webnovel

7. Bimbang

"Tren pembelian di Cina melonjak. Saham yang kita tanam di sana pun bergerak cukup positif." Di depan dengan layar putih yang menyala, seseorang berdiri melaporkan dengan terus menunjuk layar putih yang menampilkan garis-garis yang tak beraturan.

Di tempat duduknya, Heru bergeming, pandangannya pun menerawang entah ke mana. Mengabaikan orang yang tengah berdiri dan berbicara di depannya. Dia juga mengabaikan semua orang yang tengah mengikuti rapat bersamanya.

Heru tengah sibuk dengan dunia dan pikirannya sendiri.

"Jika mau, kita juga bisa kembali membeli saham yang ditawarkan sebuah perusahaan di sana," lanjut orang yang ada di depan.

"Lupakan. Ku rasa, aku harus melupakannya."

"Apa?" ucap orang yang berada di depan spontan dengan mengerutkan keningnya. Penuh tanya, karena menurutnya itu kesempatan yang baik dan menguntungkan.

Dan bukan hanya orang yang di depan itu saja yang terkejut, melainkan semua orang yang mengikuti rapat, semuanya serentak menoleh ke arah Heru setelah mendengar ucapannya itu.

Melihat seisi ruangan yang kebingungan, sekretarisnya segera memanggilnya pelan beberapa kali dari arah sampingnya hingga membuat Heru sedikit terlonjak kaget.

"Apa Bapak benar-benar serius dengan ucapan Bapak tadi?"

"Apa?" sahut Heru masih belum sepenuhnya sadar.

"Bapak tadi..," lanjut sekretarisnya pelan.

Heru sedikit menganggukkan kepala pertanda untuk sekretarisnya diam. Dia kemudian menghela nafas pelan, merutuki kebodohannya dalam hati yang melamun saat rapat berlangsung.

Dia menatap ke sekitar dan melihat orang-orang masih melihat ke arahnya. Heru juga melihat orang yang berdiri di depan layar masih diam seperti menunggu jawabannya.

Heru kemudian berdehem.

"Itu bukan apa-apa. Abaikan apa yang ku ucapkan tadi. Lanjutkan!" Suruhnya pada orang yang tengah berdiri di depan.

Setelah rapat dia kembali ke ruangannya. Duduk di kursinya lalu melonggarkan dasi di kerahnya. Heru kemudian menghela nafas berat.

Tidak berapa lama dia kemudian meraba dadanya. Dadanya masih terasa sangat sesak dan sakit.

"Aku harus bagaimana sekarang?" gumamnya lalu menghembuskan nafasnya kasar.

Heru kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi lalu memejamkan matanya.

"Aku harus melupakannya. Harus melupakannya," gumamnya lagi masih memejamkan mata.

***

Kata-kata dan hatinya bertolak belakang.

Heru berdiri di sebrang toko tempat di mana Nadhira bekerja.

Dari tempatnya berdiri, Heru terus memperhatikan gerak-gerik Nadhira. Saat Nadhira bercanda dengan rekan kerjanya, saat Nadhira tertawa, juga saat Nadhira tengah melayani pembeli yang datang ke meja kasirnya, meminta belanjaannya dihitung.

Senyum manis dan ramahnya muncul ketika dia memberikan kantung belanjaannya pada pembeli.

Heru yang melihatnya pun ikut mengembangkan senyumnya, meski hatinya tetap terasa sakit.

Heru menghela nafas berat. Dia sudah berdiri di sana satu jam lamanya. Rasa bahagia dan sakit tercampur menjadi satu. Meski tersenyum wajah Heru tampak sebaliknya, kesedihan terlihat begitu pekat di wajahnya.

Namun meski pun begitu, Heru tetap di sana sampai Nadhira selesai dan pulang.

"Aku duluan, yah," ucap Lili setelah cipika-cipiki terlebih dulu dengannya.

"Eh iya, ayo ku antar pulang saja, ini sudah malam," ucap Lili menghentikan langkahnya dan menoleh lagi pada Nadhira.

"Tidak usah. Katanya dia akan menjemput ku," jawab Nadhira seraya sedikit tersenyum malu-malu.

Lili memicingkan matanya.

"Cie...cie... okelah kalau begitu," goda Lili seraya jari tangannya membentuk tanda oke.

