webnovel

Sigil

Aku membuka mataku dan memicingkannya, disilaukan oleh cahaya matahari pagi, mataku perlu beberapa waktu untuk membiasakan dirinya sebelum melihat ke sekitar, keadaan pagi ini kontras sekali dengan tadi malam, karena dedaunannya yang tidak hanya besar tapi juga rimbun, membuat suasananya malah terasa lebih gelap jika dibandingkan dengan tadi malam.

Aku menggosok kedua mataku, sinar-sinar mentari yang menelisik diantara dedaunan terlihat seperti tombak-tombak cahaya yang menghujam ke tanah hijau hutan ini.

Bara dan Fana masih tertidur di depanku, raut wajah mereka terlihat damai, aku jadi tidak tega untuk membangungkan mereka berdua, sebaiknya aku menyiapkan sarapan dulu sebelum membangunkan mereka.

Setelah mengeluarkan beberapa daging, aku mulai memotong salah satunya menjadi potongan-potongan kecil, setelah itu aku mengeluarkan kotak makanan milikku dan segera membangunkan Bara dan Fana.

"Selamat pagi…" Ucapku lembut sembari menepuk-nepuk badan mereka berdua.

Bara mulai membuka matanya, terdengar erangan berat keluar dari mulutnya, ia lalu membolak balikkan badannya sembari meregangkan otot di seluruh tubuhnya. Fana sedikit berbeda, ia dengan tenang membuka kedua matanya kemudian kembali menutup keduanya dan kembali masuk ke dunia mimpinya.

"Ayolah Fana, aku sudah menyiapkan makanan ini untukmu, aku sendiri yang memotongnya pagi ini, apa jangan-jangan kamu tidak suka makananku ya?"

Mendengar perkataanku yang seperti itu, Fana dengan enggan membuka matanya dan memakan makananku dengan wajah yang masih dipenuhi dengan rasa kantuk. Ia mungkin merasa bersalah, terutama setelah apa yang aku katakan barusan, tapi, disatu sisi aku juga ingin mereka memakan sarapan mereka sepagi mungkin, karena siapa tahu kami akan berjalan sejauh apa kami hari ini.

Aku juga mulai memakan sarapanku dari kotak makanan milikku.

Setelah menyelesaikan makan pagi kami, aku kembali melihat ke sekitar, suasana hutan tidak berubah banyak, keadaannya masih saja gelap dan agak lembap.

Agak membingungkan saat Hutan ini menjadi lebih terang di malam hari, dengan semua cahaya keemasannya tadi malam, sudahlah, itu tidak lagi penting, sebaiknya kami mempersiapkan diri untuk perjalanan ini.

"Sudah selesai makannya?"

Bara dan Fana mengangguk.

"Baiklah, kita akan berjalan sekarang, lebih cepat lebih baik." Ucapku sembari menyiapkan tas milikku, semua barang-barangnya sudah aku rapihkan dan ikatan-ikatannya aku kencangkan kembali.

Aku melemparkan tas coklat milikku ke atas punggung Bara, lalu memanjat menyusul tas itu. Fana meregangkan tubuhnya dan berlari-lari kecil mengitari kami, Bara sendiri sudah membesarkan badannya ke ukuran yang nyaman bagiku untuk duduk diatasnya.

Kita semua sepertinya sudah siap.

Bara mulai bergerak, aku mencoba menyeimbangkan diriku diatasnya, Fana mengikuti kami dari belakang.

Kami mulai melewati kayu-kayu besar yang kebanyakan keluar mencuat dari dalam tanah, aku asumsikan kayu-kayu itu adalah bagian akar dari pohon raksasa yang tersebar di sekitar kami. Kayu-kayu itu cukup besar hingga Bara bahkan harus memanjat naik lalu melompat turun untuk melewati beberapa akar pohon yang menghalangi jalan kami, walaupun agak menyeramkan saat Bara melakukan itu, tapi, rasanya juga cukup menyenangkan, seperti sedang bermain lompat-lompatan.

Melewati hutan yang diisi dengan pohon-pohon raksasa ini membuatku berpikir, inikah rasanya menjadi semut? Serangga kecil yang berjalan dengan cepat, namun, dunianya dikelilingi oleh tumbuhan-tumbuhan raksasa.

Rasanya pasti sangat melelahkan untuk mencari air untuk diminum atau bahan makanan, karena bentuknya yang kecil, biji tanaman yang hanya beberapa langkah bagiku rasanya begitu jauh jika aku seorang semut.

Aku jadi penasaran, jika aku seorang semut, maka adakah manusia-manusia raksasa disekitar kami? Atau bahkan diluar dari hutan ini? Rasanya jadi tidak sabar, jikalau manusia-manusia besar itu benar-benar ada, semoga mereka adalah orang-orang yang baik.

Aku menikmati perjalanan kami pagi ini, berbeda dengan angin malam yang menusuk, pagi ini kami ditemani dengan angin hangat yang mendesir diantara dedaunan di sekitar kami. Bara juga berjalan dengan lebih tenang, tidak seperti kemarin malam yang terkesan terburu-buru, dimana Ia terus berlari dengan cepat hingga Fana kehilangan jejak kami ditengah kabut hutan, suatu kesialan yang aku harap tidak akan terjadi lagi, walaupun baru bertemu sebentar, rasanya aku sudah memiliki ikatan pertemanan yang spesial dengan mereka berdua, aku tidak ingin kehilangan mereka.

Aku tidak jarang mencuri pandang kearah Fana, untuk meyakinkan bahwa dia masih mengikuti kami, sosoknya yang ramping bergerak dengan lincah melompati sela-sela kecil diantara akar dan pepohonan, seperti sedang bermain petak umpet, kadang ia menghilang dibalik pepohonan dan tiba-tiba saja muncul kembali di belakang atau di samping Bara.

Dulu itu ya, dari siang yang terik hingga senja di sore hari, aku dan Ibu berputar-putar mencari satu sama lain, mungkin itu juga yang membuatku familiar dengan wilayah di sekitar rumah kami, tanpa sadar aku menghafal tempat-tempat yang aku gunakan untuk bersembunyi dan mengingatnya bahkan setelah mereka berdua pergi jauh meninggalkanku. Apakah itu alasan ibu mengajakku memainkan permainan itu? Untuk mempersiapkan diriku jauh sebelum kepergiannya? Jika iya, maka apalagi yang ia lakukan untuk membuatku lebih siap akan kepergiannya? Aku yakin mereka dengan sengaja meninggalkan salinan buku-buku itu di kamarku juga agar aku dapat membacanya dan mempelajarinya.

