Hati dan pikiranku semakin kacau tak terkendali. Hari ini Josh mengajariku bermain piano dan aku melakukan begitu banyak kesalahan karena kebodohanku. Senyuman manis selalu dia berikan meskipun telah begitu banyak ketololan yang kutunjukkan di hadapannya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, kurasa.
"Kau bosan ya?" tanyanya ketika kuputuskan untuk berhenti bermain-main dengan tuts-tuts hitam-putih itu.
"Sebaiknya kau saja yang main, aku hanya merusaknya,"
"Mau lagu apa?" tawarnya
"Apapun itu asal kau memainkannya aku suka," kugoda dia dan sukses membuatnya terkekeh manja.
"Oke Nona, a love song for my lovely girl," ungkapnya sebagai kata-kata pembuka sebelum dia mulai memainkan jemari-jemarinya di atas tuts-tuts piano klasik miliknya.
Kupejamkan mataku untuk menikmati susunan nada-nada indah pembentuk alunan lagu merdu yang sedang dimainkan Josh. Menghayati setiap bagian dari harmonisasi sempurna itu, berharap untuk mendapatkan ketenangan hati dan pikiran lewat cara ini.
Surat dari Kak Rusli membuatku frustasi dan juga mengalihkan perhatianku tentang pemikiranku terhadap hubunganku dengan Josh. Segala perbedaan kami yang membuatku cemburu dan ingin menukar hidupku dengan hidupnya, bertukar posisi.
Lakoekan djika koe maoe seperti ini lagi
Kalimat di balik foto yang dikirimkan Kak Rusli bersama surat balasannya untukku itu kembali terngiang-ngiang di otakku. Masih tak kupahami makna dari tiap-tiap kata penyusun kalimatnya. Lakoekan, apa yang harus kulakukan? Apa yang diinginkan Kak Rusli dariku? Bukankah dia bilang, aku ini hanya gadis yang tak jelas asal-usulnya dan telah merusak kehidupannya? Seorang gadis yang tak tahu terimakasih, gadis yang dibesarkan oleh orang-orang pribumi tetapi justru menaruh simpati dan memilih bergaul dengan orang-orang berkulit putih, tanpa ada rasa dosa sedikit pun. Aku dan dia adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin bertemu, kami bertolak belakang. Aku lebih menyukai sikap orang Belanda sementara Kak Rusli berniat menghancurkan mereka. Menghancurkan mereka?
Aku tersentak oleh pemikiranku sendiri. Tersadar dari lamunanku bersamaan dengan saat permainan Josh selesai. Dia tersenyum ramah dan tulus kepadaku yang masih belum terlalu fokus memperhatikannya. Dadaku terasa sesak, panas mendera sekujur tubuhku hingga bulir-bulir keringat mengalir dari keningku.
"Kau suka lagunya?"
Menghancurkan Belanda, Kak Rusli ingin aku memanfaatkan posisiku. Menjadikanku senjatanya untuk mengusik kolonial dari dalam.
"Maudy, kau menyukainya?"
Picik! Tak pernah kukira bahwa kakakku sebusuk ini. Memanfaatkanku demi obsesi gilanya. Dia tidak punya otak.
"Maudy? Kau mendengarku?"
"Ya?" Aku tersadar dan mulai fokus pada Josh yang memperhatikanku penuh arti.
"Kau sakit?" tanyanya ketika kuberikan senyuman tipis untuknya. Nampak sekali kalau dia dibuat bingung oleh sikapku.
"Tidak," sergahku meyakinkan, dia mengangguk ragu.
"Papa sudah memutuskan," Dia mengalihkan topik pembicaraan,suasana yang sempat kaku kembali cair karenanya, "Kita akan berlibur ke villa tiga hari lagi," Riang Josh menyampaikan kabar menyenangkan itu namun sayangnya belum mampu mengalihkan kegalauan hatiku. Aku benci berada di posisi seperti ini.
"Apa mavrouw juga ikut?" tanyaku, berusaha memunculkan ketertarikkan pada topik ini sembari berharap memori tentang surat Kak Rusli lenyap dari otakku.
"Entahlah, mama hanya ingin pergi dengan papa," Sejenak Josh menunduk, memperhatikan jemarinya yang bermain-main di atas tuts-tuts piano. Kemudian dia kembali tersenyum melihatku, memberikan senyuman indahnya yang tak pernah membuatku bosan. Dia Josh yang kuat dan selalu bahagia meskipun dia hidup dengan ibu angkat yang tak pernah menganggapnya. Ini untuk kali pertama aku merasa bahwa aku lebih beruntung daripada Josh karena ibu angkatku menyayangiku. Tapi sayang, itu dulu.
