webnovel

Empat Belas

Jika ada pertanyaan apakah aku senang bekerja di PT, jawabannya adalah sama sekali tidak. Aku menjalani hari-hari yang amat buruk. Bekerja selama delapan jam sehari dari hari Senin sampai Jumat, ditambah lima jam kerja di hari Sabtu. Jadi, total 40 jam dalam seminggu.

Bahkan jika sedang shift malam, aku benar-benar tidak bisa menahan kantuk akibat begadang semalaman. Saat jam bekerja pun, aku pernah tertidur saking beratnya mata ini. Hingga tak jarang, teman-teman line yang sudah senior walaupun usianya lebih muda dariku, menjadi amat sombong dan berlaku tak sopan.

Perlakuan tak sopan, iri hati, sikut-sikutan sesama karyawan, hingga cari muka kepada atasan adalah gambaran yang sudah menjadi rahasia umum pekerja di sebuah perusahaan manapun. Tak jarang dulu, saat teman-temanku yang baru saja lulus SMA, yang langsung bekerja di PT itu, mereka selalu membuat status di facebooknya seperti,

"Harus tahan mental dan tahan kuping."

"Sabar.. Sabar.. Aku pasti bisa!"

Saat aku membaca status mereka, aku tak pernah komen dan mempedulikannya. Tapi, ternyata status mereka dahulu, kini bisa aku rasakan pedihnya perjuangan dalam bersaing di dunia perusahaan yang kejam. Karena lingkungan yang kurang baik itulah, aku benar-benar berubah menjadi seseorang yang mudah emosi.

Ketika pulang ke rumah dalam keadaan lelah karena bekerja. Aku yang tak pernah lagi ingat untuk makan, mandi, bahkan sholat pun dilewati, membuat orang di rumah terlalu berisik sehingga mengganggu jam istirahatku yang tak lama itu. Seringkali aku marah-marah kepada papa dan adikku ketika mereka membangunkan aku untuk sholat. Yang aku inginkan saat itu, aku hanya ingin tidur nyenyak tanpa ada gangguan. Karena saking lelahnya, aku menjadi tak mampu mengontrol emosiku. Semua pendidikan yang aku dapatkan selama empat tahun di Universitas dulu, buyar seketika.

***

Selama di Mayora, aku juga pernah dekat dengan seorang lelaki yang juga merupakan mahasiswa dari Universitas swasta. Dia adalah mas Aris. Mahasiswa D3 semester akhir, asli Jawa Tengah yang sangat baik terhadapku. Yang mungkin ada maunya juga. Pikirku.

Aku mengenalnya saat aku ditugaskan untuk berpindah line atau tempat kerja di bagian Coffe Joy, yang sebelumnya di line Sari Gandum. Awalnya kami hanya menjadi teman berbagi kisah. Namun, lama-kelamaan dia menceritakan semua permasalahannya dengan pacarnya saat itu. Aku yang berusaha untuk menjadi penengah itu hanya mampu menasihati semampuku, serta memposisikan diri sebagai pacarnya pun sebagai dirinya. Ia mengatakan bahwa pacarnya cenderung posesif. Bahkan sampai berani menemuinya ke kosan hanya untuk membuktikan apakah dia sedang ada di kos atau tidak. Karena saat itu sang pacar meminta untuk ditemani pergi ke suatu tempat, namun mas Aris tak menyanggupinya. Sehingga, saat sang pacar menemuinya di kos, benar saja. Mas Aris sedang istirahat di kos tersebut. Maka, mungkin saat itulah sang pacar tidak percaya dan menjadi posesif terhadapnya.

Aku tak pernah menyukai mas Aris. Apalagi setelah tahu dia sudah memiliki pacar. Sebagai teman yang baik, aku hanya bersedia menjadi teman curhatnya saat dirinya sedang bermasalah dengan pacarnya. Namun, hal yang tak pernah kuduga pun terjadi. Mas Aris secara tidak langsung menyatakan perasaannya padaku. Bahwa ia menginginkan seorang istri nantinya adalah seorang guru. Dia beranggapan bahwa seorang guru adalah sosok ibu yang sabar dan bisa mendidik anak-anaknya kelak. Jelas saja bukan tersanjung yang aku dapatkan. Aku benar-benar ilfeel terhadapnya.

