webnovel

Worry

Casta sangat merindukan rumah kursusnya. Ia menghabiskan waktu disitu hanya untuk melamun. Dua jam lalu 3 orang muridnya telah menyelesaikan kontrak kursus mereka. Casta masih berpikir bagaimana dia akan mendapatkan uang lagi?

Ia masih ingat semalam Damario tidak tidur dengannya. Apakah pria itu marah hanya karena Casta menanyakan perihal perasaannya? Sebenci itukah Damario padanya? Casta ingin meninggalkan tempat ini akan tetapi dia masih sangat membutuhkan rumah kursusnya demi melancarkan check up rutinnya.

"Nyonya, tuan mencari anda." Suara Fernando mengagetkan Casta.

"Mencariku? Kenapa?"

"Saya tidak tahu nyonya. Cepatlah kesana tuan akan marah jika nyonya tidak segera kesana."

Dengan malas Casta kembali ke rumah dan menemui Damario di ruang tamu. Pria itu melemparkan sebuah kotak hijau di sofa dan beranjak.

"Astaga untuk apa pakaian ini? Aku tidak memintanya."

"Nyonya mari saya dandani. Hari ini tuan akan menghadiri pertemuan bisnis besar di perusahaan temannya dan dia ingin kau ikut."

Casta membelalakkan matanya. Kenapa Damario ingin membawanya? Apakah sebagai istri atau apa lagi? Bukankah dia malu mengakui Casta sebagai istrinya?

30 menit kemudian Casta keluar dari kamar mengenakan gaun mewah rancangan Dolce & Gabbana. Ia tampak sangat cantik dengan anting berlian panjang dan liontin mewah pemberian Damario. Tak lupa high heels hitam menambah keindahan kakinya. Maria benar-benar pandai merias. Hanya dengan polesan make up tipis, wanita itu tampak sangat cantik. Casta sendiri heran dengan penampilannya. Selama ini ia tak pernah berpenampilan semewah itu.

"Tuan, nyonya sudah saya dandani." Damario membalikkan badannya dan memperhatikan penampilan Casta dari rambut hingga kaki. Tanpa bersuara, ia segera keluar dan memasuki mobilnya diikuti Casta. Ini pertama kalinya Casta berada di mobil yang sama dengan suaminya.

"Kita akan kemana?"

Pria itu tak menjawab. Casta memperhatikan penampilan suaminya yang tak kalah menawan. Ia mengenakan tuxedo hitam dan sepatu bermerek di tambah jam tangan mewah melingkar di pergelangan tangannya.

"Damario maafkan aku atas pertanyaan bodohku itu." Damario menatap datar wajah Casta.

"Setidaknya kau mengatakan sesuatu bukan? Supaya aku tahu kau marah atau tidak." Casta mulai jengkel dengan sikap dingin suaminya. Ia mengalihkan pandangannya menatap pemandangan luar.

15 menit kemudian mereka tiba di salah satu perusahaan teman Damario. Dan semua mata tertuju pada mereka. Bagaimana tidak? Yang satu sangat tampan dan yang satunya lagi sangat cantik.

"Ehem sepertinya semua mata memperhatikan kalian." Seorang pria tersenyum menggoda kepada Damario. Matanya menatap wajah Casta kemudian.

"Cantik sekali."

"Terimakasih." Jawab Casta malu-malu.

"Jadi tuan Damario. Apakah dia wanita yang kau maksud?"

"Hem."

"Jadi wanita cantik ini yang bernama Casta?" pria itu mengulurkan tangannya berjabat tangan dengan Casta.

"Namaku Evanders." Pria itu tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.

"Pergi!" Damario menatap dingin wajah Casta dan menyuruhnya pergi.

"Pergi kemana? Aku tidak tahu tempat ini."

"Kau bodoh? Kau tidak lihat bangunan ini begitu luas? Setidaknya kau menjauh dariku!"

"Lalu kenapa kau membawaku kesini jika menyuruhku menjauh?"

"Pergi!" dengan mata berkaca-kaca Casta menjauhi Damario. Ia mencari tempat yang paling sepi.

Sementara didalam, setelah beberapa menit setelah kepergian Casta, seorang pria muncul.Fredo. Damario sengaja menyuruh Casta menjauh agar Fredo tak melihatnya.

"Wow tuan Damario. Rupanya kau disini juga." Katanya sambil mencari-cari sesuatu.

"Dimana istrimu? Ah maksudku Casta lagi pula aku tahu hubungan kalian berdua tak seperti suami istri. Aku sangat merindukan wajah cantiknya."

"Kurangajar." Damario menarik kasar kerah kameja Fredo.

"Hei Damario. Jangan bertengkar disini oke? Kau tidak lihat banyak orang memperhatikan kalian?" Evanders berusaha melerai pertengkaran mereka.

Fredo berdiri dan berkata "Baiklah aku akan mencari istrimu aku melihatnya datang bersamamu tadi".