"Tapi yang jelas kita akan pergi," Tambah Josh penuh semangat.
***
"Apa kata Rusli?" Piet bertanya padaku setelah cukup lama kami terdiam, kulihat dia sedang mengencangkan tali sepatunya. Aku dan dia kini duduk di pos serdadu, berdua dengannya sementara serdadu lain pergi ke kebun tebu. Harus kujawab apa pertanyaan Piet itu? Aku memang mengatakan semua hal kepada Piet tapi kurasa isi surat balasan Kak Rusli bukan hal yang sepantasnya untuk kubahas dengannya.
Aku memang membenci Kak Rusli tapi aku tidak mau kakak tiriku itu mendapat masalah dengan pemerintah Belanda, lagipula aku masih berharap Kak Rusli mau memaafkanku, tidak lagi membenciku. Setidaknya aku ingin sakit hatinya terbayar lunas olehku.
"Jangan melamun maudy," Kuangkat wajahku dan kuperhatikan ekspresi yang terpampang di wajah serdadu muda itu.
"Kau punya masalah?" Matanya menatapku lekat-lekat seolah menelisik jauh lebih dalam ke dalam diriku, tak ingin kusembunyikan apapun darinya.
"Bukan hal yang penting,"
"Tapi mengganggumukan?" dia menyahut, "Ayolah maudy. Kau bukan pembohong dan aku tidak cukup bodoh untuk kau bohongi,"
Piet memang sangat mengenalku, aku suka itu tapi sayang, di saat seperti ini, keakraban kami justru menjadi kelemahanku.
"Tentang Josh lagi ya?"
"Ada beberapa hal yang kupikirkan tapi maaf, aku tak bercerita,"
"Bagaimana dengan Rusli?" Piet mengulang pertanyaan awalnya tadi, dia paham maksudku dan mengalihkan pembicaraan ke topik semula.
"Aku harus mengirim surat lagi, Apa kau mau mengirimnya?"
Kulihat kening Piet berkerut, tapi apa yang bisa kukatakan? Semuanya terlalu sulit bagiku. Kucoba untuk menghilangkan persepsi burukku tentang maksud pesan di balik foto itu. Aku harus tahu sendiri dari Kak Rusli. Kuharap fakta yang muncul nanti tidak sejalan dengan pemikiranku.
"Kau bisa mengandalkanku," Dia melingkarkan lengannya di bahuku, memberikan kepercayaan diri kepadaku.
"Piet Van Walls," Suara halus namun bernada tegas itu mengejutkanku dan Piet. Serdadu muda itu bergegas mengalihkan lengannya dari bahuku ketika dalam waktu bersamaan kami mendapati sosok Mavrouw Alex yang bergaun putih dan memaki topi kini berdiri di hadapan kami bersama dua orang pembantu wanita yang berdiri di belakangnya. Aku dan Piet bergegas berdiri, memberi hormat kepada istri tuan Schoonhoven itu.
"Mavrouw," Ucap Piet takut-takut, aku sendiri nyaris tak mampu menopang tubuhku. Untuk apa nyonya Belanda menyeramkan ini datang kemari?
"Apa yang kalian lakukan? Maudy, Josh tahu kau disini?" Pertanyaan itu terdengar seolah dia sedang menginterogasiku, tepat di saat dia menemukanku melakukan kesalahan.
"Dia berkata padaku bahwa kau sedang pergi untuk sebuah urusan penting. Apa anak muda ini yang kau sebut urusan penting?" Mata mavrouw melirik Piet. Sial! Apa maksudnya bertanya seperti itu? Apa dia pikir aku sedang bermesraan dengan Piet? Lidahku kelu tak mampu berkata-kata meskipun berbagai sumpah serapah telah terkumpul di kepalaku, siap digunakan untuk menghina Mavrouw Alex.
"Aku tahu apa hubunganmu dengan Josh meskipun kalian berdua belum mengatakannya,"
"Ehn, kami. Aku dan Josh," Hanya kata-kata tak jelas dan tak tersusun rapi yang terucap olehku. Memang bukan satu hal mengejutkan jika Mavrouw Alex tahu tentang hal ini. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa Tuan Schoonhoven juga mengetahuinya. Aku dan Josh terlampau dekat jika harus menyebut diri kami hanya sebatas teman biasa.