"Kalau begitu aku duluan. Lagi pula aku tidak ingin jadi cicak-cicak di dinding," lanjutnya penuh tekanan. Menggoda Nadhira sebelum ia pergi dan menaiki motornya.

Dari tempatnya berdiri, Heru masih terus memperhatikannya. Senyumnya tak pernah pudar meski diiringi dengan rasa sakit di hati.

Hatinya semakin sakit seperti ditusuk-tusuk duri yang sangat tajam, kala ia melihat seorang lelaki yang menghentikan motornya tepat di depan Nadhira.

Lelaki itu, adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang ada di panti asuhan. Lelaki yang Nadhira cintai.

Dadanya semakin terasa sakit dan sesak seperti terhimpit sebuah benda, kala lelaki itu tersenyum ke arah Nadhira seraya memakaikan helm di kepalanya.

Nadhira kemudian naik di atas motornya. Dan setelah benar-benar siap lelaki itu pun melajukan kendaraannya.

Masih di tempatnya, Heru berdiri dengan perasan sangat hancur.

***

"Semalam kau pulang jam berapa? Saat pukul dua belas Mamah ke kamarmu, Mamah lihat kau tidak ada di sana," tanya sekaligus terang mamahnya saat Heru dan juga papanya sedang sarapan di meja makan.

"Heru sudah pulang. Mungkin saat itu Heru sedang di kamar mandi," jawab Heru sekenanya dengan wajah tampak datar.

"Wajahmu tampak lesu. Apa ada masalah di kantor?" Kali ini ayahnya yang buka suara bertanya.

Meski memaksakan diri, Heru mencoba untuk tersenyum.

"Tidak ada masalah. Mungkin Heru hanya lelah saja." Bohong Heru.

Mamanya menghela nafas lega.

"Syukurlah. Mama sudah mulai khawatir tadi," ujar mamanya menghentikan makannya.

Heru melanjutkan sarapannya walau dia sebenarnya tidak berselera.

"Tapi..," lanjut mamanya tampak ragu.

Melihat itu, suaminya hanya meliriknya. Sedangkan Heru tetap menunduk tidak menghiraukan.

"Her, Mama punya ini." Meski dengan ragu-ragu mamanya menyodorkan selembar foto tepat di hadapannya.

Meski malas Heru meliriknya sekilas. Wanita di foto itu cantik. Namun tetap tidak secantik Nadhira. Pikirnya.

"Itu putri teman Mama. Dia lulusan dari universitas di Inggris. Itu loh, Pah, putrinya Pak Bambang, pengusaha konstruksi itu," terang mamanya.

"Kamu mau kan Her bertemu dengannya. Namanya putri. Dia seumuran denganmu. Katanya dia sangat menyukaimu. Kalau kamu setuju, Mama akan menghubungi Bu Dinda dan mengatur pertemuannya. Bagaimana?" bicara mamanya sangat antusias.

"Heru akan memikirkannya dulu Mah," jawab Heru tak bersemangat. Dia kemudian beranjak dari duduknya.

"Mau kemana? Selesaikan sarapannya dulu, sayang."

"Sudah Mah. Heru mau ke kamar."

Heru beranjak dari kursinya. Namun baru beberapa langkah dia berjalan, panggilan mamanya menghentikan langkahnya.

"Her, kamu tidak bawa fotonya?"

"Tidak perlu Mah, Heru sudah melihatnya," jawabnya, kemudian segera berlari menuju kamarnya.

Dari tempat duduknya, suaminya hanya menghela nafas berat.

"Kenapa kau membahas itu di waktu sarapan? Lihat, dia jadi tak berselera."

"Maaf Pah, Mama tidak bisa menahan diri."

"Lain kali jangan seperti itu lagi," ujar suaminya memperingatkan.

"Iss, lagi pula Mama tidak memaksanya. Mama hanya menyarankannya saja," balas istrinya dengan jutek. Kesal karena suaminya seolah menyalahkannya.

***

Ponsel Nadhira berbunyi. Satu pesan diterima.

Nadhira yang tengah menulis menghentikan jemarinya yang terus bergerak di atas keyboard. Dia beralih meraih ponsel yang ada di samping laptopnya.