Serendrum ya… sebuah kontinen besar yang dikelilingi oleh lautan disekitarnya, sebenarnya, seperti apa laut itu? Yang aku ketahui hanyalah bahwa laut itu tidak memiliki akhir dan dipenuhi dengan air yang rasanya asin, aneh bukan? Kenapa rasanya asin? Tidak ada yang tahu, setidaknya belum ada yang tahu kenapa. Selain itu, aku tahu bahwa Hutan Niri berada di perbatasan antara Kerajaan Timur dan Kerajaan Selatan, aku tidak tahu nama dari dua kerajaan itu karena tidak dituliskan didalam bukunya, isinya hanyalah salinan singkat dari tulisan-tulisan mereka, selain dua kerajaan itu, terdapat dua kerajaan lain yaitu Utara dan Barat yang sedang dalam keadaan berperang melawan satu sama lain, aku tidak tahu apakah mereka masih berperang hingga sekarang atau tidak, pengetahuan yang aku dapat dari buku-buku itu sangat mendasar jadi tidak banyak yang dapat aku kumpulkan.

Tanpa sadar aku melamunkan banyak hal tentang masa lalu, terutama saat mereka berdua masih tinggal dirumahku, ada banyak kebiasaan yang hilang dan perlahan digantikan oleh kebiasaan baruku, jika diingat lagi agak menyedihkan, karena dengan bergantinya kebiasaan hidupku bersama mereka, sosok Ibu dan Ayah yang aku kenali juga perlahan menghilang dari kebiasaan dan ingatanku, yang tersisa hanyalah kumpulan memoar yang seakan diisi oleh kabut yang hanya akan terbuka jika ada yang mengingatkanku pada memoar-memoar itu.

Lagi-lagi aku menghabiskan waktuku untuk melamun, kebiasaan yang aku lakukan saat sedang tidak melakukan apa-apa, atau saat sedang menunggu perangkap, biasanya aku memikirkan banyak hal, tentang bintang-bintang, kenapa mereka bisa bercahaya, lalu hutan yang mengelilingiku, serta binatang-binatang yang ada di dalamnya. Aku jadi penasaran tentang banyak hal, tapi, sayangnya hanya sedikit dari semua pertanyaanku yang dapat terjawab, sisanya hilang entah kemana setelah keluar dari kepala kecilku ini.

Lamunanku terpecah saat Bara tiba-tiba saja berhenti, kami telah berjalan cukup lama, matahari sudah tinggi, apakah Bara kelelahan? Tidak mungkin, dia kemarin jauh lebih aktif dari hari ini dan ia tidak terlihat terlalu kelelahan kemarin.

"Ada apa Bara?" tanyaku lembut.

Bara terlihat bingung, ia mengendus-endus sekitar, seperti menemukan sesuatu, tetapi belum yakin benar bau apa yang diciumnya ini, Fana juga menunjukkan kelakar yang sama, tidak berapa lama Bara mulai bergerak, Fana juga ikut bergerak ke arah yang sama.

Kami masih berada di hutan yang sama, bedanya sekarang terdapat lebih banyak pohon-pohon kecil, yah, jika dibandingkan dengan pohon-pohon raksasa yang mengelilingi kami, pohon-pohon biasa ini terlihat lebih kecil, selain itu, aku juga melihat jalan-jalan setapak kecil yang menandakan setidaknya kami sudah dekat dengan peradaban, atau, setidaknya itu yang aku harapkan, tidak ada salahnya juga berharap kan?

Bara terus berjalan hingga akhirnya dia berhenti di salah satu pohon kecil, Bara lalu tidak bergerak dan hanya diam ditempat.

Pandanganku masih terhalangi oleh tubuh Bara, penasaran, aku melompat turun dan melihat apa yang membuat Bara berhenti disini.

Aku tersentak mundur saat melihat sesosok tubuh kecil yang tergolek lemas dihadapanku, dia seorang anak laki-laki, umurnya sepertinya jauh lebih muda dariku.

Aku segera mendekatinya.

Matanya terbuka saat aku mendekatinya, ia hanya menatapku kosong, tidak berbicara, dan tidak bergerak.

Ia masih bernafas, walaupun lemah, aku dapat merasakannya di jari-jemariku.

Akupun mendudukkannya dan menyandarkannya ke sisi pohon.

Segera setelah itu, aku memanjat ke atas punggung Bara lalu mengambil tas coklat milikku, aku kemudian berlari kembali ke anak itu.

Aku langsung merogoh isi tasku dan mencari botol minumku, bibirnya pucat dan kering, ia sepertinya kekurangan air.

"Buka mulutmu." Ucapku lembut.

Ia tidak menjawab, mulutnya masih tertutup.

Aku lantas memegang bagian belakang kepalanya, menariknya sedikit, lalu dengan tangan lainnya aku membuka sedikit mulutnya.

"Cobalah untuk tidak bernafas saat aku menuangkan air ini kedalam mulutmu."

Dengan hati-hati aku mulai memberikan minum kepadanya, setiap teguk aku berhenti untuk memastikan bahwa ia tidak tersedak.

Setelah aku rasa cukup, aku kembali menyandarkannya ke pohon dan melepaskan peganganku. Anak yang malang, kenapa dia bisa sampai ada disini? Hutan ini memiliki kesan terpencil yang kental, mulai dari tidak adanya kehidupan serta jalan setapak kecil yang sepertinya dibuat dengan sembarangan. Apa yang anak kecil seumurannya lakukan di tempat seperti ini?

Setelah beberapa saat, ia masih tidak bergerak, namun, ia sepertinya mencoba untuk mengatakan sesuatu, suaranya parau dan sedikit tidak jelas.

"Laa…"

"La?" tanyaku.

"Par." Ucapnya lemah.

Mendengar itu aku langsung mengeluarkan salah satu kotak makananku, sayangnya makanan yang ada hanyalah daging-daging keras, aku harus menghancurkannya dulu.

"Sabar ya, aku harus menghaluskannya dulu."

Anak kecil itu tidak menjawab, ia menutup matanya dan kembali diam.

Aku memperhatikan tubuhnya sembari memotong kecil daging untuknya.

Aku tidak melihat luka-luka serius, hanya terdapat beberapa goresan di kedua lengan dan kakinya, aku dapat mengobatinya nanti setelah ia selesai makan.

Bara dan Fana memperhatikanku dengan penuh perhatian, mereka sepertinya juga ingin membantu dan khawatir dengan keadaan anak ini.

"Kalian sudah membantu banyak dengan menemukannya disini. Dia akan baik-baik saja berkat kalian." Ucapku untuk menghilangkan kekhawatiran mereka.

Beberapa saat berlalu dan aku sudah selesai menghaluskan daging untuknya, aku juga menambahkan beberapa hasil tumbukan Apsecillus, semoga ia dapat menelan makanan ini tanpa masalah dan tidak tersedak.

Aku menepuk pundaknya mencoba untuk membangunkannya.

