webnovel

ELYANA

Ini tentang Elyana, atau biasa dipanggil Eli yang menyukai kakak tirinya sendiri yaitu William Martinez, dengan kenyataan bahwa pria itu sangat membencinya karena pernikahan orang tua mereka. Eli sadar, mau sampai kapanpun mungkin William akan membencinya dengan terbukti sikap kasar yang sering pria itu berikan kepadanya entah melalui tindakan verbal maupun non verbal. Tapi Eli bisa apa, hal itu bahkan tidak bisa menghapus perasaannya kepada kakak tirinya itu. Karena bagi Eli, William adalah potret sempurna dari tipikal pria idamannya selama ini. Mungkin kata Jane memang benar, sahabatnya itu suka sekali menyebut ia bodoh karena sudah jatuh cinta dengan pria yang bahkan tidak pernah memikirkan perasaannya. Lagi-lagi Eli bisa apa? Namun sepertinya, prinsipnya yang ia pegang teguh itu membuahkan hasil. Atau mungkin, memang sejak dulu William memang menyukainya, namun tidak pernah dia tunjukkan karena sebuah alasan. Ya, dan alasan itulah yang akhirnya mengungkap rahasia kelam yang selama ini Papa Eli tutupi mengenai kematian Mamanya dan juga rahasia-rahasia besar lainnya. Darisana Eli sadar, bahwa selain mendiang Mamanya, William yang selama ini secara terang-terangan membencinya justru menjadi orang kedua yang peduli padanya. Dan justru bukan Papanya yang selama ini ia banggakan, ataupun Mama tirinya yang Eli pikir benar-benar baik kepadanya.

Shawingeunbi · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
113 Chs

Chapter 16

Tok..tok..tok..

Eli mengerjapkan kedua matanya beberapa kali ketika mendengar suara ketukan di balik pintu kamar yang sedang dihuninya saat ini. Karena kesadarannya belum sempurna, Eli pun hanya mengoceh tidak jelas.

"Siapa yang mengetuk pintu sepagi ini sih?"

"Nona Eli? Anda sudah bangun?"

Suara lembut Logan pun menyadarkannya, ia menoleh ke segala penjuru kamar dan baru menyadari jika ia sedang tidak berada di kamarnya sendiri.

"Oh ya? Logan, ada apa?" tanyanya masih setengah mengantuk.

"Nona, saya mau keluar sebentar karena ada sedikit urusan. Saya tadi sudah memasakkan sarapan untuk anda, tolong dimakan. Saya akan segera kembali saat jam makan siang."

Eli tampak terdiam sesaat, seketika sebuah ide muncul di kepalanya. Ia punya rencana.

"Oke, Logan. Hati-hati." teriaknya dari dalam kamarnya.

Dan setelah itu terdengar suara mobil yang baru saja dinyalakan, Eli bergegas menuju jendela kamarnya untuk melihat ke arah luar dimana mobil Logan mulai menjauh meninggalkan rumah.

"Selagi dia pergi, aku harus mencari petunjuk siapa Bibi dan Logan sebenarnya sampai mau menjagaku. Setelah itu, aku bisa mencari tahu lagi siapa pria misterius di makam Mama. Pasti semua ini ada sangkut pautnya."

Ia pun bergegas menggeledah sisi rumah yang lain karena semalam ia sudah mencari petunjuk di kamar Logan yang ia tempati, tapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan.

Sebenarnya agak aneh sih, kamar Logan itu seperti bukan tempat tidur seperti kebanyakan orang miliki karena tidak ada lemari maupun laci disini dan hanya tersedia ranjang untuk tidur saja.

Eli menggeledah setiap sudut rumah Logan tanpa ada yang ketinggalan, tapi tetap saja ia tak menemukan apapun.

"Kira-kira dimana aku bisa menemukan petunjuk?"

