"Memangnya lo dengar gue ngomong apaan coba?" tanya Jordan. Kepalanya dimiringkan ke samping, agar bisa melihat raut wajah Tania dengan jelas.
"Sudahlah, gue lagi males buat bahas apa yang lo omongin tadi." Menyerah dengan cepat, ketika tidak ada hal yang menurutnya menarik. Iya, begitulah sikap Tania.
Jordan hanya bisa tersenyum untuk menanggapi sahabatnya yang sudah mengenakan senjata andalannya. Ia menatap piring miliknya yang masih ada beberapa suap makanan di sana, untuk kemudian segera dihabiskan olehnya.
Beberapa saat kemudian, Tania dan Jordan sudah kenyang untuk menikmati semua masakannya Nani itu. Mereka berdua berjalan menuju dapur, dan meletakkan piring serta gelas kotor di atas wastafel.
"Tan, gue mau tanya sesuatu sama lo deh, boleh?" tanya Jordan, dengan terus memperhatikan Tania yang tengah asyik untuk mencuci piring bekas makannya tersebut.
Dengan tangan penuh busa sabun cuci piring tersebut, Tania pun menoleh ke belakang di mana Jordan berdiri. Ia mengangkat salah satu alisnya, sembari berucap, "Memangnya apa yang ingin lo bicarakan sekarang? Biasanya juga langsung ngomong aja tuh, gak pernah juga lo izin sama gue."
"Ini beda, Tan. Kali ini gue sangat serius buat ngomong sama lo, maksudnya tanya gitu." Meralat ucapannya sendiri saat merasa ada yang salah, dengan tangan membekap mulutnya.
Tania terkekeh pelan. Ia tidak habis pikir dengan tingkah sahabat lelakinya tersebut, yang entah kenapa harus gugup begitu? Padahal, tidak perlu.
"Baiklah, tunggu sebentar. Gue juga sebenarnya ada hal yang ingin diceritakan sih," kata Tania, yang buru-buru untuk menyelesaikan tugasnya kali ini.
"Mau gue bantuin gak? Hitung-hitung biar lekas kelar aja sih kerjaannya, lalu kita pun bisa ngobrol sepuasnya." Jordan dengan cekatan segera membantu Tania untuk membilas semua piring yang sudah selesai dicuci.
Tania tersenyum tipis, melihat Jordan yang selalu saja membantunya tanpa pernah diminta ini. Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya mereka pun selesai.
Tania mengajak Jordan untuk menuju kamarnya saja, di mana mereka bisa bicara sepuasnya.
"Lo mau ngomong tentang apa sih, Dan?" tanya Tania, sesampainya di kamar. Sekarang mereka berdua memutuskan untuk duduk di balkon, dengan pemandangan gelapnya langit di atas sana.
Jordan masih menatap Tania, dan beberapa kali melemparkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak banyak mengatakan apa pun, selain berdehem pelan.
"Jordan! Lo mah kebiasaan banget sih, katanya ada satu hal yang ingin dibicarakan, itu apa?"
"Sabar dong, Tania. Gue juga lagi mikir mau ngomong dari mana dulu," jawab Jordan. Menyugar rambutnya ke belakang, tapi tentu saja itu semua percuma karena angin yang berembus kencang. "Atau gini deh, daripada lo tidak sabaran buat dengar gue ngomong ... bagaimana kalau lo duluan saja yang cerita? Tadi ada yang ingin diceritakan?"
Tania dengan cepat mengangguk. Ia tersenyum lebar, mengingat yang akan diceritakannya kali ini sangat sempurna juga spesial. Tidak, ini sangat berlebihan sekali.
Namun, bukankah satu hal yang wajar? Ketika orang mulai jatuh cinta, pasti akan selalu bertindah hal lebay.
"Iya, gue mau cerita satu hal yang buat bahagia. Lo pokoknya harus dengar baik-baik tentang ini," ungkap Tania, dengan semringah juga girang di wajahnya. "Mmm, lo kenal kan sama Adelio? Itu loh, orang yang satu eskul sama lo. Tau kan, ya?"
Jordan mengernyitkan keningnya saat mendengar Tania yang menyebutkan nama satu lelaki, dan tentu saja dirinya cukup mengenal dengan baik.
