webnovel

Fate

Caroline Isabel Hariandy, Carol, putri Grup HY yang menghilang setelah kecelakaan. Carol tahu hidupnya dalam bahaya karena ia akan dinobatkan menjadi pewaris Grup HY milik keluarganya. Troy. Tak seperti namanya, ia dikenal sebagai pria yang ramah dan suka membantu. Semua orang yang mengenal Troy menyukainya. Troy adalah pria yang baik, yang sayangnya, terjebak bersama wanita penuh masalah bernama Carol. Dunia Carol dan Troy bertabrakan ketika mereka bertemu. Demi bertahan hidup, Carol harus tinggal bersama orang asing yang terlalu baik. Troy yang baik hati tak sampai hati meninggalkan sang tuan putri yang tersesat ketakutan. Namun, siapa sangka, bersama Carol, datang masalah demi masalah dalam hidup Troy. Melibatkan orang-orang yang tak seharusnya muncul lagi di hidupnya. Mulai dari Cecil yang mengaku ayahnya dibunuh oleh Troy, hingga Eric dan Yuta yang seharusnya tak lagi muncul di depannya.

Ally_Jane · Urbain
Pas assez d’évaluations
295 Chs

16 – Orang yang Berbeda

Troy mengecek jam, lalu memanggil Ricki dan Jun yang setelah mereka tiba dan memindahkan gadis penyerang Troy tadi ke sofa, bertahan di sana bersama Carol, menunggui gadis itu siuman. Menanggapi panggilan Troy, Ricki dan Jun menghampiri Troy di meja makan.

"Tahan Carol di luar selama lima belas menit," perintah Troy.

Ricki mengerutkan kening. "Apa yang akan kau lakukan pada penyerangmu itu?"

"Tergantung jawabannya," jawab Troy. Troy kemudian menatap Carol yang duduk di sofa lain dengan tatapan lekat ke arah gadis yang tadi menyerang Troy. Tampak penasaran, sekaligus cemas.

Troy menghela napas, lalu menghampiri gadis itu. Carol menoleh pada Troy dan bertanya cemas, "Tanganmu sakit? Kau butuh sesuatu?"

"Yang pertama, tidak, yang kedua, ya," jawab Troy. "Kau bisa membantuku?"

Carol mengangguk dan langsung berdiri. "Katakan saja apa yang kau butuhkan," ucap gadis itu.

"Aku hanya perlu belanja," ucap Troy. "Kebetulan persediaan makananku sudah mulai habis. Tapi, tanganku …"

"Serahkan saja padaku," serbu Carol. "Aku akan pergi berbelanja."

Troy mengangguk. "Kau bisa pergi bersama Ricki dan Jun."

Carol tampak tak setuju. "Kau akan di rumah sendiri dengan gadis ini?" tanyanya.

Troy mengangguk.

"Apa kau bodoh? Kau kan, baru saja terluka karena dia. Bagaimana jika nanti dia berusaha melukaimu lagi?" cerocos Carol.

Troy mendengar dengusan geli Jun karena kecemasan sia-sia Carol itu.

"Aku akan baik-baik saja. Aku berencana mengikat tangannya sebelum dia sadar," dusta Troy.

"Oh, baiklah, aku akan membantumu mengikat tangannya sebelum pergi berbelanja," sahut Carol.

Lalu, gadis itu bergegas pergi ke dapur dan sibuk mencari tali. Troy mengembuskan napas frustasi, tapi ketika Carol menanyakan lokasi sembarang tali yang bisa digunakannya, Troy menghampiri gadis itu dan mencarikan talinya.

***

Carol lagi-lagi menghela napas berat seiring langkahnya yang semakin jauh dari rumah Troy.

"Kau mengkhawatirkan Troy?" tanya Jun dengan nada meledek.

"Kau tidak lihat apa yang terjadi tadi," tukas Carol. "Aku melihat sendiri di depan mataku ketika tangan Troy menahan pisau yang nyaris menusuk perutnya. Itu sangat mengerikan." Carol bergidik membayangkannya. "Kepalaku terasa pusing hanya karena mengingat luka di tangannya tadi. Darahnya begitu banyak. Jika kau melihatnya tadi, kau mungkin sudah pingsan."