"Kurasa Tuan Van Walls ini lebih menarik daripada Josh. Jika aku menjadi dirimu, aku tidak akan bersembunyi-sembunyi hanya demi orang seperti Josh. Dia merepotkan," Ibu macam apa dia ini? Bisa-bisanya dia berkata seperti itu di hadapan kekasih putranya sendiri. Aku tahu Josh hanya anak tirinya tapi tidak seharusnya dia berkata seperti itu. Dia Ibu terjahat yang pernah kukenal dan dia adalah satu-satunya alasan yang akan menjadi pertimbanganku atas keinginanku untuk bertukar tempat dengan Josh.
"Ehn, Mavrouw," Piet mulai angkat bicara,dia berhati-hati sekali, "Ada kepentingan apa anda kemari?"
"Heh," Mavrouw Alex sedikit membuang muka, dia benar-benar memuakkan, "Aku hanya kebetulan lewat dan aku menemukan Nona Maudy Mangunbrata disini,"
Kuperhatikan kereta kuda yang membawa mavrouw Alex semakin jauh dari tempatku dan Piet berdiri sampai akhirnya dia lenyap di tikungan ujung jalan. Ini adalah kejutan mengejutkan bagiku dan juga Piet. Posisi Piet yang tadi melingkarkan lengannya di bahuku membuat Mavrouw memiliki pemikiran lain tentang hubunganku dengan Piet. Tak mau mendapat masalah lebih rumit dan terus diliputi pertanyaan meresahkan akibat kejadian ini, akhirnya kuputuskan untuk beranjak pergi dari pos serdadu dan kembali ke kediaman Tuan Schoonhoven, rumah tempat aku tinggal sekarang.
Seorang wanita paruh baya, pembantu rumah tangga menyambut kedatanganku yang baru saja menjejakkan kaki di lantai ruang depan. Dia berkapurancang, memberi hormat kepadaku, sedikit menunduk, melihatku yang sedikit lebih tinggi darinya.
"Meneer berpesan supaya nona menemuinya," Ungkapnya halus namun sukses untuk membuatku terlonjak kaget karenanya. Tuan Schoonhoven ingin menemuiku? Biasanya dia langsung datang kepadaku, tidak perlu menjadikan pembantunya sebagai perantara. Apa ini ada hubungannya dengan pertemuanku dengan Mavrouw Alex tadi? Kuharap tidak, dan aku tahu Mavrouw bukan seorang pengadu, kalaupun dia hendak menyerangku, pasti dia akan bergerak sendiri tanpa harus bersembunyi di balik punggung suaminya.
"Sekarang Tuan Schoonhoven dimana?" tanyaku ragu-ragu sembari berpikir bahwa mungkin saja dia hendak membicarakan tentang liburan kami minggu depan.
" Di ruangannya,"
Kutelusuri lorong-lorong sepi kediaman Tuan Schoonhoven, berjalan sendiri menikmati putihnya dinding, dan langit-langit dengan keresahan hatiku. Aku takut jika Tuan Schoonhoven tahu tentang hubunganku dengan Josh yang sebenarnya dan dia menolak keberadaanku. Apa yang akan terjadi padaku? Tidak! Aku tidak mau menemui Tuan Schoonhoven, tidak bisa kubayangkan seperti apa mata,
"Maudy,"
Mata biru safir yang tatapannya tak pernah bisa membuatku nyaman itu ketika si pemilik marah. Mata Tuan Schoonhoven dan dia kini tengah berdiri tepat di hadapanku. Tubuhku kaku seketika seolah tersihir oleh tatapan matanya.
"Bisa kita berbicara sekarang?" Seperti seorang peramal, dia sudah tahu tujuanku berada di lorong ini adalah untuk mencarinya.
" Tunggu aku di perspustakaan," Perintahnya dengan sikap dinginnya yang khas kemudian dia berlalu meninggalkanku. Apa-apaan ini?
Kuakui setiap orang memiliki sikap baik dan buruk. Tapi aku tidak suka bahkan sangat membenci orang yang suka mengatur dan membuat orang lain mengunggu. Parahnya, Tuan Schoonhoven yang kukagumi sekaligus kuhormati justru melakukannya padaku dalam satu waktu. Dia membuatku menemuinya tanpa alasan yang jelas kemudian menyuruhku untuk menunggungnya di sebuah ruangan yang tak terkena sinar matahari sehingga udaranya terasa lembab. Bersama buku-buku menyebalkan yang tersusun rapi di rak-rak kayu, kunikmati detik-detik membosankan, menunggu kedatangan Tuan Schoonhoven. Lelah aku duduk di depan meja kerja Tuan Schoonhoven sembari memainkan bola dunia yang terpasang di sudut meja. panas sudah pantatku, akhirnya kuputuskan untuk berdiri, melangkah menuju rak-rak buku di perpustakaan pribadi milik keluarga Schoonhoven. Iseng-iseng, kubaca juga judul-judul buku beserta penulisnya. Kumainkan jari telunjukku di tatanan buku itu, merasakan lekukan-lekukan yang tercipta ketika jemariku berpindah dari satu buku ke buku berikutnya. Hingga langkahku terhenti di sudut ruangan.