Ia membuka matanya dengan lembut.

Tatapannya masih lemah.

"Kamu bisa menelan makanan?" Pertanyaan aneh memang, tapi, melihat keadaannya sekarang tidak ada salahnya bertanya.

Ia mengangguk pelan dan membuka mulutnya.

Aku kemudian memegang tangannya.

"Jika kamu tersedak, genggamlah tanganku erat, aku akan membantumu."

Ia kembali mengangguk.

Aku mulai menyuapinya makanan. Aku hanya memberikannya sedikit saja pada setiap suapan, aku tidak bisa terburu-buru atau aku dapat membuatnyaa tersedak, tidak lupa juga aku memberikannya minum secara berkala.

Sembari aku menyuapinya, aku juga menanyakan banyak hal mengenai keadaannya sekarang.

"Kamu tersesat?"

Ia mengangguk.

"Apakah kamu sendirian?"

Ia menggeleng.

"Dimana temanmu kalau begitu?"

Ia kembali menggeleng, tanda tidak tahu akan keberadaan mereka.

"Kalau begitu apa kamu tau jalan pulang dari sini?"

Ia menggeleng lagi. Apakah ini berarti dia tersesat sendirian atau sengaja ditinggalkan oleh temannya sendiri? Kasihan sekali.

"Kamu memiliki banyak luka goresan, aku akan mengobatinya setelah makan, obatnya akan terasa perih, jadi tahanlah sebisamu nanti."

Ia mengangguk.

"Bagus, kamu anak yang pintar dan kuat, orang tuamu pasti merindukanmu."

Ia menggeleng.

"Maksudmu?" Tanyaku bingung.

Ia lalu mengangkat tangan kirinya dan memperlihatkan bagian belakang telapak tangannya. Disana terlihat sebuah gambar yang mirip seperti bulan sabit, aku tidak mengerti maksudnya apa.

"Maaf, aku tidak mengerti itu gambar apa."

Ia hanya memberikanku senyum kecut dan menurunkan tangannya lagi.

"Kamu dapat menjelaskannya nanti, sekarang fokuslah untuk beristirahat."

Ia mengangguk pelan.

"Untuk sekarang sebaiknya kamu jangan bergerak banyak. Pikirkanlah hal-hal yang baik, itu akan menenangkanmu."

Aku lanjut menyuapinya makanan dan terus mengajaknya bicara, cukup untuk membuatnya tetap terbangun, setidaknya sampai dia menghabiskan makanannya dulu.

Secara bertahap keadannya mulai menjadi lebih baik, dan ia mulai dapat berbicara, aku lantas menanyakan banyak hal dan dari situ aku jadi tahu bahwa yang membawanya kesini adalah ayahnya sendiri, ia ditinggalkan di hutan ini sendirian setelahnya.

Dia juga memberitahuku bahwa dia berasal dari desa yang jaraknya cukup jauh dari sini, desa Han namanya, aku tidak tahu desa itu, tapi, sepertinya Bara tahu karena saat aku menanyakan nama desa itu kepada Bara, ia mengangguk.

Aku tahu benar bahwa membawanya kembali ke rumahnya merupakan sebuah keputusan yang sangat aneh, mengingat kalau ayahnya sendirilah yang membuangnya ke hutan ini, tetapi, aku juga tidak dapat membawanya ke perjalanan panjangku tanpa alasan yang jelas, belum lagi perjalananku mungkin akan dipenuhi dengan banyak bahaya, aku tidak ingin membuat anak ini terlibat dengan lebih banyak rasa sakit, ia sudah cukup menderita dengan keadaannya sekarang.

Jika ia tidak diterima di rumahnya sendiri nantinya, aku barulah akan mencarikannya rumah baru, mungkin jika ada yang mau menerimanya, jika tidak, aku pernah membaca tentang suatu tempat yang disebut dengan panti asuhan, aku dapat menitipkan dia disana, dengan begitu aku harap tetap ada yang merawatnya dengan baik.

Keadaannya terus membaik dan sekarang ia mulai dapat berdiri dan berjalan-jalan kecil.

"Jangan memaksakan dirimu dulu, duduklah lagi, simpan tenagamu itu untuk nanti."

Ia menuruti perkataanku dan kembali duduk di sebelahku.

"Terima kasih kak." ucapnya senang.

"Suaramu bagus, sayang sekali jika orang-orang tidak bisa mendengarnya."

Ia tersenyum malu.

"Kalau boleh tau, namamu siapa?" tanyaku.

"Roki."

"Roki ya, nama yang bagus."

"Kalau kakak?"

"Aira."

"Nama yang aneh."

"Begitukah menurutmu?"

"Iya."

"Hahaha, jujur sekali ya kamu."

"Ibu yang mengajarkan aku untuk jujur! Aku tidak akan melawan perkataannya."

"Kenapa begitu? Apakah kamu takut?"

"Tidak, Ibu orang yang baik, dan perkataannya selalu baik, makanya aku suka ibu, kak Aira."

"Kalau ayah?"

"Dia jahat, dia yang meninggalkanku disini."

"Ibumu tau tentang itu?"

"Sepertinya tidak, kalau ibu tau dia pasti akan langsung memarahi ayah."

"Hanya dimarahi?"

"Hmm… Mungkin kupingnya akan dijewer ibu sampai merah."

"Hahaha, mungkin sampai biru sekalian."

Senang melihatnya bisa berbicara lepas seperti ini, ia anak yang baik juga ramah, ayah macam apa yang tega membuang anak baik seperti dia.

"Ibumu pasti khawatir, kalau kamu mau, kami dapat mengantarkanmu kembali ke desamu."

"Mohon bantuannya ya kak, maaf jadi merepotkan."

"Tidak apa, tujuanku juga awalnya hanya untuk keluar dari hutan ini, dengan ini aku memiliki tujuan baru yang lebih jelas."

"Ah iya, kamu bisa memanjat pundak beruang itu?" tunjukku kepada Bara.

Roki terdiam sebentar, lalu, segera memeriksa Bara dari kepala hingga buntutnya. Anak yang penuh dengan rasa penasaran, bahkan setelah nyaris kehilangan nyawanya.

"Hmm, beruang menakutkan ini Familia kakak?"

"Familia?"

"Iya, Familia, keluarga, tapi, bukan manusia."

"Maaf, kakak tidak mengerti maksud kamu."

"Hmm, tidak apalah, aku juga tidak mengerti! Hanya saja, ibu selalu berkata bahwa mereka ini bukanlah binatang peliharaan, tapi, Familia."

"Hmm, kalau begitu, mungkin… mereka Famila-ku?"

"Begitukah? Kakak terlihat tidak yakin."

"Karena memang aku tidak yakin."

"Kakak aneh."