Damario tahu Fredo tidak main-main dengan ucapannya. Dia akan mencari Casta dan ketika menemukannya, entah apa yang akan dia lakukan. Ia mecari-cari sekeliling namun belum menemukan istrinya.

Tiba-tiba sesuatu yang asing menghinggapi dirinya. Rasa takut begitu hebat menganggu pikirannya. Dan Damario sadar ia mengkhawatirkan istrinya. Ia pun tak tahu kenapa. Meskipun ia tahu istrinya punya kemampuan bela diri, kekuatan Fredo tak bisa diremehkan. Pria itu punya berjuta-juta rencana licik. Ketika ia sampai di balkon, tak sengaja ia melihat Fredo menarik paksa seorang wanita dan membawanya ke mobil. Damario memperhatikan wanita itu dengan seksama dan membelalakkan matanya. "Casta." Gumamnya sambil berlari cepat menuju ke bawah. Ia segera mengejar mobil yang entah berapa jaraknya.

Satu jam berlalu dan kedua mobil itu masih saling mengejar. Tiba-tiba Damario melihat mobil Fredo berhenti dan menabrak sebuah pohon besar. Ia keluar dari mobil dan yang ia dapati hanyalah Fredo.

"Dimana Casta?"

"Aku tidak tahu. Dia membuatku seperti ini lalu pergi."

Bukkkkk...

Dengan kuat Damario melayangkan pukulannya tepat diwajah Fredo yang saat itu sudah mengeluarkan darah.

"Jangan pernah menyentuhnya atau kau akan mati!" ia meninggalkan Fredo dan melanjutkan pencariannya. Perasaannya sedikit lega ketika mengetahui Casta berhasil melepaskan diri meskipun ada sedikit kekhawatiran dihatinya tatkala melihat sebuah pistol di tangan Fredo.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

"Tuan kembalilah kerumah. Fernando sedang menjemput nyonya."

"Apa?"

"Barusan nyonya menelepon dan meminta Fernando menjemputnya. Nyonya baik-baik saja."

Damario mengepalkan tangannya. Tidak tahukah wanita itu bahwa ia sangat khawatir sekarang? Dan kenapa Casta harus menghubungi Fernando padahal ada Damario?

Ia memuatar arah dan kembali kerumahnya.

Satu jam kemudian, sebuah mobil memasuki area parkir. Damario tahu itu pasti Fernando. Dan Casta muncul. Damario yang saat itu tengah memandanginya tahu bahwa Casta berusaha menyembunyikan wajah takutnya. Ia berpura-pura tersenyum pada Damario.

"Aku pikir sesuatu terjadi denganmu." Casta mengelus lembut pipi Damario sementara tangan yang satunya berada di pinggang seakan berusaha menutupi sesuatu dan Damario menyadarinya.

"Aku masuk dulu." Casta meninggalkan Damario dengan langkah sangat pelan dan berhati-hati. Damario tahu sesuatu yang aneh terjadi pada Casta.

...…..

Setelah membersihkan dirinya dikamar mandi, Casta segera mengambil obat-obatan dan membersihkan darah yang masih terus mengalir dari perutnya.

"Akhhhhh." Ia berusaha menahan sakit akibat luka tembakan yang didapatinya ketika berusaha lari dari Fredo. Untuk pertama kalinya ia tahu seperti apa rasanya ditembak. Banyak kapas berserakan dipenuhi darah. Entah berapa banyak kapas dan kain yang ia kenakan namun tak menghentikan aliran darahnya.

"Kumohon berhentilah." Suaranya serak. Bagaimana Casta akan bekerja jika perutnya terasa sakit? Hanya berjalan saja sudah membutuhkan tenaga lebih.

Satu jam ia berada dikamar tanpa makan. Ketika sedang sibuk mengelap darahnya, tiba-tiba pintu kamar terbuka membuat Casta terkejut. Ia menatap sendu wajah Damario dengan linangan air mata dan menutup perutnya agar tak kelihatan. Namun terlambat. Damario terlanjur melihat semuanya ditambah lagi banyak kapas dipenuhi darah segar berserakan dilantai dan kasur.

"Kau tidak bisa tidur disini dulu." Casta berusaha menahan rasa sakitnya. Sementara Damario masih terus memperhatikan pakaian Casta yang bercampur darah.

Ia mendekatinya dan membuka sedikit pakaian yang menutupi lukanya dan benar saja, darah masih mengalir. Berarti dugaan Damario benar. Pistol yang tadi digenggam oleh Fredo sudah melukai perut Casta.

"Bodoh." Katanya dengan tatapan tajam. Tiba-tiba ia menarik kasar lengan Casta dan membawanya keluar.

"Akhhh tidak hentikan! Sakit Damario!" Damario sadar ia telah melukai Casta lalu ia menggendongnya dan memasukannya ke mobil.