Ia pun menerka-nerka letak berkas-berkas pribadi milik Logan dan keluarganya, karena ia yakin hal itu pasti bisa menjadi sebuah petunjuk untuknya.

Ah, anda boleh memakai kamar saya untuk tidur, saya akan tidur dikamar belakang.

Ucapan Logan semalam kembali terputar di dalam kepalanya, ah benar, mengapa ia tidak memikirkan jika ada kamar belakang di rumah ini?

Eli pun bergegas menuju kamar belakang memperkirakan jika semua yang ia butuhkan ada disana. Kini sampailah ia tepat di depan pintu kamar belakang yang benar-benar terletak paling belakang dari bagian rumah ini.

"Semoga Logan tidak menguncinya." harapnya cemas.

Klek!

Harapannya ternyata sesuai ekspektasi, kamar belakang tidak terkunci. Berarti Logan sama sekali tidak menaruh curiga padanya jika ia bisa bertindak sejauh ini.

Eli pun masuk ke dalam kamar itu dan langsung di sambut seorag pria tidak terduga tengah duduk di atas ranjang kamar itu sambil memandangnya. Ia hanya terdiam membeku di tempatnya, entah itu asli atau memang ia sedang berhalusinasi, dirinya melihat sosok Dylan Smith di dalam kamar ini dan terlihat begitu nyata.

"Tidak, Eli. Dia sudah pergi." ujarnya meyakinkan diri sendiri.

Eli melamat-lamatkan ucapan itu dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Dylan tersenyum melihat itu, ia benar-benar merindukannya.

Dylan bangkit dari tempatnya untuk mendekati Eli, ia memang sengaja menyuruh Logan pergi karena sudah memperkirakan kalau gadis itu akan nekad menyelidiki apa yang sedang terjadi.

Ia kini sudah berdiri menjulang tepat di depan Eli, Dylan tak mampu menyembunyikan senyumnya ketika mata Eli masih saja terpejam. Lantas ia sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Eli, dari sana ia bisa melihat wajah Eli dari dekat. Demi Tuhan, Dylan benar-benar merindukan gadis ini.

Matanya menelisik ke bibir tipis milik Eli, tanpa sadar Dylan meneguk ludahnya susah payah. Itu adalah bagian favoritnya dari Eli dulu, yang termanis dari paling manis.

Tak berapa lama, Eli membuka matanya dan manik mata Dylan langsung menyambutnya. Ia merasa terbius dengan tatapan itu, tatapan penuh kehangatan yang selalu menemaninya dulu. Mengapa setelah sekian lama kehangatan itu hilang, kini telah diam-diam kembali dan menggetarkan hatinya?

Tangan Dylan sudah gatal untuk menyentuh pipi Eli, lembut sekali ketika dengan intens ia mengelusnya.

Sementara itu, tiba-tiba Eli meneteskan air matanya. Ia benar-benar tidak percaya bisa merasakan kedatangan sesosok Dylan dalam bayangan senyata ini. Sentuhannya pun benar-benar sama.

"Aku sudah berusaha menguburmu dalam-dalam, mengapa kau muncul dalam wujud senyata ini? Cih! Sepertinya aku pandai berimajinasi."

Dylan terhenyak mendengar ucapan Eli. Jadi gadis itu menganggap jika dirinya ini tidak nyata?

Ia mengetatkan rahangnya karena marah, lantas ia pun meraup wajah Eli agar mendekat padanya lalu ia akan menciumnya untuk memberinya pelajaran.

Tapi diluar dugaan, kenyataan pahit menghantam Dylan. Eli menutup bibir Dylan dengan kedua tangannya.

"Meskipun bayanganmu terasa sangat nyata, tapi aku tidak bisa melakukan hal intim seperti ini lagi."

Eli menatap manik mata Dylan dengan sendu, "Karena hatiku sudah bukan milikmu lagi."

Setelah mengatakan hal itu, Eli berbalik pergi meninggalkan Dylan dan luka baru dihatinya.

