webnovel

ECHA & FRIENDZONE

(c) Iskasman-2017

Naksir teman sendiri itu sulit, sesulit ngerjain soal ujian Matematika campur Biologi. Percaya deh. Masih mending kalau teman yang ditaksir itu peka dan bisa menjaga perasaan kita ketika berdekatan dengan mereka--walau dia nggak punya perasaan yang sama sebagai timbal-balik.

Lha ini aku ... sudah naksir manusia paling tidak peka sedunia, statusnya pacar orang pula. Kurang sulit dan kurang nyesek apalagi coba?

"Cha, itu dia yang namanya Hanum."

Sabaar. Sabaaaaar.

Melirik sekilas ke arah yang ditunjuk Fendi, aku kemudian mengangguk dan kembali melanjutkan acara menyeruput teh gelasku dengan serius. Fendi Satya Putra, cowok menyebalkan di sebelahku ini, tadi dengan semena-mena menyeretku dari kantin demi menemaninya mojok di sudut Lapangan basket. Dia bilang dia ingin memperkenalkan pacar barunya, si anak paskib, padaku. K*mpr*t!

"Gimana Cha? Cakep nggak?" Tanya Fendi songong, nada bangga terdengar jelas dari suaranya.

Aku kembali memperhatikan si Hanum-Hanum itu dengan seksama. Tuh cewek nggak bisa dibilang cantik sih, cuma rada imut dan ucul-ucul gimanaaa gitu. Badannya mungil, kulitnya item manis, hidungnya mancung banget, dan punya lesung pipit di sebelah kiri yang membuat dia kelihatan ucul kalau senyum.

Cuma yaaa, sebagai saingan aku nggak mungkin banget ngaku kalau si Hanum itu cakep. Yang ada aku pingin banget teriakin kalimat, "Cakepan juga gue keleeesss!" Ke Fendi, tapi yaah mana mungkin aku mau teriak kayak begitu. Nanti harga diriku jatoh dan pasaranku bakal anjlok ke titik terendah.

Jadilah aku cuma bisa bilang, "Hmm. Cakep kok Fen," sambil mamerin senyum terpaksa ke Fendi.

"Menurut lo cocok nggak sama gue?" Tanya Fendi lagi dengan lagak jumawa.

Nggaakk! Nggak cocok. Lo itu cocoknya sama gue! Lagi-lagi aku cuma bisa meneriakan kalimat itu dalam hati, dan mengeluarkan jawaban yang bertentangan dengan hati nuraniku ; "Iya Fen, cocok kok."

Mati lo, Fen! Mati!

"Hanum itu anak yang pintar lho. Walau baru kelas sepuluh, gue sering dengar nama dia disebut di Ruang guru. Beberapa guru bilang, Hanum itu siswi cerdas yang bisa cepat menangkap pelajaran. Dia juga sering mengajukan pertanyaan yang kritis buat guru-guru ...."

Maksud ini cowok apaan ya? Nyeret aku dari kantin dan panas-panasan dimari cuma buat kenalan sama pacar barunya, dan dengerin dia muji-muji tuh cewek setinggi langit. Apa Fendi nggak sadar kalau dia seperti menyiram cuka di atas luka? Hatiku sakit mameen. Perih.

"Kata Bu Badariah ..." Anjiiirrrrr, nih cowok di sebelah masih ngoceh juga tentang pacarnya? "Hanum itu anak yang sopan dan alim."

Begooo Fen! Begoo! Kalau si Hanuman itu cewek yang alim nggak mungkin dia mau nerima kamu jadi pacarnya. Rata-rata cewek alim yang kukenal kebanyakan penganut paham ; Indonesia tanpa pacaran.

Demi persahabatan, aku terus diam dan mengunci mulutku saat Fendi menceritakan tentang pacarnya yang luar biasa alim, pintar, baik, dan semua-semua-semuanya! Pokoknya dia yang terbaik deh di mata Fendi. Dan itu bikin aku jadi duongkol! Fendi sukanya sama cewek macam si Hanuman yang pintar, sopan, baik, rajin, dan alim. Yakin deh aku cuma hembusan kentut yang nggak akan dilirik sebagai calon pacar di mata Fendi, soalnya aku kan kebalikan dari si Hanuman. Kalau kata guru-guru, aku ini rada bego, selenge'an, dan nggak sopan.

"Yaah udah bel masuk," keluh Fendi kecewa, karena pacar uculnya yang pintar, masih berlatih paskib dengan teman-temannya ketika bel masuk berbunyi.