Lampu hias unik berbentuk bunga lili yang menjuntai di dinding sudut ruang. Lampu merahnya menyala redup, meneduhkan setiap mata yang memperhatikannya, tak menyilaukan meskipun kulihat dalam jarak dekat. Puas kuteliti setiap detail lampu itu, kini mataku beralih ke meja kecil yang terletak tepat di bawah lampu. Sebuah buku kecil yang terletak di antara tiga buku besar dan tebal di atas meja, menarik perhatianku. Kuraih buku sebesar telapak tanganku itu, kubuka sampai akhirnya kutemukan satu benda mengejutkan terselip disana.
"Ibu?"
Lirihku ketika kutemukan sketsa sosok yang sangat kurindukan, seseorang yang kurindukan tutur lembutnya, cara bicaranya, senyuman, keteduhan sinar matanya yang penuh kasih, hangat pelukan, aroma tubuhnya serta segala hal yang ada dalam dirinya. Dia ibuku, kusentuh sketsa yang terlihat begitu nyata dan mirip dengan ibuku itu, seolah aku hendak masuk kesana, merengkuhnya.
Jantungku berdegup kencang, tenggorokanku serasa dicekat hingga membuat napasku memberat, sesak dadaku karenanya. Bagaimana bisa ada sketsa ibuku disini? Aku tahu benar bahwa ini adalah ibuku ketika dia masih muda, rambut sebahunya yang bergelombang dan juga kalung berliontin koin yang dia kenakan dan kini telah melingkar di leherku. Refleks tanganku mulai membuka lembar demi lembar halaman di buku bersampul kulit hitam ini, membaca kalimat-kalimat berbahasa belanda yang selalu membuatku muak. Beberapa kertas tua itu lusuh karena ulah tanganku. Gerakanku terhenti di sebuah halaman dimana kudapati sebuah foto yang ditempelkan disana. Sebuah foto yang menampilkan sosok ibuku yang memakai gaun putih cantik, gaun yang membuatnya terlihat semakin cantik dan anggun, dia tersenyum dan saling memandang dengan seorang pria gagah bermata biru safir, mata biru safir yang sangat mirip dengan mataku, berambut coklat seperti rambutku, dia memakai jas putih. Sebuah foto pernikahan, pernikahan ibuku dengan pria yang telah melemparku ke kapal dulu.
Tanganku gemetar seketika waktu juga saat emosi dalam diriku menyeruak dari dada. Emosi yang mendesak dan menuntut untuk diluapkan dengan segala sumpah serapah. Sejenak kualihkan pandanganku pada sebuah lukisan di dinding di belakang meja kerja Tuan Schoonhoven, ada sosok Tuan Schoonhoven, Mavrouw Alex dan Josh disana. Sebuah fakta yang baru kusadari membuat pikiranku semakin kacau, aku benar-benar tak percaya pada hal yang baru saja kuterima detik ini.
Kemana saja memoriku selama ini? Apa yang telah kulakukan? Kenapa baru kusadari fakta gila dan menyakitkan ini? Mereka orang yang sama, laki-laki terkutuk dari Rotterdam, si mata tajam itu, orang yang telah membuangku dan ibu adalah orang yang sama dengan si mata biru safir menyeramkan, si kumis tipis Wessel Adelbert Schoonhoven, orang yang sangat kukagumi, kuhormati dan kuanggap sebagai pelindungku, seorang malaikat penolong yang dihadiahkan tuhan untukku. Tidak! Ini pasti mimpi atau hanya imajinasiku semata. Tidak mungkin Tuan Schoonhoven adalah orang itu. Mereka berbeda, sangat berbeda meskipun harus kuakui mereka memiliki rupa yang sama. Mereka sama, kemana saja mataku selama ini?
"Maudy?"
Terkejut diriku ketika mendengar suara itu, panas mendesak dadaku. Kuarahkan pandangan mataku ke arah pintu. Dia Tuan Schoonhoven perlahan melangkah dengan tegas mendekatiku.