"Aku tidak menemukan ikan tongkolnya. Sepertinya tidak ada. Tidak usah saja, yah?" Bunyi pesan dari Ilham.

"Baiklah. Ikan apa saja. Asal jangan mujair," balas Nadhira dengan jari jemarinya yang lincah mengetik.

"Ok." Balas Ilham lagi dalam waktu per sekian detik setelah pesan Nadhira terkirim.

Nadhira menaruh ponselnya lagi. Dia kembali memfokuskan diri di depan layar putih dan mulai menulis dengan lincah.

Nadhira tengah mengikuti kontes menulis novel di salah satu platform digital, dan deadlinenya berakhir dua hari lagi.

Masalahnya jumlah kata yang harus dipenuhi supaya lolos seleksi harus berjumlah sembilan puluh ribu kata.

Naasnya, dalam waktu dua hari tersisa, jumlah kata novel yang ditulis Nadhira masih berjumlah delapan puluh ribu kata. Masih tersisa sepuluh ribu kata lagi.

Mungkin bagi penulis profesional yang sudah ahli menulis, memenuhi jumlah itu dalam dua hari sangatlah mudah, tapi bagi Nadhira yang masih amatir, itu sangatlah sulit. Nadhira bahkan bisa membutuhkan waktu seharian untuk bisa menulis cerita dengan jumlah kata dua ribu saja. Melelahkan memang. Namun Nadhira tidak ingin menyerah.

Makanya dalam dua hari ini dia putuskan untuk mengabaikan segalanya, seperti bersih-bersih rumah, memasak, dan hal-hal lain yang masih bisa dia tinggalkan demi menulis dan memenuhi target agar novelnya bisa lolos seleksi. Kecuali pekerjaannya di toko, dia tidak bisa meninggalkannya.

Ilham yang tahu itu, membuatnya menawarkan diri untuk ke pasar membelikan bahan-bahan masakan untuk Nadhira. Sekaligus akan memasakkannya.

Ilham tahu dan sangat mengenal Nadhira. Jika tidak seperti itu, dia pasti hanya akan makan mie instan saja saat rasa lapar menyerangnya.

Untungnya hari itu Ilham sedang tidak ada kerjaan, jadi dia bisa mengurus Nadhira.

Saat menulis sesekali Nadhira menghela nafas untuk menghilangkan rasa lelahnya. Nadhira berusaha keras untuk terus menulis. Mengaktifkan kepalanya sebaik mungkin agar bisa banyak kalimat yang bisa dia transfer ke dalam layar putih di hadapannya.

Lima belas menit berlalu. Nadhira menghentikan jari jemarinya menari di atas keyboard. Di kepalanya tak ada lagi ide yang muncul.

Dia meremas kepalanya, mencoba berpikir, namun sayang, meski sudah berlalu sepuluh menit ide tak juga muncul.

Nadhira menghela nafas. Menghentikan menulisnya.

Meski tetap membiarkan laptopnya menyala, namun ia beralih meraih ponselnya. Mulai memainkan drama Korea dan menontonnya.

Baru lima menit menonton, Ilham pulang dengan banyak belanjaan di tangannya.

"Katanya mau menulis dan mengejar target, tapi kenapa malah nonton drama Korea?" sindir Iham setelah menaruh belanjaannya di bawah.

"Memang benar aku sedang mengejar target. Aku bahkan berusaha mati-matian," jawabnya santai tanpa mengalihkan pandangannya dari drama yang tengah ditontonnya.

"Apa hubungannya target dengan drama Korea?" Ilham bingung sendiri.

Nadhira mengoff kan dulu drama korea yang ditontonnya, mengalihkan pandangannya dari layar hp berganti ke Ilham.

"Dalam menulis, ide dan inspirasi sangat penting agar kita bisa terus menulis. Dan inilah yang sedang ku lakukan sekarang. Aku tak bisa menulis karena tak ada ide yang muncul. Makanya, aku berusaha merangsangnya dengan menonton drama Korea. Biasanya ide muncul saat aku sedang, atau setelah menonton drama Korea," terang Nadhira panjang.

Ilham mengerti dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Oh," jawabnya singkat setelah mengerti.

"Baiklah, kalau begitu lanjutkan! Biar aku yang mengurus semua ini," ujarnya seraya melihat ke arah belanjaan yang ada di bawah.