"Siapa pria itu?!" teriaknya keras.

Meskipun Eli sudah berbalik menjauh, ia terhenyak mendengar teriakan melengking yang menurutnya dari bayangan Dylan itu.

"Mengapa kau bisa merespon? Tidak, kau hanya halusinasiku."

Ketika Eli akan kembali pergi, Dylan berlari mengejar Eli dan langsung memeluknya dari belakang.

Ini, benar-benar terasa sangat nyata. Pikir Eli.

"Kau tidak sedang berhalusinasi, Eli. Ini aku, Dylan."

Deg!

Eli merasa bulu romanya berdiri, bukan karena ia merasa merinding, tapi karena nafas Dylan yang menyapu tengkuknya.

Jadi, ini benar-benar Dylan ? Tapi dia sudah pergi, dia menghilang, dia tidak mungkin muncul.

Kepalanya menggeleng berusaha mengusir rentetan logika yang memutar dikepalanya.

"Hentikan! Kau hanya halusinasiku!"

Eli berusaha melepaskan diri dari pelukan Dylan, namun tenaganya tak sebanding. Selain itu karena Dylan memeluknya sangat erat.

Ketika Eli terus berusaha melepaskan diri, tiba-tiba Dylan memaksa Eli berbalik dan menciumnya tepat di bibirnya sekilas.

"Apakah kau masih berpikir jika kau sedang berhalusinasi sekarang? Apakah aku harus melakukan lebih bukan hanya sekedar ciuman sama seperti beberapa tahun yang lalu?"

Seketika itu Eli kembali teringat dimana waktu itu ia memberikan keperawanannya pada Dylan secara sukarela karena terlalu mencintainya.

**************

Christ bergegas menemui William yang berada di ruangannya.

"Permisi, sir. Bolehkah saya masuk?"

"Masuklah."

Setelah mendapatkan persetujuan, Christ masuk dan langsung mendapati tuannya itu tengah membelakanginya karena sedang memandang ke arah luar kaca.

"Ada apa, Christ? Kau sudah menemukannya?"

Christ terdiam, ia berdiri dalam keadaan tidak nyaman. William yang merasa aneh dengan gelagat Christ dari siluetnya yang terlihat dari kaca di depannya pun menoleh untuk melihat asistennya itu.

"Jangan berusaha menyembunyikan sesuatu dariku!" tekannya.

Christ menatap William, "Bolehkah saya menanyakan sesuatu sebelum saya menjawab pertanyaan anda?"

Dahi William mengernyit, "Apa?"

"Apakah anda menyukai Eli?"

"Apa maksudmu?"

"Sebenarnya pertanyaan ini benar-benar mengganggu saya. Tolong jujur, karena kejujuran anda juga berpengaruh tentang harapan saya pada Eli."

Mata William menyipit, ia berdecih.

"Tidak mungkin, jangan bilang kau menyukainya."

Christ mengangguk tanpa ragu, "Tidak salahkan jika saya menyukai Eli? Lagipula dia juga sedang tidak berpacaran dengan siapapun."

William menggertakkan giginya dan langsung mendekati Christ menarik jasnya.

"Apa maksudmu mengatakan hal itu padaku?!" marah William.

"Sir, hanya katakan yang sejujurnya saja. Jika memang anda tidak menyukai Eli, tinggal bilang tidak. Mudahkan? Jadi saya jadi paham, kalau tujuan anda menyuruh saya mencari Eli hanya untuk membantu nona Lily saja."

William mendorong Christ sampai terdorong ke belakang, "Baiklah, jadi kau ingin tahu jawabanku? Maka jawabanku adalah iya, aku menyukainya. Aku menyukai Eli, jadi menyerahlah! Paham?!"

Bukannya marah, Christ malah tersenyum.

"Baik, sir." jawabnya.

"Mengapa kau--"

"Saya tahu. Kalau sebenarnya anda menyukai Eli dari dulu."