Jun mendengus meremehkan kali ini.

"Huh. Apa kau pernah melihat darah sebanyak itu?" tanya Carol. "Pasti tidak pernah. Kau akan langsung pingsan jika melihat darah sebanyak itu."

"Jangan samakan aku denganmu. Aku tidak lemah sepertimu," cibir Jun.

Namun, ketika Carol menjegal kakinya, pria itu tersungkur dengan keras di depannya.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak Jun kesal.

"Kau bilang, kau tidak lemah. Pembohong lemah," ledek Carol sembari melanjutkan langkah melewati Jun. Carol lalu menoleh pada Ricki. "Tapi, kita akan belanja di mana? Di pasar? Troy pernah memberitahuku jika pasarnya agak jauh dari sini."

"Kita akan mampir ke restoran dan meminjam mobil James dulu," jawab Ricki.

Carol manggut-manggut. "Tapi … di mana rumahmu dan rumah Jun? Pemuda di kampung itu kan, hanya Troy. Itu berarti, kalian tidak tinggal di kampung itu, kan?"

"Memang tidak. Rumah kami cukup jauh dari sini, tapi aku punya villa tak jauh dari sini," urai Ricki.

"Wow … kau anak orang kaya, rupanya," celetuk Carol sembari menyenggol lengan Ricki, menggodanya.

Ricki hanya tersenyum kecil.

"Lalu, Jun?"

"Oh, dia … hanya menumpang di villa-ku."

Carol tak dapat menahan dengusan geli mendengar itu. "Sudah kuduga. Dia memang punya wajah-wajah penumpang yang merepotkan. Pasti berat bagimu." Carol menepuk pundak Ricki, memberi penghiburan.

***

Gadis yang terbaring di sofa dengan kedua tangan terikat tali rafia dengan longgar itu, mengerang pelan ketika perlahan kesadarannya kembali. Dia mengerjap, menyesuaikan matanya dengan cahaya, lalu tatapannya tertuju pada satu-satunya orang di ruangan itu selain dirinya.

"Siapa kau?" tuntut Troy dengan suara rendah.

Gadis itu mendesiskan umpatan. "Pengecut! Lepaskan aku! Lawan aku kalau berani!"

Troy mendengus tak percaya. "Kurasa, menyerang orang yang membukakan pintu untukmu itu lebih pengecut lagi."

Gadis itu merapatkan bibir dengan geram.

Troy mengambil pisau kecil di meja yang tadi berlumur darahnya dan kini sudah bersih, lalu mengulurkannya ke tangan gadis itu. Seketika, gadis itu melompat duduk dan menjauh dari jangkauan Troy. Ketika ia hendak berdiri, Troy mencondongkan tubuh ke depan dan menangkap tangan gadis itu, lalu melepaskan ikatan tali dengan pisau di tangannya, dan kembali duduk di sofa seberang gadis itu berada.

"Setelah ini, bukan hanya tali itu yang akan kupotong. Nyawamu bergantung pada siapa kau dan apa alasanmu menyerangku," tandas Troy.

Namun, gadis di depannya itu tak tampak takut. "Jika ada yang harus mati di sini, itu adalah kau, dasar Pembunuh!" maki gadis itu.

Troy menelengkan wajah, berusaha mengingat dan mengenali wajah itu, tapi nihil. "Aku tidak mengenalmu."

"Kau membunuh ayahku!" raung gadis itu sembari menerjang ke arah Troy, tapi ketika Troy mengarahkan pisau ke lehernya, gadis itu berhenti.

"Siapa ayahmu?" tanya Troy.

"Yossa Pratama. Kau membunuhnya tiga tahun lalu. Selama tiga tahun, aku selalu berusaha mencarimu seperti orang gila. Hingga aku mendengar kabar keberadaanmu di sini. Orang-orangmu berkeliaran di sekitar kampung ini," dengus gadis itu. "Apa kau sedang mengumumkan pada musuh-musuhmu tentang keberadaanmu?"