"Berteman dengan seekor beruang besar dan seekor rubah raksasa… sepertinya iya, aku termasuk kategori orang aneh."

"Benar kan aku! Kakak aneh!"

"Nah, sayangnya, kakak aneh ini yang membantumu. Jadi apa pilihanmu? Naik keatas punggung Beruang hitam yang dimiliki oleh kakak aneh ini… atau… hmm, mencari jalan keluar sendiri dari hutan ini?"

"Aku belum ada rencana untuk mati!" ucapnya.

Roki lalu memanjat ke atas punggung Bara.

"Nah, begitu dong! Oh iya, tangkap!" ucapku sembari melemparkan tas besar coklatku kearah Roki, masih cukup berat ternyata, walaupun beberapa daging sudah dikurangi oleh makan malam dan sarapan.

Roki yang terkejut mencoba untuk menerima tas besar itu, untungnya tas itu mendarat sebelum dapat melukai Roki.

"Yang benar saja!" ucap Roki marah.

"Ehehe, maaf maaf, tapi kamu tidak apa-apa kan?"

"Aku nyaris kenapa-napa tau!"

"Intinya kamu tidak apa-apa kan? Itu yang penting."

"Hmph!"

"Sekarang giliran kakak ya."

"Hap!"

Aku meloncat keatas punggung Bara, setidaknya itu sasaran awalku, tapi nihil, jadinya aku harus memanjat dari sisi badan Bara yang besar ini.

"Kakak pendek ya."

"Haha, tidak, Bara saja yang terlalu besar."

"Dia memang besar sih, hei, kakak tidak sopan berkata begitu!"

"Tapi kamu baru saja menyebut kakak pendek kan?"

"Tapi memang benar kakak pendek kan?"

"Sudah kakak bilang, Bara yang besar. Tunggu saja sebentar."

Aku sedang memposisikan diriku diatas Bara, mencari tempat yang nyaman, keberadaan Roki diatas sini membuat punggung Bara terasa lebih sempit, dan sepertinya Bara dapat merasakan hal yang sama. Tidak lama setelah itu, Bara membesarkan badannya lagi.

"Nah." Ucapku.

"Dia kenapa?!" Tanya Roki terkejut.

"Sudah aku bilang, Bara yang besar, bukan aku yang kecil kan?"

"Aku tau itu sekarang! Masalahnya sekarang apakah ini aman?!"

"Tenanglah, aku rasa ini aman, pengalamanku sih begitu."

"Kakak kembali terdengar tidak yakin!"

"Aku baru mengenalnya beberapa hari sih, jadi wajar saja aku tidak yakin."

"Sebentar, jadi dia bukan Familia kakak?"

"Kan sudah kakak bilang kalau kakak tidak yakin, jadi, kakak iyakan saja pertanyaanmu sebelumnya itu."

"Dasar kakak aneh!"

"Harus berapa kali kamu mengatakan hal itu? Nah, lihat, Bara sudah berhenti membesar, kita aman-aman saja kan?"

"Haah… walaupun kakak aneh, tapi, benar juga, sepertinya sudah aman."

"Ya sudahlah, setelah ini aku percayakan semuanya kepada Kakak, selama tidak aneh-aneh suruhannya."

"Kalau begitu singsingkan lengan bajumu."

"Untuk apa?"

"Luka-luka goresanmu itu, aku akan mengobatinya."

"Ah, ini ya, tidak apa kok." Ucapnya datar.

"Hmm, bukankah tadi kamu berkata kalau kamu dapat mempercayakan semuanya kepada kakak?"

"Baiklah…" Balas Roki enggan dan mulai menyingsingkan kedua lengan bajunya.

Aku kemudian mengambil dua bungkusan yang terikat dengan tasku, satu berisi kulit kering dan satunya lagi berisikan tumbukan tumbuhan Aspecillus, setelah mengambil beberapa kulit kering, aku kembali mengikat bungkusannya dengan tas milikku, tidak lupa juga aku mengeluarkan beberapa tali dari dalam tasku. Setelah semua bahannya siap, aku segera menempatkan tumbukan-tumbukan itu diatas kulit-kulit yang aku letakkan, Bara juga berjalan cukup pelan, ini membantuku untuk mempercepat prosesnya.

"Nah, sudah siap, maaf ya menunggu lama."

"Tidak apa kok Kak, ini sakit tidak?"

"Hmm, maksudmu obatnya? Tenang saja, hanya sedikit perih kok."

Roki menatapku sebentar, ia terlihat sinis, tatapan sinisnya ini juga seperti diisi rasa tidak percaya akan perkataanku barusan. Setelah beberapa saat menatapku, ia lalu menghela nafasnya dan mendekatkan tangan kanannya.

"Anak baik." Ucapku.

Aku mengambil salah satu kulit yang tadi aku letakkan di punggung bara dan dengan lembut menempelkannya di atas luka-luka goresnya. Sesaat setelah aku menempelkan obatnya, aku dapat melihat wajah Roki yang meringis pilu, melihat itu, aku dengan sigap langsung mengikat kulit itu erat.

"Maaf ya, tinggal tangan kirimu, tahan sebentar saja."

Roki mengangguk, tapi, dari raut wajahnya aku dapat melihat ia masih belum terbiasa dengan rasa perih dari Aspecillus.

Melihat Roki masih menahan sakit, aku berinsiatif untuk menarik lembut tangan kirinya, luka gores di tangan kirinya juga kurang lebih sama banyaknya dengan yang ada di tangan kanannya. Aku nanti akan menanyakan apa yang terjadi padanya selama berada sendirian di hutan ini, ia sangat beruntung Bara dan Fana dapat menemukannya duluan sebelum ia mati sendirian di hutan ini.

"Nah, kedua tanganmu sudah aku baluti dengan Aspecillus, seharusnya luka-lukamu itu akan menutup dalam beberapa hari kedepan, walaupun akan tetap meninggalkan bekas, kamu tidak apa-apa kan dengan itu?"

"Tidak apa-apa kok Kak!" ucapnya dengan nada bahagia yang diikuti dengan sebuah senyum kecut.

"Ibumu pasti bangga, kamu anak yang kuat." Ucapku lembut sembari mengelus kepala kecilnya.

Roki terlihat senang, tapi, ia juga masih terlihat risih dengan balutan Aspecillus yang ada di kedua tangannya.

"Kamu istirahat saja dulu, tidur dapat menghilangkan rasa sakitnya untuk sementara."

"Baik kak."

Anak yang penurut.

Sementara Roki berbaring dan mencoba untuk tidur, aku berbalik badan dan memandangi jalan di depan kami. Tidak ada yang baru, hanya saja jalan setapak kecil yang kami susuri ini sedikit berbeda dari sebelumnya, jalannya terlihat sedikit lebih lebar, sisanya hanya ada pepohonan dan semak belukar yang tumbuh subur di berbagai sisi. Membosankan, tidak banyak yang bisa dilihat, keheningan ini juga tidak membantu untuk menghilangkan rasa bosan.

