayaknya tempat ini, hanya ada sekitar lima belas meja kecil di dalamnya. Setiap meja hanya di dipadu dengan dua kursi. Cafe ini memang kecil namun sangat romantis.

Aku bertanya pada Devano ketika kami baru duduk di kursi.

"Mau pesan apa Van?"

"Aku cappuccino"

"Terus makananya apa?"

"Spageti aja."

"Ada lagi?"

"Sudah.." Aku melambaikan tangan kepada pelayan di cafe ini. Kemudian seorang perempuan datang menemui kami

"Mbak..."

"Iya mbak, mau pesan apa?" tanya pelayan itu dengan ramah kepadaku.

"Oh iya Mbak, cokelat panas satu sama cappucinonya satu ya.."

"Ada lagi Mbak?"

"Sama spageti-nya dua ya Mbak," jawabku.

"Oh..iya hampir lupa. Pisang gorengnya satu ya mbak." Aku menambahi pesananku.

"Oke mbak, udah aku catat ya."

Devano tampak sedikit bingung kemudian melancarkan pertanyaan.

"Kamu laper ya Yang?"

Seketika aku diam karena kaget. Wajahku memerah bukan dengan pertanyaannya, lebih kepada panggilan "Yang" dari kata Sayang yang dia ucapkan untukku. Panggilan spesial untuk orang special menurutku.

"Aku belum makan dari siang Van. Tadi belum makan di rumah."

"Jangan panggil Van dong, panggil aja Yang gitu...!" Pintanya kepadaku sembari menampakan ekspresi tersenyum kecil.

"Iya Van. Eh..Yang maksudnya." Dia kembali tersenyum kecil dan menatapku dalam-dalam. Lalu pipiku yang sedikit berisi ini dicubit dengan tangannya.

"Ish...jangan gitu dong. Malu ah"

"Nggak apa-apa, kan di sini nggak ada yang kenal."

Beberapa jam berlalu seperti beberapa menit. Waktu seakan berputar dengan sangat tidak manusiawi. Rupanya memang momen ini sangatlah spesial. Hingga kami larut di dalamnya. Kami bercanda, mengobrol tiada henti. Dulu kami berteman dan sekarang kami berpacaran. Hanya status yang berubah. Kami tetaplah sama.

Rumah, 20.42

Saat kami duduk berdua di ruang tamu rumahku. Kami mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh Bu Asih kepada kami, aku dan Devano. Tiba-tiba ponselku mengeluarkan suara notifikasi chat masuk. Aku membuka ponsel dan membaca isi chat yang dikirim bunda kepadaku.

"Adina cantik, Bunda belum bisa pulang. Pulangnya besok pagi. Karena ini ada lembur di kantor. Kalo nanti laper buka lemari pendingin bikin mie goreng, ada telur juga di sana. Atau beli bakso di Bang Ali ya. Kalau uangmu habis, Bunda tinggalin uang di atas meja kamarnya."

"Iya Bunda, jaga kesehatan. Jangan lupa makan malam di kantor," send Bunda.

"Makasih ya cantik. Bunda sayang kamu."

"Sama-sama Bunda. Aku juga sayang Bunda," send ke Bunda.

"Siapa Yang?"

"Bunda yang ngirim chat."

"Kenapa yang Bunda?"

"Nggak apa-apa yang, cuman bilang kalau mau lembur di kantor. Pulang besok pagi."

"Terus kamu gimana?"

"Gimana apanya Yang?" Aku bingung dengan pertanyaanya.

"Dirumah sendiri berani? Nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apalah, emangnya aku anak kecil."

"Iya udah kalau gitu. Eh yang, tugasnya tinggal dulu. Kita nonton film yuk?" Kamu ada film bagus nggak?"

***