webnovel

She is His Wife

Audrey keluar dari kamar Casta dengan wajah pucat. Tangannya bergetar tak mampu membayangkan betapa menderitanya Casta selama 5 tahun ini.

"Hai."

"Ahh Damario. Lama sekali aku tidak melihatmu di rumah sakit. Apa kau tidak berencana untuk kembali menjadi dokter?"

"Tidak. Aku nyaman dengan diriku sekarang."

"Tentu saja. Perusahaanmu semakin berkembang saja."

"Bagaimana keadaannya?"

"Kau mengkhawatirkannya?"

"Aku tanya bagaimana keadaannya?"

Cukup lama Audrey berpikir. Kemudian ia menjawab dengan ragu.

"Dia hanya kelelahan saja."

Damario mengernyitkan keningnya melihat sesuatu yang tidak biasa dari wajah Audrey.

"Kau menyembunyikan sesuatu?"

"Ahh tidak. Besok aku akan kemari. Aku harus segera menuju ke rumah sakit. Ada seorang pasien baru saja kritis."

Audrey keluar dan memasuki mobilnya.

...

Seorang pria memasuki sebuah kamar diam-diam. Ia sengaja masuk tengah malam karena tahu semua orang sudah tidur.

Ia mendekat keranjang dan duduk disamping wanita yang kini tertidur pulas dengan bantuan alat rumah sakit yang menancap ditubuhnya.

Damario tahu ada yang Audrey sembunyikan darinya. Tak mungkin hanya karena kelelahan Casta membutuhkan semua alat ini.

Damario benar-benar sadar bahwa istrinya berubah drastis. Berat tubuhnya berkurang, wajahnya pucat dan tatapannya sendu menyimpan sejuta kesedihan disana.

"Kenapa aku harus membencimu?"

Ia memandang lekat wajah polos istrinya. Wajah yang selalu hadir dipikirannya. Wajah yang membuatnya selalu merasa nyaman. Tapi wajah itu juga yang membuat Damario membenci Casta.

"Rahasia apa yang kau sembunyikan?"

Ia mengusap air matanya dan mengecup dalam kening istrinya. Akan sangat berbahaya jika Damario terus memandangi istrinya.

...

"Apa? ja..jadi Casta istri Damario?"

"Be..benar dokter."

"Tapi kenapa Casta tak menceritakannya padaku?"

"Nyonya Casta tak ingin membuat tuan kecewa."

"Apa maksudmu? Beritahu aku Maria!"

Audrey terus mendesak agar Maria menceritakan yang sebenarnya. Sejak kemarin ia begitu heran kenapa Maria memanggil Casta nyonya. Akhirnya Maria mengaku. Namun wanita itu masih ragu untuk menceritakan semuanya pada dokter Audrey.

"Maria ceritakanlah. Kumohon!"

"Baiklah akan kuceritakan tapi kau harus berjanji tidak akan beritahu tuan ataupun nyonya."

"Tentu saja."

Akhirnya terkuaklah kebenarannya. Maria menceritakan awal pertemuan Damario dengan Casta. Kenapa tuannya membenci Casta dan kenapa Casta tak mengakui keberandaannya sebagai istri Damario. Dan semua itu membuat dokter Audrey melongo.

"Kenapa bisa begini?"

"Saya juga tak tahu dokter. Kenapa tuan selalu berusaha membenci nyonya padahal saya tahu tuan punya perasaan yang sama dengan nyonya."

"Bahkan Damario tak tahu apapun mengenai Casta?"

"Benar. Tuan tak tahu betapa sabar dan sayangnya nyonya padanya. Nyonya sangat mencintai tuan dan selalu berlaku baik padanya. Tak pernah dia mengeluh atas sikap kasar dan dingin tuan."

"Ya Tuhan Damario. Seharusnya dia sadar betapa beruntungnya dia memiliki Casta bukan malah mencari Ariana wanita licik itu."

"Apalagi dengan keadaan nyonya saat ini. Sebenarnya apa yang terjadi pada nyonya?"

"Maaf Maria. Aku tak bisa beritahu. Aku sudah berjanji pada Casta."

"Apapun itu yang penting nyonya baik-baik saja."

Audrey menatap nanar wajah Maria.

Kau tidak tahu Maria....

Acara perayaan ulang tahun Damario yang hanya 24 jam lagi itu sudah dipersiapkan dengan baik.

Hari ini Damario mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan. Ia teringat akan Casta dan memasuki sebuah toko baju. Disana, ia melihat beberapa gaun yang sangat indah. Namun pandangannya jatuh pada sebuah gaun hitam berhiaskan berlian-berlian kecil yang melingkar indah di sepanjang leher gaun. Ia segera membelinya dan memberikannya secara langsung pada Casta. Bukan untuk mendapat pujian. Ia hanya ingin mencari alasan agar dapat melihat keadaan istrinya yang semakin buruk. Dua selang kecil menancap dihidungnya. Semua itu membuat Damario sedih. Ia tak menyangka wanita tangguh seperti Casta akan sakit parah.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja tinggal menunggu beberapa saat hingga kakiku kuat lagi."

"Pakai ini besok!"

"Damario ini...ini indah sekali. Aku suka. Terimakasih."

"Tidurlah lagi. Kau terlihat sangat lemah."

"Hmmm..baiklah. Kau juga perlu menyediakan banyak barang. Maaf aku tak bisa membantu."

Baru saja Damario ingin meninggalkan Casta namun pandangannya tertuju pada secarik kertas berlogo rumah sakit Universitario la paz. Damario sangat penasaran. Akhirnya ia menunggu hingga Casta tertidur dan mengambil kertas itu. Ia menuju ke kamarnya dan membaca isi kertas itu.

Matanya membulat sempurna membaca keterangan di surat itu. Ternyata itu surat hasil diagnosa beberapa bulan yang lalu. Damario membaca beberapa keterangan pemeriksaan dan mendapati bahwa Casta rutin ke rumah sakit miliknya setiap bulan tapi tidak untuk bulan ini.

"Tidak mungkin." tangannya gemetar membaca surat itu. Kemudian ia kembali ke kamar Casta dan mengembalikkan kertas itu. Jujur, dalam hati ia sangat sedih dan kecewa karena tidak bisa menjadi tempat Casta berbagi kesedihannya.

"Tidak mungkin." perasaannya campur aduk. Ia benar-benar merasa separuh dunianya runtuh. Dan kamar Casta menjadi tempatnya menghilangkan semua rasa kecewa dan lelah.

Ia duduk disamping ranjang istrinya sambil terus menggenggam tangannya.

Isakan-isakan kecil terdengar dimalam yang sunyi membuat seseorang yang ada disitu terbangun.

Casta membuka matanya dan melihat tatapan sendu suaminya.

"Damario...a...ada apa?"

"Kenapa kau bangun tengah malam begini?" tanya Damario.

"Kau membangunkanku Damario. Kenapa kau disini? jangan membuat Ariana salah paham."

"Aku hanya ingin disini bersamamu. Biarkan aku menemanimu."

"Apa sesuatu terjadi?"

"Tidak. Aku hanya ingin disini bersama istriku." jawabnya sambil mengecup kening Casta berkali-kali. Ia mengecupnya begitu lembut dan dalam membuat wanita itu tersentuh.

"Damario. Aku tahu sangat tak pantas mengatakan ini tapi aku ingin katakan bahwa aku mencintaimu. Maafkan aku."

"Kenapa harus meminta maaf? kau istriku. Kau milikku."

"Terimakasih Damario."