Aku memutuskan untuk berbaring dan memandangi dedaunan, sedikit lebih menarik dari pemandangan sebelumnya, dedaunan yang bergerak serta sinar mentari yang mengintip diantaranya dapat mengalihkanku dari banyak hal.

Aku memejamkan mataku, tidak untuk tidur, aku hanya ingin menikmati suasana ini saja, goyangan di atas punggung Bara pada saat ia berjalan membuatku nyaman untuk berbaring. Aku memejamkan mataku, membayangkan kejadian tadi malam, diikuti dengan suasana damai ini, aku jadi ingin merasakannya kembali, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang bercahaya dan berbaring santai di atas pundak Bara, ah, senangnya jika bisa hidup seperti itu setiap hari.

Hari berlalu dengan cepat, terutama saat aku tidak dapat melihat cahaya Matahari. Aku sesekali membuka mataku dan melihat sekeliling, sekalian untuk memeriksa keadaan Roki dan Fana, Roki masih tertidur lelap, dia terkadang menggigau memanggil nama seseorang, sayangnya aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas, sedangkan Fana sendiri masih dengan santai mengikuti di belakang.

Kami sudah melewati wilayah baru sekarang, pohon-pohon raksasa dari hutan sebelumnya sudah tidak dapat terlihat dan mulai digantikan dengan pohon-pohon biasa yang lebih rimbun. Semoga saja sebentar lagi kami dapat keluar dari sini.

"Bara, apakah masih jauh?"

Bara mengerang. Ia sepertinya tidak suka pertanyaan seperti itu.

"Baiklah baiklah, aku tidak akan bertanya lagi."

Bara mengendus.

Aku kembali ke dalam lamunanku, meskipun hari sudah beranjak sore, aku tidak merasakan sengatan sinar matahari disini dan itu berkat rimbunnya pepohonan disekitar kami, hanya saja, hembusan anginnya kini terasa lebih panas dan lembap, aku tidak dapat lagi berbaring dengan tenang. Tidak lama, Roki juga ikut terbangun dari tidurnya.

"Selamat sore, Roki."

"Ngghh… Sore kak." Ucapnya sembari mengucek matanya.

"Bagaimana tidurmu?"

"Nyaman"

"Baguslah dan keadaanmu sekarang?"

"Sedikit lebih baikan."

"Lukamu masih sakit?"

Roki menepuk-nepuk balutannya.

"Masih, tapi, sudah berkurang."

"Syukurlah."

"Kakak belum ada istirahat?"

"Kakak sudah cukup tidur tadi malam, jangan khawatirkan kakak ya, khawatirkan dirimu dulu, keadaanmu masih belum stabil."

"Baik kak."

"Oh iya, omong-omong Kak, kita sudah sampai disini saja ya."

"Hmm? Ah, sepertinya kita memang sudah berjalan cukup jauh."

"Kakak tidak tau daerah ini?"

"Tidak, Aku tidak begitu mengenal daerah sekitar sini, bagaimana denganmu?"

"Hal-hal aneh tentang Kakak baru saja bertambah satu, aku kira awalnya kaka seorang pengembara, tapi, daerah seperti ini saja tidak tau."

"Iya iya, kakamu yang aneh ini juga ternyata bodoh."

"Ahaha, Kakak lucu juga. Kita seharusnya sudah dekat dengan jalan keluar kok, aku ingat jelas jalan ini. Bagaimana tidak, aku kan diseret dengan paksa oleh Ayahku sendiri melewati jalan setapak ini."

"Maaf, aku tidak bermaksud mengingatkan kamu dengan kejadian itu."

"Tidak apa, aku tidak akan melupakannya dalam waktu dekat juga."

"Kalau begitu, jika kamu tidak keberatan, kamu bisa membicarakannya dengan Kakak."

"Aku… bingung Kak mau mulai dari mana."

"Hmm, apa yang kamu lakukan dengan Ayahmu? Katamu dia yang menyeretmu kesini kan?"

"Dia awalnya mengajakku untuk pergi ke kota Arga, jaraknya lumayan jauh dari desa kami, aku kemudian meminta izin ke Ibu, ia mengizinkanku dan berpesan untuk berhati-hati selama di jalan."

"Ibumu tidak menghentikanmu?"

"Tidak, lagipula sudah lama aku ingin ikut Ayah menjual barang-barangnya, ia seorang pedagang yang berjualan dari kota ke kota, bawaannya banyak, barang-barangnya beragam."

"Lalu?"

"Awalnya aku senang sekali, itu kali pertamaku diajak Ayah untuk berdagang ke tempat-tempat jauh."

"Kalau sebelumnya?"

"Sebelumnya aku hanya dibawa ke desa sebelah untuk membeli beberapa barang, nantinya barang-barang itu dijual lagi oleh Ayah di kota-kota yang jauh dari desaku."

"Hmm, lalu apa yang terjadi?"

"Ayah berjualan menggunakan sebuah wagon barang yang ditarik oleh seekor kuda perkasa di depannya, aku sangat menyukai bermain dengan kuda itu, dia sangat ramah meskipun tubuhnya besar dan mengerikan."

"Sayangnya, selama perjalanan aku tidak diperbolehkan untuk menyentuh Kana."

"Kana?"

"Ah, nama kuda itu, namanya Kana."

"Nama yang bagus."

"Ibu yang memberikan nama itu, ibu memang pintar menamai berbagai hal."

"Lalu apa yang kamu lakukan? Kamu tidak bisa bermain dengan Kana kan?"

"Iya, aku jadi terpaksa duduk di belakang bersama barang-barang."

"Menyenangkan?"

"Membosankan, aku tidak dapat melakukan banyak hal. Perhatian ayah juga fokus ke jalan, aku jadi tidak dapat berbicara dengannya."

"Kamu tidak bermain dengan barang-barang yang ada?"

"Tidak, aku takut merusak barang-barang itu, aku pernah sekali merusaknya dan ayah marah besar. Ia memukulku berkali-kali hingga kulitku berubah menjadi ungu."

"Sejak itu kamu tidak berani menyentuh barang-barang itu?"

"Kalau menyentuh aku masih berani! Hanya saja aku jadi jauh lebih hati-hati."

"Ayahmu orang yang keras ya kedengarannya."

"Iya."

"Lantas apa yang membuatmu ditinggalkan di sini? Kamu ada berbuat salah selama perjalanan?"

"Tidak, aku bahkan tidak melakukan apa-apa. Pada saat kejadian itu terjadi, aku awalnya sedang tidur, tiba-tiba saja ayah membangunkanku dan menarik tanganku dengan keras."

