"Bara, kamu mau kemana?" tanya Wini.
"Aku mau ke tempat Pamannya Susan, aku diundang kesana."
"Ada acara apa?"
"Katanya ulang tahun pernikahan."
"Kok undang kamu, kamu kan belum menikah?"
"Yang undang aku kan Susan, jadi gak masalah dong, Susan kan belum menikah."
Wini mengangguk, baiklah itu bisa diterima, dan semoga saja setelah melihat perayaan ulang tahun pernikahan itu, Bara jadi minat untuk segera menikah.
Wini tersenyum, tentu saja karena Bara sudah cukup untuk menikah sekarang, umurnya sudah 26 tapi Bara belum pernah membawa wanita menemui Wini.
"Mamah kenapa?" tanya Bara.
"Gak apa-apa, Mamah berharap kalau kamu bisa bertemu jodoh kamu disana."
Bara diam, Bara akan pergi bersama Gabriela, dan tentu saja Bara berharap jika Gabriela yang akan menjadi jodohnya.
"Kalau dapat, langsung bawa ke Mamah ya."
"Apaan sih Mamah ini."
"Gak apa-apa, kamu sudah dewasa dan sudah waktunya untuk menikah."
"Mamah doakan saja ya, semoga Bara bisa bertemu jodoh disana."
"Amin, amin, Mamah doakan, pasti Mamah doakan."
Bara tersenyum dan memeluk Wini sekilas, Bara memang sudah ingin menikah, tapi dengan Gabriela dan kalau bukan Gabriela maka Bara tidak mau menikah.
"Aku berangkat ya."
"Ya sudah hati-hati."
Bara melepaskan pelukannya dan berlalu meninggalkan Wini, Bara harus datang lebih dulu dari pada Rendi, dan sekarang Bara harus segera sampai kesana.
Bara memasuki mobilnya dan melaju pergi, mau bagaimana pun, Bara merasa sudah cukup mapan untuk menikah tapi Bara belum punya keberanian untuk mengungkapkannya.
Ditengah perjalanan, Bara harus berhenti karena lampu lalu lintas yang berwarna merah.
Bara membuka ponselnya dan mengirim pesan pada Gabriela jika dirinya sedang di jalan, Bara tersenyum saat pesan itu terkirim bahkan meski belum ada balasan.
Bara menyimpan kembali ponselnya dan melirik mobil di sampingnya, mata Bara menyipit mobil avanza putih itu cukup dikenalinya.
"Papah," ucap Bara pelan.
Bara melihat satu orang yang sedang mengemudi, dan itu pasti sopirnya, Bara melihat kursi belakangnya dan ada dua orang di sana.
Bara mengusap bibirnya tanpa berpaling memperhatikan dua orang di sana, ada satu lelaki dan satu perempuan di sana.
Bara melihat tatapan lelaki itu begitu bernafsu pada wanita di sampingnya, Bara sempat melihat lampu di depannya dan masih merah.
Tangan Bara mengepal kuat dengan tatapan yang kembali pada dua orang di sana, Bara melihat lelaki itu mencium wanitanya dengan buas.
Jantung Bara bergemuruh hebat, darahnya terasa naik sampai ke ubun-ubun melihat kelakuan menjijikan seperti itu, Bara membuka pintunya tapi bersamaan dengan itu klakson kendaraan lain terdengar kompak.
Bara melihat lampu lalu lintas yang telah berubah hijau, Bara memejamkan matanya sesaat dan kembali menutup pintunya.
Mobil avanza putih itu telah melaju lebih dulu, sial .... Bara gagal menghampiri mereka, Bara lantas melajukan mobilnya dan berusaha meredam amarahnya saat ini.
Mobil Bara memasuki halaman rumah Gabriela sedetik setelah mobil Rendi mekasukinya, Bara terlambat sampai dan Rendi telah lebih dulu dari pada dirinya.
Keduanya keluar bersamaan, Rendi lantas menghampiri Bara di sana.
"Riel, akan pergi sama aku." Ucap Rendi.
Bara mengangguk, bukankah Bara sudah tahu tentang itu dari Gabriela sewaktu di telepon.
"Silahkan pulang, sebelum kamu kecewa."
"Aku gak akan kecewa, aku akan disini sampai aku mendengar sendiri, Riel mengusir ku."
