webnovel

ELYANA

Ini tentang Elyana, atau biasa dipanggil Eli yang menyukai kakak tirinya sendiri yaitu William Martinez, dengan kenyataan bahwa pria itu sangat membencinya karena pernikahan orang tua mereka. Eli sadar, mau sampai kapanpun mungkin William akan membencinya dengan terbukti sikap kasar yang sering pria itu berikan kepadanya entah melalui tindakan verbal maupun non verbal. Tapi Eli bisa apa, hal itu bahkan tidak bisa menghapus perasaannya kepada kakak tirinya itu. Karena bagi Eli, William adalah potret sempurna dari tipikal pria idamannya selama ini. Mungkin kata Jane memang benar, sahabatnya itu suka sekali menyebut ia bodoh karena sudah jatuh cinta dengan pria yang bahkan tidak pernah memikirkan perasaannya. Lagi-lagi Eli bisa apa? Namun sepertinya, prinsipnya yang ia pegang teguh itu membuahkan hasil. Atau mungkin, memang sejak dulu William memang menyukainya, namun tidak pernah dia tunjukkan karena sebuah alasan. Ya, dan alasan itulah yang akhirnya mengungkap rahasia kelam yang selama ini Papa Eli tutupi mengenai kematian Mamanya dan juga rahasia-rahasia besar lainnya. Darisana Eli sadar, bahwa selain mendiang Mamanya, William yang selama ini secara terang-terangan membencinya justru menjadi orang kedua yang peduli padanya. Dan justru bukan Papanya yang selama ini ia banggakan, ataupun Mama tirinya yang Eli pikir benar-benar baik kepadanya.

Shawingeunbi · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
113 Chs

Chapter 21

"Namaku Leon Demian, mulai hari ini aku akan menjadi pembimbingmu."

Pria berkacamata itu mulai mengenalkan dirinya kepada Eli yang tampak tidak berkedip memandangnya. Bukan karena Eli termakan oleh ketampanan pria bernama Leon ini, tetapi karena betapa mudanya dia untuk seukuran seorang pembimbing.

"Hmm, sir, maaf jika saya lancang. Apakah saya boleh bertanya sesuatu pada anda?"

Leon mengangguk.

"Tentu saja, ah iya, namamu Elyana kan?"

Kini ganti Eli yang mengangguk.

"Panggil saya Eli saja. Lebih singkat dan jelas hihi. Oh iya, kalau boleh tahu berapa umur anda? Sepertinya anda masih kelihatan muda sekali-- maksud saya kebanyakan pembimbing itu sudah tua-tua dan kau seperti masih seumuran kakakku."

Leon tersenyum menanggapi pertanyaan polos dari Eli, "Aku memang seumuran dengan William dan kami berteman sejak SMA." jelasnya.

Mata Eli membulat mendengar penjelasan Leon, ah pantas saja, jadi tidak salahkan dirinya menaruh kecurigaan kalau Leon itu seumuran dengan William. Tapi dia benar-benar luar biasa, diusia yang masih semuda ini sudah menjadi pembimbing anak kuliahan seperti dirinya.

Namun, setelah tahu jika Leon adalah teman William, Eli jadi lebih penasaran bagaimana William dimasa lalu. Pasti Leon tahu banyak hal tentang William dan Eli ingin sekali mendengarkan ceritanya.

"Sir, kalau saya boleh tahu, bisakah anda menceritakan bagaimana kehidupan kak Wil dulu? pasti anda tahu banyakkan tentang dia?"

Leon tampak terdiam, bisa ia lihat dari sorot matanya Eli begitu antusias ketika mereka sedang membahas William. Entah ini hanya perasaannya saja atau bagaimana, mengapa Leon merasa kalau Eli ini tidak hanya melihat William sebagai kakak tirinya saja, tapi lebih dari itu.

"Sir?" panggil Eli membuyarkan lamunan Leon.

"Ah iya, Eli? Kau ingin mendengarkan kehidupan William di masa lalu dariku kan?"

Eli mengangguk antusias, ia sudah menunggu cerita William dari Leon dengan tidak sabaran.

"Tentu."

"Baiklah, hmm, mulai dari mana ya? Wil itu dulu orangnya cuek dan dingin sepertinya sampai sekarang juga sih haha. Dia tidak banyak bicara, tapi kadang dia juga bisa cerewet. Lelaki idaman seantero sekolah. Apalagi ya?"

Leon tampak kembali mengingat-ingat William di masa lalu.

"Apakah Kak Wil juga punya pacar saat di SMA?" tanya Eli tiba-tiba.

"Ah, pacar? Tentu saja, dia punya. Bahkan pacarnya ini adalah cinta pertamanya." jawab Leon mengingat dengan senyum bagaimana kala itu seorang William yang terkenal dingin seperti es bisa luluh dikarenakan satu perempuan saja.

Sementara Eli yang mendengar itu jadi sedikit menyesal karena sudah mengajukan pertanyaan semacam itu, William itu tampan, jadi tidak heran jika dia mempunyai pacar saat waktu itu, bahkan sekarang hanya mengedipkan mata saja dia bisa mendapatkannya.

"Si--siapa namanya?"

tanya Eli malu-malu.