"Kenal? Memang ada apa dengan dia? Ganggu ketenangan lo?" tanya Jordan, dengan sikap waspadanya.
"Justru bukan begitu yang dimaksud, Jordan. Lo harus dengar gue cerita intinya! Jadi, dia itu ... lelaki yang gue suka," jelas Tania, dengan anggukan pelan. Senyum pun terulas lebar pada bibirnya.
Jordan menatap Tania sedikit tidak percaya. Setelahnya, ia tertawa renyah ketika mendengar cerita sahabatnya tersebut, sampai membuatnya menitikkan air mata.
Tania menatap Jordan aneh. Perasaan, yang dikatakannya ini bukan satu hal yang perlu ditertawakan begitu, dan entah dari segi mana yang lucu? Ia bahkan tidak menemukan titiknya sama sekali.
"Kenapa lo ketawa sih?" Tania menyenggol bahu milik Jordan, hingga terhuyung ke belakang dan terduduk di lantai.
Jordan mencoba untuk menghentikan tawanya. Ia pun mengusap air mata yang sempat menitik, dan menatap Tania dengan tatapan yang sukar diartikan.
"Sejak kapan lo suka sama dia, Tan? Terus, apa tanggapan dia tentang lo coba?" Jordan menaik turunkan alisnya. "Maksud gue begini loh, tahu sendiri kan bagaimana Lio orangnya. Dia pemimpin yang tegas, sedangkan lo? Kayaknya berbanding terbalik deh."
Tania melipat kedua tangannya di depan dada, dengan cemberut kesal. "Memangnya gue gak pantas ya sama dia?"
Jordan menggeleng. Ia berjalan mendekat ke arah Tania yang membelakangi dirinya, dengan tangan merangkul bahu sahabat wanitanya tersebut.
"Siapa yang bilang kalau lo tidak pantas buat dia?"
"Lo!"
"Gue? Orang gak bilang apa pun juga. Lo tahu gak sih? Justru, gue rasa dia adalah orang yang paling beruntung karena bisa dicintai sama lo," terang Jordan, dengan senyumnya yang tipis.
Tania menatap wajah Jordan, dan mencoba mencari kebenarannya pada tatapan itu. "Ini bukan kalimat penghibur doang kan, ya?"
"Bukan dong. Yang gue ucap tadi, memang benar." Jordan mengangguk pelan, sembari berkata, "Memangnya kenapa sih lo mendadak cerita tentang dia? Apa ada sesuatu? Atau jangan-jangan ... lo sekarang udah jadian sama dia?"
Tania terkekeh pelan, seraya menggeleng. "Tidak. Gue bahkan belum kenal dekat sama dia, bagaimana ceritanya bisa jadian coba?"
Jordan sedikit penasaran dengan cerita Tania yang menurutnya serba mendadak itu. "Iya juga sih. Terus, kenapa tiba-tiba nanyain hal begituan?"
Tania mengedikkan bahunya ke atas, dan berjalan menuju tepi balkon. Menghirup napas dalam-dalam, dan merasakan angin yang berhembus pelan.
"Gue cuman pengen cerita doang sih, tidak ada hal lain dari itu," kata Tania, dengan mata yang terpejam sempurna.
Di belakang sana, Jordan mengangguk pelan seraya bibir yang mengulas senyum. Ia memilih untuk melangkah mendekat dan berdiri di samping Tania, dengan tatapannya yang mengarah ke atas langit.
"Malam ini langitnya cantik, Tan. Kayak seseorang yang gue sayang," bisik Jordan, yang mampu membuat Tania menoleh dan menatapnya penuh tanya.
Tania menoleh ke samping dan melihat Jordan yang masih memperhatikan kelamnya warna langit di atas sana. "Apa katanya? Orang yang disayang? Siapa?" batinnya mulai bertanya-tanya.
Mereka kecil di lingkungan yang sama, dan bahkan untuk sekolah pun selalu saja bersama-sama. Terlihat tidak pernah bisa dipisahkan, tentu saja kalimat Jordan yang menyayangi seseorang membuat Tania cukup terkejut.
"Dan!" panggil Tania, yang menepuk pelan punggung milik Jordan. "Lo sayang sama siapa sih? Gue penasaran ini. Coba lo cerita sama gue, siapa yang lo sayang itu?"