Aku mendesah lega mendengar bel masuk tersebut. Itu berarti, aku nggak perlu berkenalan dengan pacar ucul Fendi, dan tergoda untuk menjambak apa yang ada di balik jilbabnya. "Ya udah masuk aja yuk," ajakku sambil menarik lengan baju Fendi. Dan kemudian tatapanku bertemu dengan tatapan mata Hanum, yang menatapku dan Fendi dengan kening berkerut di tengah Lapangan. Ihiiir, cemburu ya, Dek?

"Tapi gue masih kangen Hanum," Fendi merengut, "kami belum ngobrol hari ini."

"Halaaah. Ngobrol bisa nanti-nanti aja. Ini jamnya Ibu Endang lho, telat dikit masuk kelas kita bisa digantung terbalik di pintu. Lo mau?"

Fendi bergidik lalu meringis," Nggak."

"Yaudah, ayok!"

***

Sebenarnya aku sudah punya beberapa rencana untuk menghapus perasaanku ke Fendi, tapi sayangnya rencana-rencanaku itu selalu gagal.

Yang pertama, rencanaku adalah dengan berusaha menjauhi Fendi. Menjauhi dia ketika berada di Rumah (Fendi itu tetanggaku!) dan menjaga jarak dengannya ketika di Sekolah.

Tapi belum apa-apa rencanaku sudah gagal di hari pertama rencana itu akan dilaksanakan. Tahu-tahu, di pagi hari, Fendi sudah muncul di depan rumahku dengan motornya dan mengajakku ke Sekolah bareng. Aku tidak mungkin menolak tawaran berangkat bareng Fendi di depan orangtuaku. Kalau ditanya alasan kenapa aku menolak, aku harus jawab apa coba?

"Nggak usah Fen, aku berangkat bareng Papa aja," misalnya aku jawab begitu. Trus kalau Papa lagi yang nanya, "Echa kenapa nggak berangkat bareng Fendi? Lagi berantem?" Dan kalau aku ngejawab, "Nggak!" Papa pasti nanya lagi dengan tampang kepo, "Kenapa? Apa alasannya kamu nggak mau berangkat sekolah bareng Fendi, kalau kalian nggak berantem?" Itu aku harus jawab apa coba? Masa aku harus jawab karena aku naksir Fendi? Maluuuu.

Jadilah rencana pertama berakhir dengan kegagalan yang mengenaskan.

Rencana kedua, coba mencari kesibukan dengan kegiatan eskul agar bisa melupakan Fendi. Tapi Lagi-lagi rencana itu gagal, dan harus kucoret dari daftar rencanaku. Karena ... aku sama sekali tidak punya bakat! Mau ikut eskul apa coba? Paskib? Haaah ogah. Pacar Fendi ada disana! Eskul teater? Rrrr, aku nggak bisa akting. Eskul musik atau menyanyi? Mau sih, aku suka nyanyi, aku juga sudah daftar ke pembibing eskulnya. Cuma, aku ditolak. Kata si Ibu pembibing eskul, suaraku sama kodok kegencet roda motor nggak ada bedanya. Nyesek coy!

Dan rencana ketiga adalah move on. Cari pacar baru. Cuma sayangnya rencana ini belum terlaksana, karena sampai sekarang aku belum bisa move on, dan di sekitarku juga masih belum ada calon yang potensial buat dijadiin pacar. Habisnya cowok-cowok ganteng yang punya otak bagus rata-rata udah nggak jomblo lagi. Tsedih.

"Anak perawan jangan melamun depan rumah sore-sore, ntar kesambet lho."

Aku mendengus, melirik sinis ke arah sebelah rumah untuk melihat sahabat sekaligus tetanggaku memamerkan senyum tengilnya. Fendi terlihat ganteng dengan kaus putih polos dan rambut yang sudah disisir rapi. Mau kemana dia sore-sore begini?

"Kalau gue kesambet, lo orang pertama yang bakal gue cekek," balasku sewot.

Fendi terkikik, "Jadi cewek jangan galak-galak, Cha, nanti nggak laku," ledeknya, "Eh, sorry gue lupa. Lo kan emang jomblo yang nggak laku-laku," tambahnya.

Semprul! Aku jomblo itu gara-gara kamu Fen, dari dulu sampai sekarang nggak peka-peka. Ngakunya anak pintar, tapi tiga tahun dikasih kode nggak ngerti-ngerti. Migrain aku.

"Iya deh, mentang-mentang udah punya pacar," cibirku.

Fendi tertawa.

"Oh ya, lo mau kemana?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Jemput Hanum," jawab Fendi bahagia, "hari ini kami mau ke taman kota buat pacaran," kedua alis Fendi naik-turun dengan genitnya, "pergi dulu ya, Cha," pamit Fendi meninggalkanku dengan mood dan hati yang hancur.