"Aku akan membantumu membereskannya. Dan juga, membantumu memasak," lanjut Nadhira yang merasa tak enak.

Baru saja Nadhira hendak berdiri dari duduknya, Ilham dengan cepat menghentikannya.

"Ah, tidak perlu. Lanjutkan saja yang sedang kau kerjakan. Kau harus menyelesaikan tulisanmu," ujar Ilham cepat seraya menggelengkan kepalanya.

"Tapi..."

"Sudahlah. Lagi pula aku sudah berjanji untuk membantumu mewujudkan mimpimu, bukan?"

"Aku akan melakukan apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu."

Nadhira terharu. Ia pun menurut. Berusaha lebih keras lagi dalam menulis.

Nadhira terus menulis saat Ilham sibuk memasak di dapur. Meski tak enak hati, Nadhira mencoba mengabaikannya dan terus menulis.

Setelah selesai memasak, Ilham yang melihat kontrakan Nadhira yang masih berantakan pun mencoba membereskannya dan mulai menyapunya.

"Sudahlah, biarkan saja," ucap Nadhira yang merasa tak enak berpaling sebentar dari aktifitasnya menulis.

"Sudah ku bilang lanjutkan saja apa yang sedang kau kerjakan. Jangan hiraukan aku!" Suruh Ilham tegas.

Nadhira menatap Ilham dengan raut wajah kasihan. Meski merasa tak enak, dia hanya bisa menurut.

Ilham melanjutkan pekerjannya menyapu, lalu mengepel lantainya. Sedang Nadhira terus menulis.

Ketika saatnya jam makan siang, dengan telaten Ilham menyiapkan makanannya yang dibawanya di atas meja ruang tamu, tepat di samping Nadhira yang masih menulis.

"Istirahatlah sebentar. Kau harus makan dulu," ujar Ilham setelah selesai menyiapkan makanan di atas meja.

Nadhira menurut. Dia menghela nafas dalam untuk mengusir rasa lelahnya, lalu disusul meregangkan kedua tangannya ke atas.

Nadhira pun makan bersama-sama dengan Ilham.

Melihat Nadhira makan, Ilham pun tersenyum bahagia melihatnya.

Setelah makan Nadhira melanjutkan menulisnya. Sedangkan Ilham membereskan bekas makan mereka dan langsung mencucinya.

Pukul setengah dua siang Nadhira menghentikan menulisnya dan bergegas mandi untuk bersiap-siap pergi bekerja.

Ilham yang sudah menyelesaikan semua pekerjaannya mencoba mengistirahatkan tubuhnya dengan duduk di kursi seraya meregangkan kedua tangannya.

Di sana perhatiannya tertuju pada laptop Nadhira yang masih menyala. Dan saat di lihat ternyata baterainya tinggal sepuluh persen saja. Ilham pun segera menghampiri Nadhira yang tengah berada di dalam kamar mandi. Dia kemudian berdiri tepat di depan kamar mandi itu

"Apa kau sudah men save tulisanmu?" tanya Ilham dari depan pintu kamar mandi.

"Ah, iya benar aku belum mensavenya. Tolong save kan!"

Setelah mendengar jawaban Nadhira dari dalam, Ilham segera beranjak menuju ruang tamu.

Dilihatnya baterai tinggal sembilan persen saja.

"Dia sangat ceroboh. Bagaimana kalau laptopnya terlebih dulu mati dan dia belum men save nya? Kerja kerasnya hanya akan berakhir sia-sia," omelannya seraya mensave tulisannya.

Ilham menghela nafas lega setelah berhasil mensavenya. Dia kemudian menyandarkan tubuhnya di sofa, mengistirahatkan tubuhnya sebentar sebelum mengantar Nadhira berangkat bekerja.

Mana ada wanita yang tidak terharu jika diperlakukan seperti itu? Siapa pun pasti terharu. Termasuk Nadhira. Cintanya pun semakin dalam pada Ilham.

Ilham menghentikan motornya tepat di depan toko tempat Nadhira bekerja. Beberapa saat Ilham tetap berada di sana, memperhatikan Nadhira dari belakang.

Ketika dia melihat Nadhira sudah memasuki toko barulah dia pergi dari sana.