"Aku bingung dan langsung menanyakan apakah kita sudah sampai di kota tujuan, tapi, saat aku mulai melihat ke sekeliling, aku dapat melihat rumah-rumah kayu yang sudah tua."

"Apakah itu aneh?"

"Sangat aneh! Bahkan beberapa bagian-bagian di rumah-rumah itu sudah berlobang, dan beberapa bagian lainnya memiliki rongga-rongga besar di sisi dan atap rumahnya."

"Seharusnya bagaimana?" Mengingat rumahku yang ada di dalam Hutan Niri rasanya tidak jauh berbeda dengan apa yang Roki jelaskan. Rumahku juga punya beberapa lobang kan? Ayah sih menyebutnya jendela, mungkin diluar sana jendela juga ada di atap?

"Seharusnya… jika waktu itu kami benar-benar sudah sampai di kota Arga, bangunan yang ada disana bukan bangunan yang terbuat dari kayu-kayu lapuk, tetapi, diisi dengan bangunan-bangunan besar yang terbuat dari batu-batu putih!" ucap Roki semangat sambil membuka lengannya lebar-lebar.

"Sebesar itukah?"

"Mungkin, aku juga tidak tau kak."

"Sayang sekali, mungkin nanti kamu dapat melihatnya sendiri saat sudah besar."

"Semoga! Aku jadi tidak sabar melihat ibu."

"Lalu selanjutnya bagaimana?"

"Aku meronta, aku tau itu merupakan tempat yang aneh, Ibu seringkali memperingatkanku tentang tempat yang mencurigakan seperti itu, dan untuk menjauhinya sebisa mungkin, tapi, cengkraman ayah jauh lebih kuat dan aku terpaksa diseret olehnya."

"Kamu diseret lebih dari sekali?"

"Iya, dua atau tiga kali mungkin, yang ketiga itu sewaktu Ayahku menyeretku ke dalam hutan ini lalu meninggalkanku sendirian."

"Itu alasan banyak goresan di tubuhmu?"

"Sepertinya, aku melewati banyak ranting dan batu-batu kerikil saat diseret kesini."

"Hmm, lantas, apa yang ayahmu lakukan di desa aneh itu?"

"Setelah menyeretku ke salah satu rumah disana, ia melemparku ke tengah ruangan. Saat aku melihat ke sekeliling, ada orang-orang yang menggunakan jubah hitam, ruangannya juga gelap jadi aku tidak dapat melihat wajah-wajah mereka."

"Apakah kamu terluka?"

"Tidak, tapi, yang jelas pergelangan tanganku sangat sakit saat itu."

"Orang-orang berjubah hitam itu, apa yang mereka lakukan padamu?"

"Ini." Ucap Roki sambil memperlihatkan tanda di tangan kirinya.

"Bulan sabit?"

"Iya, tanda bulan sabit, sebuah tanda pengorbanan."

"Pengorbanan untuk?"

"Aku tidak tau, yang pasti, saat tanda ini sudah muncul di tubuhku, nasibku tidak akan baik karena aku akan jadi bahan pengorbanan."

"Sampai kamu mati?"

"Seharusnya begitu, tapi, jika aku terus hidup, ada kemungkinan perjanjian yang mereka lakukan dengan Dewi Lentira akan putus."

"Dan apa yang terjadi jika perjanjian itu putus?"

"Kepadaku? Atau kepada mereka?"

"Keduanya kalau begitu."

"Aku tentunya akan baik-baik saja, lepas dari kutukan itu adalah kemungkinan terbaik untukku, dan untuk mereka, itu adalah kemungkinan terburuknya, setauku mereka akan dijatuhi hukuman oleh Dewi Lentira."

"Dewi Lentira ini… dia Dewi yang seperti apa?"

"Kakak tidak tau?"

Aku menggeleng.

"Haah… aku tidak tau apakah kakak ini benar-benar bodoh atau sedang berpura-pura bodoh."

"Mungkin keduanya."

"Dewi Lentira itu ya… dia Dewi yang memiliki kekuatan khusus di Serendrum."

"Kekuatan khusus?"

"Iya, dia memiliki kekuatan untuk menciptakan kehidupan."

"Menciptakan kehidupan? Seperti bisa menciptakan manusia?"

"Tidak, bukan manusia, tapi tumbuh-tumbuhan, juga monster-monster."

"Jadi tujuan mereka mengorbankanmu untuk?"

"Sepertinya untuk menyuburkan tanah mereka, aku tidak tau persis, aku hanya bisa menebak-nebaknya saja."

"Hmm, kalau kamu seharusnya mati, kenapa mereka tidak membunuhmu disitu saja?"

"Itu karena setelah ritual itu dilakukan, tanda bulan sabit ini tidak langsung muncul di tubuhku, perlu beberapa hari sampai tandanya benar-benar muncul, dan dalam beberapa hari itu tubuhku diikat dan mulutku disumpali dengan kain, aku tidak dapat melakukan apa-apa."

"Siapa yang melakukan itu?"

"Ayah, ia hanya melepaskan sumpalan mulutku untuk memberiku makan dan minum, setelah itu menyumpalinya kembali. Selama tiga hari aku berada di bagian belakang gerobak dan hanya bisa terbaring pasrah disana."

"Dan apa yang terjadi di hari ketiga?"

"Itu adalah hari dimana aku diseret ke dalam hutan ini, aku masih dalam keadaan terikat, tidak memiliki tenaga untuk memberontak, tubuhku lemas, saat ayah rasa ia sudah menyeretku cukup jauh ke dalam hutan, ia melepaskan ikatanku dan meninggalkanku sendirian, ia bahkan tidak berbalik untuk melihat keadaanku, aku sudah seharusnya mati sendirian di hutan ini."

"Tapi, kakak bodoh ini telah menolongmu kan?"

"Iya, begitulah, aku sangat berterima kasih dengan Kakak."

Aku dapat merasakan semilir angin hangat melewati kami.

"Kita seharusnya sudah dekat Kak."

Benar saja, diantara pepohonan di depan kami, aku dapat melihat rumput-rumput tinggi yang berbeda dengan semak belukar disekitar kami.

Setelah beberapa langkah kedepan, kami akhirnya keluar dari hutan dan langsung disapa dengan pemandangan padang rumput hijau tanpa akhir, lidahku hingga tercekat saat melihat betapa indahnya pemandangan yang ada di depanku ini. Langit biru dengan aksen oranye yang cerah, awan putih yang terlihat seperti gumpalan lembut yang mengambang di langit cerah, siluet biru berbentuk segitiga yang ada di kejauhan, angin lembut namun hangat yang hilir mudik melewati kami, serta rumput panjang nan rapi yang mengelilingi kami seakan tak memiliki ujung.