Hiks. Cabut aja hati Dedeq, Bangh. Cabuttt!

***

"Echaaa!"

Pura-pura nggak dengar. Pura-pura nggak dengar.

Jalan lurus aja, Cha, sampai ke kantin sekolah. Abaikan panggilan mahluk astral di belakang.

"Echaaa!"

Dipanggil lagi, suaranya makin dekat.

"Echaaa!"

Tralala-trilili, aku lagi pura-pura tuliii.

"Vanessa Dewina!" Seru Fendi memanggilku dengan nama lengkap. Semua anak langsung memperhatikanku. Sial! Rasanya nggak enak hati banget, kalau aku jalan terus dan nggak nengok ke belakang buat ngeliat Fendi yang manggil. Ntar aku digosipin yang nggak-nggak lagi sama anak-anak lain.

Aku berbalik dan memamerkan senyum sok polos pada Fendi, "Hai Fen, ada apa?" Sapaku pura-pura bego.

"Daritadi gue panggil lu nggak denger-denger," protes Fendi sebal.

"Sorry Fen, beneran nggak denger kok." Aku cengengesan.

Fendi mendesah, "Oh ya, Cha, catatan matematika lo lengkap nggak?"

"Iya lengkap. Emangnya kenapa? Mau pinjam?" Tawarku. Mengingat jam terakhir nanti, jamnya Ibu Rahma, bakal ada pemeriksaan catatan. Dan yang nggak lengkap bakal dapat hukuman.

"Mausih minjam. Tapi ... Aku sekalian minta bantuan boleh nggak?" Pasang tampang memelas, minta dikasihani biar aku ngebantu dia. Dan aku langsung tahu apa yang mau dia katakan.

"Nggak."

"Ayolah, Cha. Bantuin gue ngelengkapin catatan matematika gue. Sekaliii ini aja."

"Nggak mau. Enak aja, catat lengkapin aja ndiri!" Sahutku sewot, "emang lu mau kemana, sampai nggak mau nyatat sendiri?"

Fendi cengengesan, "Gue mau ngantar Hanum ke Kobi. Ada lomba PBB antar sekolah di sana."

Jadi nih anak nyuruh aku buat capek-capek nyatat punya dia, gara-gara dia mau nganter Hanum ke Kobi? Ckckck. Nggak punya perasaan banget kamu, Fen. Kalau kayak gitu bukan tanganku aja yang capek, tapi hatiku juga.

"Chaaa," rengek Fendi, "ayolah bantuin aku. Sekali ini aja. Janji deh, aku bakal ngelakuin apapun yang kamu mau asal kamu mau bantuin aku.*

Dan setelah puluhan bujukan, ratusan janji, dan ribuan rayuan, aku akhirnya luluh dan bersedia membantu Fendi. Membuat Fendi dan sang pacar pergi dengan bahagia sambil boncengan ke Kobi.

Aish. Jangan ngeliat aku kayak gitu dan ngomong apapun lagi. Aku tahu aku bego.

***

"Ada angin apa nih? Tumben bersedia keluar sama aku. Biasanya bareng mulu sama tetanggamu yang songong itu," sindir Bang Aksan, saudara sepupuku, ketika aku menerima tawarannya untuk menjadi pacar pura-puranya di malam minggu. Agar para gadis yang mengejar dan biasa menempel padanya menjauh.

"Fendi udah punya pacar, Bang," jawabku ketus, "timbang dia ngapelin gue mending dia ngapelin pacarnya yang udah jelas ada statusnya."

Bang Aksan langsung tertawa mendengar gerutuanku, "Jadi tetangga lu, ngebuang lu karena dia udah punya pacar?" Tanyanya geli, aku cemberut, "Idiih kasian adik, Abang. Kamu pasti cemburu yaaa," kata Bang Aksan tanpa nada simpati sedikitpun.

"Diledekin lagi aku pulang nih, nggak mau kenalan dan bikin cewek cabe yang ngejar Abang itu kapok," rengutku.

"Iya deh. Iya. Abang cuma bercada, sorry. Jangan marah dong, Cha."

Abis magrib tadi, Bang Aksan ngejemput aku dari rumah buat nongkrong di Ama hami. Dia minta bantuan sama aku buat jadi pacarnya, dan bikin cewek cabe yang selama ini ngejar Bang Aksan mundur teratur.

Bang Aksan ada janji sama si cewek cabe itu buat ketemu di salah satu tenda warung makan di pinggir pantai Ama Hami.