"Apa yang kaulakukan disana?" Dia mulai mempertanyakan tindakanku. Rasa gugup bercampur takut mendadak menguasaiku. Apa yang harus kulakukan sekarang? Buku itu masih berada di genggamanku dan sudah terlambat untuk menyembunyikannya dari si pemilik yang kini telah berdiri di hadapanku.
"Eh, ak aku," Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
"Buku itu,"
Sial! Habislah aku, mungkin seharusnya kuserang dia ketika dia baru saja memanggil namaku, hal yang realistis kulakukan karena aku membencinya. Dia penjahat, bermuka dua, mungkin saja dia sudah tahu siapa diriku dan sengaja menjebakku dengan segala kebaikkan hingga aku berada di posisi ini sekarang. Picik,otak macam apa yang ada di kepalanya?
Sejurus dia merebut buku itu dari tanganku, memperhatikan bagian yang kulihat tadi, foto dirinya dan juga ibu ketika baru saja menikah. Seulas senyuman tersungging di wajahnya, ujung bibirnya tertarik ke atas, senyumannya yang sulit untuk kumaknai.
"Kau gadis yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar," ujarnya dengan nada datar meskipun sempat kutemukan ada keterkejutan sekilas di matanya yang berkilat ketika pertama kali dia melihat apa yang kulihat,
"Dia istri pertamaku," tambahnya lagi dengan cara bicara yang sama sembari melangkah menuju meja kerjanya. Sementara aku masih kaku di posisiku. Jadi benar ini foto pernikahannya? Dengan ibuku, wanita yang melahirkanku? Dia menikah dengan ibuku. Kegilaan macam apa ini? Kucengkram lengan tangan kiriku dengan tangan kananku, berusah menahan desakan dalam diri supaya aku bisa tetap tenang. Jadi dia benar-benar laki-laki itu? Orang yang melemparku dan ibu ke kapal hingga kami terdampar di tanah ini. Dia orang yang membuat hidupku dan ibu menderita, terkatung-katung di negeri Belanda dan sengsara di tanah jajahan busuk. Dia, Tuan Schoonhoven, orang yang sangat kuhormati.
Pertanyaannya sekarang adalah apa dia mengenalku, mengetahui siapa diriku? Mungkin saja dia sengaja mau merawatku, mengizinkanku untuk tinggal bersamanya supaya dia menebus perlakuannya beberapa tahun lalu. Tidak! Kalau itu benar, tidak akan semudah itu. Mati pun sama sekali tidak sebanding.
"Kemarilah, apa yang kau lakukan Maudy?"
"Ehm, ehn tidak ada," tergagap aku menjawab pertanyaannya. Berusaha bersikap biasa tapi tubuhku tak mau diajak berkompromi dan justru membuatku menunjukkan reaksi sebaliknya. Tak dapat kupungkiri bahwa amarah telah bergejolak dalam diriku sejak pertama kulihat foto tadi. Sekarang aku sangat terobsesi untuk membunuhnya.
"Ehm, Anda menikah dua kali?" Sebisa mungkin kutekan perasaan yang bergejolak di dalam diriku, berusaha bersikap biasa saja di hadapan orang yang sebenarnya ingin kugantung sekarang juga, detik ini di saat tidak ada orang lain selain aku dan dia.
"Kalau boleh tahu, kenapa anda menikah dua kali?" Perlahan aku melangkah mendekati Tuan Schoonhoven. Aku ingin tahu bagaimana caranya ketika membicarakan ibu, cerita dan pendapatnya tentang wanita yang telah dia campakkan. Apa dia akan membanggakan diri sebagai seorang laki-laki? Aku tahu pasti itu jawabannya.
Tuan Schoonhoven membuka lembar dimana sketsa wajah ibuku berada yang sepertinya sudah dia hafal betul letaknya, ke arah mana dia harus membuka lembaran kertas dalam buku yang kini berada di dalam genggamannya. Wajahnya berkerut, aku bisa melihat bagaimana perubahan raut itu terjadi secara perlahan. Ekspresi wajahnya itu terlalu rumit untuk kuterjemahkan, mungkin karena aku jarang memperhatikan wajahnya dan karena hal itu pula, aku tidak menyadari bahwa dia adalah pria busuk itu.