"Wah, panas sekali…" Ucap Roki.

Aku yang menggunakan pakaian cukup tebal dapat merasakan gerahnya suasana sore ini.

"Iya, sayangnya, kalau dilihat lagi tidak ada pohon rimbun setelah kita keluar dari hutan ini." Keluhku.

"Jadi bagaimana? Mau beristirahat lagi? Atau kita lanjutkan sekarang saja?" tanyaku kepada Roki.

"Lanjutkan saja Kak, aku tidak apa-apa, perjalanan kita masih sangat jauh, mungkin perlu empat hari untuk sampai ke Desa Han."

Empat hari ya, lumayan lama juga.

Sepertinya ia benar-benar dibuang jauh oleh ayahnya sendiri, tega sekali. Terlebih ia bukan hanya dibuang, tapi, juga dibiarkan mati sendirian dan kelaparan. Untung saja aku sempat menemukannya.

Aku menepuk pundak Bara dan memberitahunya untuk melanjutkan perjalanan.

Kami mulai berjalan di jalan tanah yang terlihat lebih luas dari jalan setapak kami sebelumnya, tidak lebih bagus, tapi, melihat jalan luas seperti ini membuatku merasa lebih nyaman saja, ditambah dengan lingkungan sekitar yang tidak lagi dibatasi oleh pohon-pohon, aku tidak bisa protes dengan keadaan ini.

Angin kencang yang tidak jarang menyapa kami seringkali membuat rambut panjangku tersibak dan mengenai Roki, ia tidak berkata banyak, tapi, ia sepertinya juga terganggu dengan itu, aku dapat melihat itu dari wajahnya yang cemberut setiap kali rambutku terlontar ke wajahnya.

Tidak banyak yang dapat kami bicarakan, hembusan angin yang cukup kencang seakan membawa pergi suara kami, setelah beberapa kali mencoba, baik aku maupun Roki sudah menyerah untuk mencoba berbicara.

Hari terus berjalan dan hawa panasnya hanya semakin menjadi, aku rasanya ingin menghabiskan semua air minumku saat ini juga, tapi, akan sangat sayang saja jika aku memang menghabiskannya sekarang ini, belum lagi aku tidak melihat adanya sungai ataupun danau dari tempat kami berada sekarang. Angin yang berhembus juga mulai berkurang, ya sudah, jika anginnya tidak mau berhembus lagi, kita paksa sajalah mereka untuk berhembus. Aku memberitahu Bara untuk berjalan lebih cepat, jika ia bisa, berlari juga tidak buruk.

Bara mulai mempercepat langkahnya, aku memintanya untuk bergerak sedikit lebih cepat lagi sampai aku dapat merasakan hembusan angin yang setidaknya dapat mengurangi rasa gerah yang ada.

Kami sudah berjalan cukup jauh saat matahari mulai menenggelamkan dirinya di ufuk barat, walaupun lingkungannya tidak banyak berubah, setidaknya keadaan sudah jauh lebih nyaman jika dibandingkan sebelumnya.

Ini juga kali pertamaku melihat sosok Matahari yang tenggelam di ujung Barat, biasanya aku hanya dapat melihat cahaya-cahaya oranyenya yang menembus sela-sela pepohonan, kini, aku sedang memandangi langit yang diisi oleh warna ungu, oranye, dan biru di sisi-sisinya. Sementara aku tertegun dengan apa yang aku lihat, Roki menepuk-nepuk pundakku dan mengatakan bahwa dirinya mulai lapar.

Aku melihat ke sekeliling mencoba mencari tempat yang pas untuk duduk dan makan malam, namun, sejauh mata memandang tidak ada tempat yang tepat, semuanya tampak sama, rerumputan dan lebih banyak rerumputan. Aku meminta Bara untuk berhenti lalu turun dari punggungnya yang disusul oleh lompatan Roki dibelakangku.

Aku meminta Bara untuk menepi dan mencari tempat untuk makan malam, sementara, aku meminta Fana untuk memeriksa daerah sekitar, memastikan bahwa tidak ada yang akan menyerang kami, sementara aku menyiapkan makan malam.

"Kak, aku boleh ikut Fana berkeliling tidak?" Tanya Roki.

"Kamu jangan berbicara yang aneh-aneh, kamu belum pulih benar."

"Tapi kak, lihat, aku sudah bisa berlari." Ucap Roki sembari berlari-lari kecil mengelilingi Fana.

"Iya, aku bisa melihatnya, cuma, kita tidak tau ada apa diluar sana, bahaya apa yang meringkuk bersama rerumputan, di dalam kegelapan."

"Omongan kakak mengerikan."

"Kamu takut kan?"

"Sekarang iya."

"Nah, kalau begitu bantu-bantu kakak saja bagaimana?"

"Iya…"

Roki terlihat murung, tapi, ini untuk kebaikannya juga. Hari sudah mulai gelap, aku ingin benar-benar memastikan bahwa daerah ini benar-benar aman, tentu saja selama perjalanan tadi aku tidak melihat apapun yang dapat membahayakan atau menjadi ancaman, hanya saja ceritanya berbeda saat malam hari, monster-monster yang berburu pada malam hari biasanya lebih pandai dalam bersembunyi dan mengendap-endap. Setelah Bara menemukan tempat untuk makan malam, Fana kemudian berlari menjauh dari kami, sementara aku dan Roki berjalan ke tempat Bara.

Setelah beberapa waktu menyiapkan makan malam yang dibantu oleh Roki, Fana belum juga kembali, hari sudah beranjak malam, langit sudah diisi oleh bintang-bintang dan itu membuatku cukup khawatir, apakah ia sedang menghadapi bahaya? Ada perasaan tidak enak yang menyelimutiku.

Aku yang merasa khawatir kemudian meninggalkan Roki dengan Bara untuk memakan makan malam mereka terlebih dahulu, sementara aku akan berkeliling mencari Fana, tidak lupa juga aku membawa pisau kecil jika memang aku harus bertarung nantinya.

Aku merapalkan mantra dan mengeluarkan bola cahayaku, Roki sangat antusias saat melihatnya, ia berkata bahwa ia belum pernah melihat sesuatu yang seperti itu sebelumnya, melihatnya yang tertarik dengan bola cahayaku, aku meninggalkan satu di tempat mereka, lalu membuat satu lagi untuk membantuku melihat lebih baik di dalam gelapnya malam.

Aku meningkatkan intensitas cahayaku, jarak pandangku jadi lebih luas, hanya saja, bayangan dari rerumputan-rerumputan yang ada membuat bentuk yang mengerikan, seperti banyak tangan-tangan dengan kuku-kuku panjang yang siap untuk menyergapku, tapi, sekarang mereka hanya melihatku dalam kegelapan, siap untuk menyergap saat aku lengah.