Troy mengernyit. Ia seketika terbayang jika saja tadi bukan dirinya yang membuka pintu, tapi Carol. Troy menggeram kesal. Ia harus memperketat keamanan di kampung ini.

"Aku tidak peduli meski aku mati hari ini, tapi aku akan membunuhmu sebelum aku mati," ucap gadis itu sebelum menarik sesuatu dari pinggangnya, di balik kaus longgar yang dipakainya, dan menghunuskannya ke arah Troy. Pisau yang lain.

Namun, Troy dengan mudah menangkap tangan gadis itu dan memelintirnya, membuat pegangannya di pisau terlepas. Troy menekankan ujung tajam pisau ke garis nadi di leher gadis itu.

"Pertama, aku bukan pembunuh ayahmu. Aku tidak mengenal ayahmu. Kedua, datang ke rumah ini adalah kesalahan dan kau harus mati di tanganku," ucap Troy dingin.

Gadis itu mendengus pelan. "Di mana kekasihmu? Aku tadi sempat melihat ada gadis yang tinggal di sini bersamamu. Apa dia tahu siapa kau sebenarnya?"

Troy mengernyit. "Jangan macam-macam denganku …"

"Jadi, dia kelemahanmu?"

"Tidak ada seorang pun yang bisa menjadi kelemahanku," tukas Troy. "Dan tidak ada seorang pun yang bisa selamat ketika aku sudah bertekad untuk membunuhnya. Seperti kau saat ini."

"Apa kau tidak ingin tahu siapa yang menjebakmu?" tanya gadis itu kemudian.

"Apa?"

"Jika kau benar adalah Troy, maka kau dijebak oleh musuhmu," lanjut gadis itu.

Mata Troy menyorot waspada. "Siapa pelakunya?"

"Orang yang membunuh ayahku," jawab Cecil. "Dia membunuh ayahku di depan mataku. Lalu, dia sengaja melepaskanku dengan menyebutkan namamu."

Troy mengerutkan kening. "Kenapa dia menyebutkan namaku?"

"Dia bilang, dia membunuh ayahku atas perintahmu." Gadis itu kemudian tersenyum meledek. "Tapi, jika kau membunuhku sekarang, kau tidak akan tahu siapa pelakunya."

"Kau salah. Aku bisa mencari tahu sendiri siapa pelakunya," desis Troy.

"Itu akan butuh waktu lama. Padahal, saat ini semua musuhmu pasti sudah tahu keberadaanmu. Ditambah lagi, saat ini ada kekasihmu itu." Gadis itu tersenyum licik. "Aku bisa mengenali orang itu jika kau menunjukkan gambar-gambar wajah musuhmu."

Troy berpikir cepat. Benar. Ia bisa memanfaatkan gadis ini.

"Aku akan membiarkanmu hidup dengan satu syarat," Troy berkata.

"Aku harus mencari siapa musuhmu?"

Troy menggeleng. "Jika ada musuhku yang datang kemari, kau harus menjadi gadis itu," sebut Troy.

Gadis itu mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

"Seperti yang kau tahu, musuhku sudah tahu keberadaanku di sini. Dan, ada seorang gadis yang tinggal bersamaku. Tapi, jika ada musuhku yang datang kemari, kau yang harus menjadi gadis itu," ucap Troy.

Gadis itu mengernyit. "Maksudmu … jika musuhmu datang kemari, aku harus menggantikan gadis itu mati di tangan musuhmu?"

Troy mengangguk. "Sebagai gantinya, aku akan menemukan pembunuh ayahmu. Terlebih lagi, aku bisa membunuh orang itu untukmu. Bukankah itu lebih mudah untukmu?"

Troy bisa melihat gadis itu mencoba mempertimbangkan. Ketika tatapan mereka bertemu, gadis itu mengangguk.

"Baiklah. Bahkan meskipun aku harus mati, aku tidak keberatan, asal orang yang bertanggung jawab atas kematian ayahku itu mati," putus gadis itu. "Pembunuh yang membunuh ayahku di depan mataku, juga orang yang memerintahkan pembunuhan itu."

Troy mengangguk. "Selama gadisku aman, aku bisa melakukan apa pun. Aku bisa membunuh siapa pun."

***