Pantas saja akhir-akhir ini ia menjadi sering mengantarku pulang ke rumah selepas kerja. Sering mentraktirku sarapan saat kami pulang dari shift malam. Aku yang kecewa terhadapnya langsung mengutarakan perasaanku saat itu.

"Mas itu kan udah punya cewek. Kenapa mas berani nembak cewek lain? Itu sama aja mas berkhianat, tau?!" tegasku dengan sedikit menyudutkannya.

Dia yang berasal dari Jawa Tengah itu benar-benar menjawab dengan tenang dan lemah lembut sekali.

"Loh? Kok berkhianat? Aku kan sudah bilang, kalo aku sudah putus. Cuma cewekku aja yang gak pernah mau kalo kita putus." alasannya.

"Iya mas, paham. Ini namanya aku jadi orang ketiga. Kalo dia masih dekat sama mas, ya mas gak boleh nyakitin perasaan dia dong! Emang mas mau kalo keadaannya di balik? Mas yang dikhianati sama orang yang mas sayang? Mau?" jelasku panjang lebar.

"Ya, nggak mau lah! Makanya, aku mau jelasin lagi ke dia kalo aku udah capek dan mau putus." jawabnya dengan seenaknya.

"Nggak lah mas. Aku gak mau jadi orang ketiga. Ini tuh intinya gara-gara aku, mas jadi putus kan?" tolakku.

"Bukan gara-gara kamu, kok. Memang aku yang udah lama gak nyaman sama dia. Tapi, ya dijalani aja karena keluarga di kampung sudah tahu semua kalo kita pacaran." jelasnya dengan tetap teguh.

"Udah jangan berantem terus, ini dimakan dulu sotonya. Masa pengantin baru berantem?" ujar tukang soto ayam, tempat kami sarapan pagi itu.

Aku yang kaget mendengar perkataan tukang soto itu, hanya mampu saling tatap dan sedikit tertawa dengan mas Aris. Sambil menyantap soto ayam yang masih panas itu, aku bersikap tegas kepadanya.

"Mas, lebih baik mas selesaikan dulu urusan mas dengan pacar mas itu! Aku pun cuma mengganggap mas sebagai sahabatku kok. Aku pikir mas juga begitu. Ini untuk ke depannya aja, aku kasih tau ya mas? Mas jangan sesekali menyia-nyiakan orang yang udah sayang tulus dengan kita. Dia gak mau putus, dia posesif, sebenarnya bukan gak percaya lagi sama mas. Tapi, dia itu takut kehilangan mas. Mas paham kan?" nasihatku panjang kali lebar yang hanya dibalas singkat oleh mas Aris.

"Ya udah kalo gitu. Makasih nasihatnya."

Dia hanya terdiam, dengan pembawaannya yang kaku itu membuatku sedikit kasihan karena telah menolak perasaannya. Namun, aku juga tidak ingin menjadi perusak hubungan orang. Aku tahu persis bagaimana rasanya takut kehilangan orang yang kita sayang. Untuk kali ini, aku pikir keputusan yang aku ambil sudah tepat.

Selesai sarapan, dia pun mengantarku pulang. Saat papa sedang merapikan barang-barang di warungku, aku sengaja mengajaknya untuk berkenalan dengan papa. Namun, ia enggan dan beralasan ingin langsung pulang. Sebenarnya, aku hanya ingin mengujinya. Apakah dia berani memperkenalkan diri kepada papa atau tidak. Benar saja, dia tidak berani. Saat itu aku menilai dia bukanlah lelaki gantle yang aku harapkan. Jangankan gantle, sudah memiliki pacar pun, dia berani sekali ingin selingkuh dan menjadikan aku sebagai tersangka orang ketiga dalam hubungan mereka. Mungkin dia akan aman. Sedangkan aku? Bisa-bisa disantet oleh pacarnya yang posesif itu. Pikirku.

"Aku tidak sebodoh itu, mas Aris!" gumamku dalam hati.

***