webnovel

Kehangatan di Meja Makan

Sembari tenggelam dalam pikiranku tentang dunia baru ini dan tantangan yang menantiku, suara langkah kaki kecil terdengar dari balik pintu. Ketukan ringan menyusul, lalu sebuah suara mungil memanggil.

"Papa, apa kau sudah bangun?" suaranya melengking lucu, membuatku tersenyum.

Aku menjawab lembut, "Iya, ada apa, Lumi?"

Pintu terbuka, dan seorang gadis kecil dengan rambut putih sehalus sutra dan mata emas cerah berlari kecil ke arahku. Wajahnya memancarkan kepolosan, ditambah dengan sedikit cemberut yang justru membuatnya terlihat semakin menggemaskan.

"Papa, kenapa lama sekali? Kami sudah menunggu di ruang makan, dan perut Lumi lapar!" katanya sambil memegang perutnya, nada suaranya terdengar manja namun penuh keluhan.

Lumine Carval. Anak bungsuku, berumur enam tahun. Sikapnya polos seperti anak seusianya, tapi sedikit nakal dan imajinatif. Dia adalah sosok yang selalu berhasil membuatku tersenyum dengan tingkah lakunya.

"Oh, maaf ya, papa membuat Lumi kecil lapar," kataku berakting seolah bersalah. "Apa yang harus papa lakukan supaya Lumi memaafkan papa?"

Ekspresi cemberutnya langsung berubah, matanya berbinar, dan sebuah senyuman cerah menghiasi wajahnya. "Papa harus bermain dengan Lumi nanti!" serunya penuh semangat.

Aku tertawa kecil, mengangguk sambil menjawab, "Tentu saja, Putri Kecil," sembari membungkuk memberi penghormatan pura-pura. Aku lalu menggendongnya, membuatnya tertawa kecil, dan membawanya keluar kamar, diiringi beberapa pelayan yang setia menemani Lumi.

Ketika kami tiba di ruang makan, tiga pasang mata sudah menantiku di meja makan besar yang dihias mewah. Myra, istriku, duduk anggun di ujung meja, sementara Roland dan Liora, kedua anakku yang lebih tua, sudah menunggu dengan berbagai ekspresi.

"Maaf aku terlambat," kataku sambil tersenyum penuh arti. "Ada beberapa ide baru yang muncul di kepala yang perlu kupikirkan."

"Oh, Ayah! Ide baru apa itu? Bisa kau ceritakan padaku nanti?" tanya Liora dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.

Liora Carval, putriku yang berumur dua belas tahun. Rambut hitam legam dan mata emasnya adalah gambaran diriku dalam versi perempuan. Dia cerdas, inovatif, dan selalu penuh rasa ingin tahu. Bahkan, dia sering membantuku dalam penelitian-penelitian sebelumnya, meski usianya masih muda.

"Myra terkekeh lembut mendengar antusiasme Liora. "Liora, kita sedang di meja makan. Jaga sikapmu," katanya mengingatkan dengan nada lembut namun tegas. "Ingat, kau seorang putri bangsawan."

Belum sempat Liora menjawab, Roland, putra sulungku, ikut berbicara dengan nada menggoda. "Iya, Liora. Kalau kau terus bersikap seperti itu, nanti tak ada yang mau bertunangan denganmu, hahaha!"

"Hei, Kakak bodoh! Itu bukan urusanmu!" Liora membalas dengan pipi memerah, jelas merasa kesal. "Lagi pula, aku masih terlalu muda untuk hal seperti itu! Hmph!" Dia menyilangkan tangan di dada, mempertegas rasa dongkolnya.

Aku hanya tersenyum melihat interaksi ini. Ada sesuatu yang hangat dan menghibur dari perselisihan kecil antara kakak-beradik ini.

Myra Carval, istriku, adalah sosok yang bagiku seperti malaikat. Di usianya yang ke-38 namun tampak seperti remaja 20 tahun, ia memikat dengan rambut putih perak yang indah, mata biru sedalam lautan, dan keanggunan yang alami. Selain itu, sifatnya lembut, bijaksana, namun tegas ketika dibutuhkan.

Lalu ada Roland Carval, putra sulungku, yang berusia 17 tahun. Dialah yang akan menjadi kepala keluarga Carval setelahku. Jika Liora adalah cerminan diriku, maka Roland adalah gambaran sempurna dari Myra dalam versi pria. Dengan rambut putih perak dan mata biru yang sama, ia adalah perwujudan dari "pangeran berkuda putih" seperti yang dibayangkan para remaja di dunia modernku dulu. Meskipun ia bertanggung jawab dan bijaksana, terutama sebagai calon kepala keluarga, ia memiliki sisi jahil yang tak tertahankan ketika berurusan dengan adik-adiknya.

Kehangatan yang terpancar di ruang makan ini mengingatkanku pada kebahagiaan kecil yang sering terlupakan. Dunia baru ini memang penuh dengan tantangan dan ketidakpastian, tetapi keluarga adalah tempatku berlabuh. Aku tahu, meski tugas dari sistem terasa berat, aku memiliki alasan kuat untuk menjalani semuanya. Aku memiliki keluarga yang luar biasa—dan bersama mereka, aku yakin bisa membawa perubahan, bahkan ke dunia yang asing ini.