Sebuah motor matic berhenti di luar, disusul masuknya dua orang remaja perempuan seumuranku (tapi kelihatannya lebih muda deh) ke dalam tenda. Mereka memakai celana pinsil ketat, dan pakaian berbelahan dada rendah. Rambut mereka yang digerai, di-highligt dengan warna pirang dan pink.

"Bang Aksan."

Aku melongo mendengar suara centil yang keluar dari mulut cewek cabe itu.

Yang benar saja? Aku pasti salah, ini nggak mungkin dia!

Kuperhatikan lagi wajahnya. Mukanya Mirip. Tapi penampilannya jauh beda.

"Sorry telat. Aku nungguin Oliv dulu tadi, Aji sama Umi ngelarang aku keluar sendiri." Tanpa permisi si Cewek cabe itu bergelayutan manja kayak anak monyet di lengan Bang Aksan. "Abang udah lama?"

"Lumayan lama sih, Num," jawab Bang Aksan tak nyaman, sambil coba melepaskan gelayutan si cewek cabe di lengannya.

Num? Num itu kependekan atau panggilan dari nama Hanum kan? Tolong bilang kalau aku salah. Ampun dah, kalau si cewek cabe di depan ini beneran Hanum. Fendi bakal gantung diri. Diakan bangga banget sama pacarnya yang (katanya) alim dan nggak mau lepas hijab.

"Oh ya, Hanum, kenalin ini Vanessa cewek gue."

Hanum menoleh, dia menatapku dengan kening berkerut. "Kok kayak pernah liat ya?" Dia menatapku seksama.

Aku cuma tersenyum, "Hai aku Vanessa," mengulurkan tangan ke arah Hanum untuk berjabat namun tidak disambut.

"Udah berapa lama jadian?" Tanya Hanum ketus.

Dalam hati aku bertanya ; "Nih anak maksudnya apa coba? Di sekolah kelihatan alim banget dan pacaran sama Fendi. Diluar? Penampilannya apalah-apalah banget, pake ngejar-ngejar Bang Aksan segala lagi."

"Kami udah delapan bulan pacaran," Bang Aksan menjawab pertanyaan Hanum sambil meremas tanganku, dan memamerkan senyum gantengnya. Dia menatapku mesra.

Cuma butuh sepuluh menit kemesraan, dan gelayutan manjaku di lengan Bang Aksan hingga membuat Hanum dan temannya tak betah lalu memilih pergi.

"Kok bisa sih kenal cabe-cabe macam begitu, Bang?" Tanyaku setelah Hanum dan temannya pergi.

"Kami satu kampung, Cha. Dan juga Abang pernah jadi guru PPL di Sekolah mereka dua tahun lalu."

Aku mengangguk-angguk mendengar jawaban Bang Aksan.

"Trus kenapa Hanum jadi 'nukik' kayak gitu sih kelakuannya, Bang?" Melihat tampang bingung Bang Aksan yang tidak mengerti kalimatku, aku buru-buru menambahkan, "Itu ... Di sekolah dia kelihatan pendiam dan alim, tapi diluar kok jadi apalah-apalah gitu sih?"

"Oh. Hanum emang begitu. Orangtuanya itu ulama terkenal lho di kampung Abang. Aji-nya biasa ngisi ceramah agama lho tiap hari jum'at di Masjid. Cuma ... Hanum itu kelakuannya emang lain dari kakak-adiknya. Dia tipe anak pemberontak, dan mudah terpengaruh sama pergaulan. Beberapa kali Abang sama teman-teman Abang mergoki dia bolos. Hanum dari Rumah, make seragam Sekolah tapi nggak nyampe Sekolah. Dia malah berhenti di salah satu rumah temannya di kampung tetangga untuk ganti baju dengan pakaian ala seperti yang kamu lihat tadi."

Cerita Bang Aksan membuatku melongo. Waduh! Itu anak gawat juga.

"Ngomong-ngomong, kamu kenal Hanum?"

"Kami satu sekolah," jawabku singkat. Tidak mungkin aku mengatakan pada Bang Aksan kalau si Hanuman itu pacarnya Fendi. Dia bisa ngejek aku dan ngatain aku cemburu sama Hanum.

'Tapi Bang, Hanum itu anak paskib. Dan kata guru-guru dia juga pintar, nggak mungkin kelakuannya kayak gitu."

Dan Bang Aksan kemudian kembali menceritakan tentang kelakuan Hanum semasa SMP, ketika dia masih menjadi guru PPL, dan hal itu lagi-lagi membuatku melongo. Hanum emang gawat!

