webnovel

FIQIH.ID

islam, umum, awwam

Nur_Solihin · Livres et littérature
Pas assez d’évaluations
1 Chs

Kesejarahan Dan Kesusastraan – Serial Kaji Hermeneutika Qur’an

Hijrian Angga Prihantoro |

Ingrid Mattson, seorang professor, aktivis, wanita muslim Kanada yang juga mantan presiden Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA), dalam bukunya The Story of the Qur'an, memiliki pandangan yang unik terhadap Al-Quran yang benar-benar berbeda dengan apa yang ada dalam kitab-kitab 'ulum al-qur'an dalam khzanah pemikiran Islam klasik. Bagi Mattson, Al-Quran dapat didefinisikan dengan dua sudut pandang:

Pertama, dari sudut pandang kesejarahan, Al-Qur'an adalah himpunan teks suci yang  pada awalnya merupakan wahyu yang diturunkan secara gradual yang membahas aneka persoalan;

Kedua, dari sudut pandang kesusastraan, Al-Qur'an adalah kalam Tuhan yang universal dan abadi, di mana Al-Qur'an hadir sebagai narasi dialog linguistik yang holistik antara Tuhan dan manusia.

Sama halnya dengan definisi Al-Quran, kesejarahan Al-Quran bagi Ingrid Mattson tidak hanya tentang sesuatu yang menitikfokuskan pada periodesasi penurunan wahyu, melainkan pada fungsi historis-linguistiknya itu sendiri. Itu sebabnya, bagi Mattson perubahan makna dalam satu kata yang sama dapat diketahui setelah melakukan analisis historis-linguistik atas istilah tersebut. Narasi historis tentang periode pewahyuan bisa memberikan perspektif terhadap dua persoalan berbeda: (1) melihat pengaruh Al-Quran terhadap masyarakat; (2) menciptakan konteks sebagai cara orang Islam membicarakan Al-Quran.

Bagi Mattson, mengetahui historisitas teks dan mengerti makna-makna teks merupakan syarat mutlak untuk memahami Al-Quran di era kontemporer. Hal itu, baginya, karena Al-Quran memiliki dimensi kesejarahan dan kesusastraan sekaligus. Analisis historis-linguistik merupakan konsekuensi logis ketika Mattson mencoba memetakan dan membaca Al-Quran dengan pendekatan hermeneutika. Mattson telah menjelaskan bagaimana historisitas teks sangat berperan dalam memberikan makna awal.

Berdasarkan poin-poin di atas, kita dapat menyatakan bahwa Ingrid Mattson dalam mendekati Al-Quran telah berupaya melakukan kajian historiografi linguistik untuk menemukan makna-makna baru agar dapat relevan. Jika dalam Ulumul Quran klasik, Al-Quran didefinisikan sebagai wahyu yang diturunkan kepada Muhammad melalui Jibril, bagi Mattson, Al-Qur'an saat ini harus langsung dilihat sebagai teks universal yang bisa berlaku, kapan dan di mana saja serta untuk menjawab persoalan apa saja, meskipun dengan latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Pada titik ini, bisa disimpulkan bahwa universalitas teks Al-Quran berbanding seimbang dengan kontinuitas relevansi ajaran-ajaran keagamaan di dalamnya.

Kerja hermeneutika kesejarahan dan kesusastraan Al-Qur'an yang disinggung oleh Mattson, adalah dengan membaca kembali narasi-narasi historis di dalam Al-Qur'an. Mattson juga menyatakan bahwa narasi historis dapat dijadikan sebagai perspektif untuk memahami Al-Quran. Itulah mengapa ada banyak kisah yang bisa kita temukan dalam bukunya tersebut. Kesusastaran inilah nanti yang  mampu menghadirkan Al-Qu'ran untuk tidak hanya berlaku pada zaman kenabian, namun juga berlaku di mana dan kapan saja, untuk semua masa serta tempat yang berbeda-beda.

    Dari sekian banyak kisah yang dituturkan kembali oleh Mattson untuk membuktikan bagaimana dimensi kesejarahan dan kesusastraan Al-Qur'an itu dapat bekerja hingga saat ini adalah misalnya tentang pemberian nama/panggilan yang baik. Selama masa pewahyuan, Nabi Muhammad Saw. dikisahkan telah banyak mengganti nama beberapa orang yang masuk Islam. Saat turun larangan Al-Qur'an tentang memanggil orang dengan nama yang melecehkan pada Q.S. Al-Hujurat ayat 11, Nabi mengganti nama seseorang pria dari Abdu Syams (budak matahari) menjadi Abdullah (hamba Allah), pun seorang wanita yang awalnya bernama Qabihah (buruk) menjadi Jamilah (cantik).

Kesadaran kesejarahan dan kesusastraan dalam narasi kisah di atas masih tetap hidup dan berjalan bahkan hingga saat ini. Umat Islam benar-benar menyadari bahwa pemberian panggilan nama merupakan ungkapan linguistik yang dapat menceminkan kedekatan personal dan kultural sekaligus. Mengapa demikian, karena memberikan panggilan nama yang baik adalah salah satu langkah praktis menerapkan ajaran etis sebagai misi suci risalah kenabian (innamâ bu'itstu li-utammima makârim al-akhlâq).

Lain dari pada itu, jika William Shakespeare dalam romansa kehidupan menyatakan bahwa "semua kehidupan dunia adalah drama, dan semua laki-laki dan perempuan hanyalah pemain sandiwara" berhenti pada titik akhir kisah drama dan kematian pemain sandiwara, Al-Qur'an sejak berabad-abad lalu telah menarasikan kisah yang jauh lebih holistik. Ketika bagaimana sastra dengan beragam genre dan lantunan bunyinya sudah mengakar dalam tradisi Arab pra Islam dengan kandungan isinya berkisar pada roman, peperangan dan persahabatan, Al-Quran justru hadir dengan menambahkan kanvas baru untuk melukiskan alam semesta saat ini serta pernak-pernik kehidupan yang kedua nanti.

Dari Tuhan Yang Maha Hidup, ketak-kekal-an dunia yang hanya sebagai panggung drama tempat bermain (la'ibun) dan bersendagurau (lahwun), satu yang diyakini umat Islam bahwa akan ada kehidupan setelah kematian, di mana di sana ada romansa surga yang digambarkan dengan sangat elegan bagi mereka yang senantiasa berbuat kebaikan.