"Apa pun yang berhubungan dengan lo gue akan selalu menganggap itu adalah hal yang bisa gue bawa santai, tapi untuk kali ini gue nggak bisa muncul sebagai orang yang santai, Ci." Mendengar apa yang dikatakan Akbar, Suci semakin tidak bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara. Dan untuk kali ini Akbar memunculkan sisi lainnya yang tak bisa ditebak dengan gamblang bahkan oleh Suci sekali pun.
"Lo ngomong apa sih, Bar? Kok gue nggak ngerti pembicaraan ini akan berakhir di mana?" tanya Suci penuh dengan kehati-hatian, tapi kali ini Akbar memang telah menjadi sosok yang asing untuk Suci. Bagian ternahasnya Suci tidak tahu apa yang melatarbelakangi hal ini sampai terjadi. Tapi apa pun itu pastinya bukan hal yang bisa dianggap remeh.
"Lima menit sebelum sidang dimulai tadi, Pak Rafa menelponku, Ci," jelas Akbar, tapi tetap saja dia merasa ambigu dengan apa yang sedang terjadi kini. Akbar akan selalu menjadi sosok yang paling penuh dengan warna untuk Suci yang hanya memiliki warna abu-abu di hidupnya.
"Nelpon kamu, lalu salahnya di mana?" Tercengang mungkin itulah kata yang saat ini sedang dirasakan oleh Suci, satu hal yang teramat pasti untuk saat ini setelah mendengar penjelasan yang dikatakan oleh Akbar nantinya pasti Suci akan sangat jauh dari kata baik-baik saja.
"Kamu mau tahu salahnya di mana?" Mendengar intonasi suara Akbar yang tidak ada santainya sama sekali membuat Suci jadi ketar ketir sendiri.
Flashback On ….
Drrrt … Drrrt … Drrrt …
Gawai milik Akbar berdering dengan sangat nyaring, dahinya sontak mengernyit saat melihat nama yang saat ini sedang memenuhi layar gawai miliknya.
"Pak Rafa?" gumam Akbar saat melihat nama dari pengacara yang masih menjadi rivalnya itu.
Tapi Akbar tidak akan menemukan jawabannya kalau dia masih saja terjebak dalam situasi yang penuh dengan tanda tanya itu.
Jari Akbar yang terlihat lentik itu pada akhirnya menggeser ikon hijau yang ada di layar gawai miliknya.
"Halo, selamat pagi menjelang siang, Pak Akbar Maulana Bagaskara. Maaf telah mengganggu waktu anda, tapi saya hanya ingin mengatakan kalau nanti saya tidak bisa hadir saat persidangan." Kedua alis milik Akbar lantas saja bertautan satu sama lain saat mendengar apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya itu.
Rafa Afif Alzani adalah anak kedua dari pasangan Suci Indah Ayu dan juga Firman Afif. Saat ini adalah pemegang kekuasaan tertinggi dari Firma Hukum Agasa dan Rekan.
"Tapi agenda hari ini adalah pembacaan ikrar talak dari pihak bapak." Tanpa Akbar sadari kini intonasi suaranya itu naik satu oktaf saat mendengar apa yang dikatakan oleh Rafa.
"Saya paham dan saya tahu, client saya akan tetap membacakan ikrar talak untuk client anda, tapi yang mendampinginya bukan saya, tapi salah satu rekan saya di Firma Agasa dan Rekan." Mendengar apa yang dikatakan oleh Rafa tidak serta merta membuat Akbar menaruh rasa percaya padanya. Tetap saja Akbar adalah Akbar, orang yang tak mudah menaruh rasa percaya pada orang lain.
Sebagai orang yang tidak satu dua kali berhadapan dengan Akbar, tentu saja saat ini Rafa bisa memahami apa yang dikatakan oleh seseorang yang saat ini menjadi lawan bicaranya.
"Siapa?" tanya Akbar yang sedang diselimuti dengan rasa yang ingin tahu cukup tinggi.
"Pak Firmansyah Satria Utama dia baru saja--"
"Anda jangan bercanda!" pangkas Akbar dengan cepat, atas apa yang dikatakan oleh Rafa barusan. Intonasi suara Akbar terdengar nyaring dan juga melengking sehingga membuat Rafa mau tidak mau harus menjauhkan gawai yang sedang dia genggam dari telinga agar dia tak kehilangan sebelah indra pendengarannya.
"Sayangnya saya tidak bercanda, yang sedang menggantikan saya di persidangan saat ini memang Firman. Tidak perlu khawatir, Firman adalah orang yang bertanggung jawab dan memiliki dedikasi yang cukup tinggi dalam pekerjaan."
BRAK!
Di luar dugaan gawai yang digenggam dengan sangat erat oleh Akbar kini sudah berada dalam keadaan yang tak berbentuk. Kenapa? Jawabnya hanya satu karena benda yang tidak berdosa itu telah dibanting dengan sangat kuat oleh Akbar yang saat ini sedang kesulitan untuk mengendalikan kadar emosi dalam jiwanya. Berat? Tidak ada juga yang mengatakan ini mudah.
Tapi tak ada satu pun hal yang pasti kenapa Akbar bisa bersikap begitu emosionalnya jika antara dia dan juga Suci hanya sebatas sahabat tanpa adanya cinta? Dan pada akhirnya hanya sang waktulah yang bisa menjawab ini semua secara gamblang.
Flashback Off ….
"Di situ salahnya Suci Indah Lestari, apakah cerita gue tadi itu masih kurang untuk membuat lo mengerti, hah?" tanya Akbar yang memang terlihat seperti orang yang kebakaran jenggot. Mengendalikan apa yang menjadi titik emosinya saat ini bukanlah hal yang mudah untuk dia lakukan.
"Lo tahu?" tanya Suci yang masih diselimuti rasa tidak percaya, bagaimana tidak kini dia meyakini kalau di dunia ini memang tidak ada yang abadi.
"Semuanya gue tau, Ci," jawab Akbar mempertegas jawaban atas apa yang menjadi pertanyaan Suci.
Suci bisa merasakan lemas di sekujur tubuhnya, tidak hanya itu ada banyak peluh yang bercucuran di keningnya. Dan untuk saat ini Suci tidak layak dinobatkan dengan kata baik-baik saja.
"Ci … kan sebelumnya gue udah pernah bilang ama lo kalau lo itu--"
"Nggak, Bar. Lupakan itu kita nggak mungkin bisa seperti itu. Gue minta ama lo untuk berhenti berharap untuk itu. Lo ama gue bagaikan minyak dan air, satu wadah, tapi tidak saling menyatu. Dekat, tapi tidak mendekap. Simple? Iya, sesimple itu gambaran seorang Suci Indah Lestari dan juga Akbar Maulana Satria."
"Nggak kita nggak seperti, Ci!" ucap Akbar dengan tegas dan dia tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Suci barusan.
"Terus kita ini apa, Bar?" tanya Suci dengan nada yang terdengar meninggi. Diam hanya itu yang diberikan Akbar, dia tak mampu untuk menjawab apa yang menjadi pertanyaan Suci.
"Berhentilah mencintai gue. Tidak ada akhir bahagia yang bisa gue berikan untuk lo. Pergilah, lo membuat kesalahan besar karena mencintai gue. Selamatkan diri lo, juga selamatkan diri lo sendiri, hanya Amanda Larasati yang bisa buat lo bahagia, gue minta jangan sia-siakan waktu lo hanya untuk mencintai gue."
Bersambung ….