***

Menceritakan tentang kelakuan asli pacarnya pada Fendi bukanlah tindakan yang cerdas. Fendi kan sedang dimabuk asmara, jelas dia nggak akan mempercayaiku dan malah akan membela pacarnya. Kata Bang Aksan, Hanum itu memang cerdas, untuk urusan mengelabui orang. Tapi kalau untuk urusan pelajaran, dua jempol salto ke bawah buat dia.

Hanum biasanya mencari teman sebangku yang pintar dan pendiam, biar bisa dIintimidasi dan dimanfaatkan. Dan (menurut cerita Bang Aksan) itu pernah terjadi waktu dia SMP. Teman sebangku Hanum waktu SMP tidak nggak tahan dengan kelakuan Hanum, lalu melaporkannya pada guru BK. Dan mungkin kelakuan dia terhadap teman sebangkunya di SMP, terulang lagi di masa SMA-nya ini.

Dan untuk urusan paskib, Hanum mungkin berambisi untuk jadi anak populer. Karena eskul andalan di Sekolahku adalah paskibraka, jadi dia mencoba peruntungan disana.

"Hei Cha, kok melamun daritadi? Mikirin cowok ya?" Suara jahil Fendi menarikku keluar dari lamunan.

Tumben nih anak, minggu pagi nongkrong manis di teras rumahku.

"Emang kenapa kalau gue mikirin cowok? Lo cemburu?" Balasku sewot.

Fendi tertawa, "Ya nggaklah. Ngapain juga gue cemburu? Gue kan udah ada Hanum.Gue justru senang lo punya pacar."

Anjiiirrrrr. Jawabanmu Fen, Feen.

Aku terdiam, "Lo cinta ya sama Hanum?"

Fendi mengangguk mantap, "Yaiyalah gue cinta sama dia. Kalau nggak cinta, nggak mungkin gue pacarin."

"Seandainya ... Hanum nggak sebaik yang lo pikir, apa lo masih bakal tetap cinta sama dia?" Tanyaku hati-hati.

Kening Fendi berkerut mendengar pertanyaanku. "Buat gue Hanum itu baik, selalu yang terbaik buat gue. Lo nggak lihat kelakuannya di sekolah kayak gimana? Dia nggak pernah buat masalah kan?"

Jawaban Fendi membuatku menghela napas gusar. Dia jelas tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan. Apa aku harus tetap diam? Membiarkan dia tetap bersama Hanum, dan membiarkan waktu yang membongkar semua kebohongan Hanum padanya? Yaah mungkin hal seperti itu lebih baik. Aku mungkin masih sanggup menahan rasa sakit hati ini selama beberapa lama, Tapi rasanya aku tidak sanggup kalau harus kehilangan Fendi sebagai sahabatku.

Tutup mulut adalah jalan terbaik untuk sekarang.

***

Dan pikiranku tentang tutup mulut adalah jalan terbaik adalah salah. Tahu ataupun tidak tahunya Fendi tentang kelakuan buruk pacarnya, aku tetap kehilangan dia.

Tiga bulan setelah berpacaran dengan Fendi, Hanum perlahan memperlihatkan belangnya. Dia keluar dari paskib. Dia juga mulai kasar dan tak segan memerintah Fendi untuk mengantar-jemputnya seperti ojek. Dia juga tak malu meminta uang pada Fendi untuk berfoya-foya dan berbelanja keperluan yang tak penting (hal ini yang menbuatku sedih, Fendi sampai menggadaikan motornya demi memenuhi kebutuhan Hanum. Dia bahkan sampai harus disidang dan dihukum oleh orangtuanya).

Dan puncaknya adalah saat Hanum terjerat kasus foto bugil. Foto telanjang Hanum tersebar di dunia maya, menggegerkan teman-teman sekolah dan orang-orang di sekitarnya. Dia kemudian dikeluarkan dari Sekolah. Kasus itu membuat Fendi marah besar dan mereka putus.

Fendi berubah setelah putus dengan Hanum. Dia tidak lagi menjadi Fendi yang sama seperti yang kukenal. Dia menjadi lebih pendiam, pemurung, dan nakal. Fendi jadi suka keluar malam dan nongkrong dengan teman-temannya yang lain (mungkin teman-temannya yang didapat saat berpacaran dengan Hanum) daripada berada di Rumah dan belajar seperti yang biasa dia lakukan. Aku juga sering mendengar suara bentakan dan teriakan Ayah Fendi dari sebelah rumah, karena Fendi tidak menurui perkataannya.

Fendiku sudah hilang sekarang. Hilang bahkan sebelum aku belum mengungkapkan perasaanku padanya.