Rendi tersenyum dan mengangguk, jadi rasa percaya dirinya masih sangat besar untuk bisa bersaing dengan Rendi.
"Silahkan," ucap Rendi yang kembali ke mobilnya.
Rendi menekan klaksonnya, berharap akan ada yang keluar dari dalam rumah, dan memang benar adanya, Gabriela keluar bersama dengan Arin.
Rendi langsung menghampiri keduanya dan salam pada Arin, tapi Gabriela memilih menghampiri Bara di sana.
"Riel," panggil Arin.
Rendi melihat mereka berdua di sana, kedua tangannya langsung mengepal kuat, apa maksud Gabriela seperti itu.
"Kamu kenapa?" tanya Gabriela.
"Kenapa apanya?" tanya balik Bara.
"Kamu kayaknya lagi kesal, ada apa, kenapa wajahnya seperti ini?"
Bara menunduk sesaat, kekesalannya terhadap kejadian yang dilihatnya tadi memang masih sangat kuat.
"Kamu kenapa sih, ada masalah, cerita dong sama aku."
"Nanti aku cerita ya, sekarang gimana keputusannya, aku datang belakangan dari pada Rendi."
Gabriela melirik Arin dan Rendi di sana, apa pun itu keputusannya tetap sama, Gabriela tidak ingin pergi dengan Rendi.
"Mah, aku ada undangan dari Susan, dan aku harus kesana sekarang juga."
"Riel, jangan seperti itu."
"Maaf Mah, tapi selama ini teman aku adalah yang terpenting."
"Riel."
"Aku akan pulang kalau acaranya sudah selesai."
Gabriela langsung mengajak Bara memasuki mobil, sempat ada sedikit perdebatan karena Bara merasa harus pamit pada Arin, tapi Gabriela melarangnya dan memintanya untuk segera pergi saja.
"Permisi, Tante."
Bara lantas memasuki mobil bersama dengan Gabriela, mereka meninggalkan rumah begitu saja tanpa peduli dengan Arin dan Rendi di sana.
"Bagaimana ini, Tante?" tanya Rendi kesal.
"Maaf, Tante belum sempat bicara sama Riel, kalau Riel pulang nanti, Tante akan coba bicara ya."
Rendi berdecak seraya berpaling, itu bukan jawaban yang diinginkannya, Rendi sudah jauh datang ke rumah itu tapi justru ditinggalkan begitu saja.
"Kalau anak Tante masih seperti ini sama aku, lebih baik aku pakai cara aku sendiri."
"Apa maksud kamu?"
"Tante fikirkan saja sendiri."
Rendi turut memasuki mobilnya dan meninggalkan rumah itu juga, Arin terdiam mencerna kalimat Rendi.
Apa maksud lelaki itu, apa yang akan dilakukannya pada Gabriela atau mungkin pada Bara.
"Jangan sampai ada hal yang tak diinginkan yang akan terjadi nanti, semoga saja Rendi hanya menggertak."
Arin mengangguk dan memasuki rumahnya, tidak boleh banyak berfikir karena semakin berfikir, justru pemikirannya semakin kabur.
----
"Jadi ada apa?" tanya Gabriela.
"Aku melihat Papah sama wanita lain, dia menciumnya dengan penuh nafsu."
"Kamu yakin, bisa saja kamu salah lihat."
"Itu mobil Papah, aku masih ingat, dan memang Papah yang ada di dalamnya bersama dengan wanitanya."
Gabriela menggeleng, tentu saja Gabriela tahu tentang masalah keluarga Bara, tapi apa yang bisa dilakukannya sekarang, sama sekali tidak ada.
"Sabar ya, pasti akan ada jalan keluarnya."
Gabriel mengusap tangan Bara, sentuhan itu seketika menghangatkan perasaan Bara yang sejak tadi panas.
Bara menoleh dan melihat senyuman Gabriela, wanita itu memang selalu mampu membuat Bara menjadi lebih baik dalam setiap hal, termasuk emosinya sendiri.
"Sabar, kamu harus kuat demi Mamah kamu, kamu jangan terlihat sedih atau kamu akan melihat Mamah kamu semakin sedih."
"Iya, aku tahu, Riel."
"Sudah senyum, lupakan dulu tentang itu, nanti kita coba fikirkan sama-sama."