"Bukan hal yang penting untuk dibahas dan untuk kau ketahui,"
Busuk! Apa yang dia katakan tadi? Dia tidak mau bercerita? Tak mau mengingat ibuku, lalu untuk apa di menyimpan skesta wajah dan juga foto pernikahan tadi? Aku ingin tahu siapa dirinya sebenarnya, kenapa dia begitu tega membuang kami? Kucengkram lengan kursi yang kududuki, berusaha menekan amarah dan begitu banyak persepsi yang muncul di otakku.
"Baiklah," Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, "Langsung saja kukatakan kenapa aku memanggilmu,"
Dia mengalihkan topik, mengarahkan pembicaraan ke tujuannya semula. Sesuatu yang belum kuketahui meskipun rasa penasaranku telah terlenyapkan oleh emosi dalam diriku. Aku benci si Schoonhoven, dia ayahku dan telah membuangku, menyakiti ibuku. Satu kebodohan besar telah kulakukan karena memasukkan dia dalam daftar orang baik. Betapa tololnya diriku yang tak menyadari siapa dirinya, padahal jelas sekali aku mengingat mata biru safirnya yang tajam itu. Mata yang sangat mirip dengan mataku.
"Aku sudah mempercayaimu seperti bagian dari keluargaku sendiri," Nada bicaranya terdengar serius. Kukatupkan rahangku yang hendak terbuka dan meneriakkan betapa konyol kata-kata yang baru dia sampaikan kepadaku itu.
"Yang ingin kusampaikan kepadamu adalah satu hal penting. Sekali lagi kukatakan aku sudah mempercayaimu," Kata-katanya membuatku penasaran. Hal sepenting macam apa yang hendak dia katakan kepadaku, dia membicarakan kepercayaan, apakah akan kudapatkan rahasia besar darinya?
"Bisakah kau katakan dimana Rusli Mangunbrata berada sekarang?" Mataku terbelalak mendengarkan pertanyaan itu. Kak Rusli?, "Kau tumbuh bersamanya, pasti juga tahu banyak hal tentangnya. Bisakah kau katakan kepadaku?"
"Kak Rusli?" Ragu kusebut nama itu, "Untuk apa?" Tuan Schoonhoven terdiam, dia tidak langsung menjawab. Dari ekspresi wajahnya, aku tahu bahwa dia sedang berpikir, mempertimbangkan baik-buruk serta risiko yang ada jika dia berbicara. Bukankah dia bilang dia percaya padaku? Kuragukan kata-katanya tadi.
"Kami membutuhkan banyak informasi tentangnya," Dia ungkapkan juga alasan yang mendasari permintaannya, "Rusli masuk daftar orang yang kami curigai sebagai pemberontak," Detak jantungku seolah terhenti seketika. Akhirnya terbongkar juga kedok Kak Rusli. Dia baru saja melangkah tapi benteng penghalang sudah selesai dibangun oleh pihak Belanda.
"Apa kau tahu sesuatu tentangnya?"
"Tidak ada," jawabku tenang, "Saya tidak tahu dimana Kak Rusli tinggal sekarang. Tapi dia bersekolah di Stovia," Kutelan ludahku setelah kebohongan itu meluncur begitu saja dari bibirku tanpa ada sedikit pun rasa bersalah dan dosa,
"Saya juga tidak pernah tahu bahwa Kak Rusli seperti apa yang Tuan katakan. Apa itu sebuah kebenaran atau hanya dugaan anda saja?" Kini aku yang beralih bertanya, berusaha menarik hati dan mulai menguasai alur pembicaraan. Aku ingin menjadi penonton sebuah permainan menarik antara Kak Rusli dan juga Tuan Schoonhoven, dua orang yang sama-sama kubenci mulai detik ini. Jika dugaanku benar tentang maksud Kak Rusli di suratnya, bukankah aku berada di posisi yang sangat menguntungkan?
"Kecurigaan kami sangat beralasan dan kuharap kau bisa membantu Maudy,"
Kurasa ini adalah trik, dia meminta imbalan atas kebaikkannya mengizinkanku tinggal, sayangnya kejahatan yang dia lakukan lebih dari segala kebaikkannya.
"Aku tahu Kak Rusli sebagai kakakku, tidak lebih dari itu. Saya akan membantu jika bisa, tapi sayang sampai sekarang pun saya tidak tahu apapun tentang perkara ini," Kuberikan sebuah senyuman kepada Tuan Schoonhoven sebelum aku pergi meninggalkannya tanpa secuil informasi pun yang dia dapatkan dariku. Aku benci dipermainkan dan mulai hari ini, setelah kunci kugenggam maka kemudi akan kujalankan.
***