Leon diam-diam menahan senyum, "Itu hanya masa lalunya Eli. Lagipula William sekarang sedang single. Kau bisa mendaftar."

Blush.

Pipi Eli memerah dibarengi dengan perasaan yang tiba-tiba membuncah. Entah mengapa pernyataan Leon barusan membuat Eli begitu senang. Tapi disisi lain ia sadar diri akan posisinya.

"Sir, apa yang sedang kau bicarakan? Aku adik kak Wil."

Leon memasang senyum menggoda kepada Eli, "Terus kenapa? Kalian tidak sedarahkan?"

"Leon Demian!"

Intrupsi seseorang menghentikan percakapan kedua orang itu. Eli terdiam kaku ditempatnya setelah menyadari keberadaan William. Tumben sekali dia pulang lebih awal.

"Kak Wil?"

William tampak mengabaikan Eli dan lebih memilih menatap Leon dengan tajam.

"Apa yang kau lakukan? Aku menyuruhmu mengajarinya, bukan malah membahas yang tidak-tidak."

Leon terlihat sangat santai menghadapi kemarahan William, benar-benar sangat cool, pikir Eli.

"Kenapa? Ini juga salah satu cara pendekatan hubungan antara pembimbing dan muridnya Wil, agar tidak ada kecanggungan di antara kami. Kau mengerti maksudku kan?"

ujar Leon sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Jangan banyak alasan, Leon."

"Sir, ucapan Leon ada benarnya. Anda tidak boleh protes." sambung Christ yang tadi datang bersama William.

"Apa-apaan kau?! Mau kupotong gajimu?!" ancam William.

Jika biasanya Christ akan langsung takut ketika William melayangkan ancaman pemotongan gaji untuknya, kali ini sepertinya ancaman itu sangat tidak mempengaruhinya.

"Sir, ayolah."

"Ya, kau!!"

William benar-benar terlihat kesal karena Christ tidak patuh padanya seperti biasanya.

"Kalian berdua! Pergi sana!!" usirnya akhirnya.

"Hei, Wil. Jangan begitu, mengapa kau bisa mengusir kami?"

"Benar, tidak seharusnya bos bersikap kekanakan seperti ini."

Awalnya Eli pikir perselisihan ini akan berujung ke arah pertikaian besar, tapi pada kenyataannya Leon maupun Christ sedang menjahili William. Ini kali pertamanya melihat kakak tirinya yang otoriter itu dipojokkan seperti ini.

"Ah sudahlah, bukankah kalian berdua sudah begitu keterlaluan?" Eli menyela.

"Eyy Eli, bagaimana mungkin kau berkata begitu?" jawab Christ.

"Mereka berdua memang tidak punya hati." balas William.

"Dan bagaimana denganmu selama ini Wil ketika ditinggalkan oleh Sissy--"

Leon membungkam mulutnya sendiri ketika nama Sissy tidak sengaja tersebut. William melotot ke arah Leon dan diikuti Christ.

"Sissy?"

"Ah tidak, maksudku bukan begitu. Eli, jangan salah paham."

Eli mengernyit, "Salah paham? Aku sama sekali tidak salah paham padamu, sir."

"Aku tahu kau menyukai William, jadi jangan salah paham dengan ucapanku barusan." kata Leon.

Eli dan William membeku ditempat masing-masing. Eli khawatir jika ucapan Leon barusan bisa membuat William salah paham, sementara William tampak tidak menunjukkan ekspresi apa-apa berusaha menjaga image-nya.

Christ terbahak tanpa rasa takut kalau sewaktu-waktu bisa saja William memecatnya karena sudah bersikap kurang ajar dan tidak sopan. Tapi situasi saat ini benar-benar begitu menarik.

"Leon, sudah cukup. Lebih baik kegiatan pembelajaran dimulai besok pagi saja. Sekarang pulanglah!"

Dengan sangat santai dan tidak punya dosa Leon bangkit dari kursinya, "Baiklah, jika kau memaksa. Lagipula aku juga ingin memberi waktu untuk kalian berdua. Christ, bisakah kau mengantarku keluar?"

William melirik Christ agar dia menolak permintaan Leon, namun asistennya itu malah mengabaikannya dan menyetujuinya.

"Dengan senang hati."

Dan sepeninggal Leon dan Christ, kini hanya tersisalah William dan Eli yang sama-sama tidak tahu bagaimana memulai percakapan.

Tapi, pada akhirnya Eli mengalah. Dia yang mencairkan suasana meskipun wajahnya terasa panas dingin.

"Kak, apakah kau sudah makan?"

Seharusnya disaat-saat seperti ini William mengangguk dan lebih memilih pergi, dan harapan Eli pun senada. Tapi, entah mengapa justru William malah menggeleng seakan memperjelas kalau dia belum makan.

Eli mati kutu dan ia tidak punya alasan lain selain mengajak William makan bersama. Dan lebih parahnya, William malah menambah suasana jauh lebih canggung ketika ia mengajak Eli untuk makan diluar saja. Padahal niat Eli cuma makan di rumah.

William benar-benar sudah menantang adrenalinnya sendiri.

Ya, makan bersama Eli adalah tantangan yang memacu adrenalinnya.