Mataku sigap untuk mencari tanda-tanda Fana, baik tubuhnya yang putih salju, atau warna merah oranye yang biasa dikeluarkannya saat ia merasa terancam seperti sebelumnya, sejauh ini aku masih belum menemukan keduanya.

Aku berjalan lebih jauh dari tempat Roki dan Bara, cukup jauh sampai-sampai aku tidak bisa melihat dengan jelas lagi bola cahaya yang aku tinggalkan di tempat mereka, aku lantas menghadap ke langit, mencari salah satu rasi bintang yang aku ketahui, melihat lagi ke arah Roki, kemudian mengingat tempat mereka berada berdasarkan rasi bintang itu, aku tidak ingin tersesat, dan tidak lucu juga jika aku tersesat saat mencari Fana yang belum aku temukan juga hingga saat ini.

Setelah yakin aku mengingat posisi Roki dengan baik, aku melanjutkan langkahku mengitari area di sekitar, seharusnya Fana tidak berjalan jauh dari tempat ini.

Semakin jauh aku melangkah semakin yakin aku bahwa Fana tidak berada di sekitar sini, pada rumput-rumput yang ada aku tidak menemukan jejak atau bekas yang menandakan bahwa mereka pernah dilewati, sedangkan, saat aku melewati rerumputannya, mereka akan terbelah menjadi dua bagian, sejauh ini aku belum menemukan jejak Fana. Firasat burukku semakin menguat, sesuatu sudah, atau sedang terjadi kepada Fana.

Aku mempercepat langkahku.

Desiran angin yang awalnya menenangkan, kini membuat jantungku berpacu dengan cepat. Aku tidak mengharapkan ini sama sekali saat meminta Fana untuk memeriksa keadaan sekitar, apa mungkin dia melihat sebuah ancaman lalu mengejarnya jauh dari sini? Itu mungkin saja, tapi kemana?

Aku terus menyeret kakiku untuk berlari lebih cepat dan lebih jauh, aku berlari dan terus berlari, pikiranku terus dipenuhi dengan bagaimana keadaan Fana sekarang.

Aku menarik pikiranku ke belakang, mengingat terakhir kali Fana bersama kami, ia berlari meninggalkan kami ke arah yang sedang aku putari sekarang.

Pikiranku terus berpacu dengan waktu, begitu juga langkah kakiku, Fana mungkin sedang dalam bahaya sekarang, bukan, mungkin dari sebelum ini, dan sekarang aku, adalah kesempatan terbaiknya sebagai bantuan untuk menolongnya.

Saat aku sedang berlari dan memperhatikan sekitar sesuatu berwarna oranye muncul dan melesat cepat dari arah kiri diriku.

Aku membenamkan kakiku di tanah, sayangnya tidak cukup untuk menghentikan lariku, aku kemudian mencondongkan badanku ke belakang untuk menghindari lesatan benda oranye tadi.

Aku berhasil menghindarinya, namun, aku sekarang terbaring diantara rerumputan, barusan itu bola api bukan? Aku dapat merasakan hawa panasnya saat benda itu melewati diriku. Untuk memastikannya aku berdiri dan memalingkan pandangku ke kanan, disana aku dapat melihat rerumputan yang sedang terbakar dan di tengahnya ada sebuah bola api yang cahayanya mulai meredup.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah kiri, di kejauhan aku dapat melihat semburat-semburat api kecil yang diluncurkan ke berbagai arah, kebanyakannya jatuh tidak terlalu jauh dari sumbernya, namun, beberapa lagi jatuh lebih jauh dari yang lainnya, dan salah satunya berada di sebelahku.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas apa atau siapa yang meluncurkan bola-bola api itu, aku hanya dapat melihat siluet-siluet buram mereka dari jauh, tapi, ada kemungkinan yang sedang bertarung disana adalah Fana dan ia sedang melawan satu atau lebih monster yang dianggapnya sebagai ancaman.

Aku langsung berlari kearah pertarungan itu terjadi, dengan menggenggam sebilah pisau, aku meyakinkan diriku untuk terus melangkah maju.

Semakin aku melangkah maju semakin aku menyadari betapa jauhnya Fana telah melangkah, aku sampai terengah-engah saat berjalan kearahnya, aku yang sudah berjalan sejauh ini hanya bisa berharap jika yang berada jauh di depanku sekarang ini adalah Fana dan bukan dua monster lain yang sedang bertarung.

Aku berjalan semakin dekat ke dua monster itu, siluet mereka menjadi semakin jelas, terutama saat monster itu meluncurkan bola-bola apinya, tidak salah lagi, itu adalah Fana, ia melesatkan bola-bola api dari ujung ekornya, sementara di sisi lainnya aku dapat melihat siluet hitam yang memiliki delapan kaki besar dan runcing, dan ia sedang melawan Fana menggunakan ekor lengkungnya dan dua capit besarnya.

Fana sepertinya sedang melawan seekor Kalajengking besar yang ukurannya hanya sedikit lebih kecil dari dirinya.

Pada saat itulah aku sadar bahwa aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk membantu Fana, pisau yang aku bawa ini bahkan tidak akan menggores cangkang Kalajengking yang tebal itu, dan kekuatanku juga tidak dapat melukai Kalajengking besar itu.

Aku mulai menjaga jarak, yang jelas, untuk sekarang aku sekarang tidak dapat melakukan banyak hal untuk membantu Fana, aku tidak boleh ceroboh, jika aku menunjukkan diriku sekarang, Fana harus melindungi diriku sambil melawan Kalajengking itu.

Aku merunduk, menjaga figurku tersembunyi dengan baik di balik rerumputan, menunggu kesempatanku untuk menyerang, atau setidaknya membantu Fana untuk menyerang dengan efektif, karena untuk sekarang, aku dapat melihat Fana sedang kesulitan untuk melawan Kalajengking itu.

Fana melontarkan bola-bola Api ke arah Kalajengking itu hanya untuk menjaga jarak agar Kalajengking itu tidak dapat mendekatinya, dengan delapan kaki besarnya, Kalajengking itu dapat bergerak dengan mudah dan cepat, membuat setiap serangannya menjadi serangan yang fatal bagi siapapun yang dihadapinya, akan sulit untuk menyerangnya jika ia terus-menerus bergerak dengan cepat dan efisien seperti ini.

Aku sekarang mengerti intensi Fana, ia akan terus membuat ruang, menunggu saat yang tepat untuk menerjang Kalajengking itu di titik lemahnya, yaitu saat ia lengah, dan itu bukanlah suatu hal yang mudah untuk dicapai saat menghadapi musuh seperti Kalajengking ini.

Aku terus mengendap-endap di sekitar mereka, mencoba untuk tidak membuat terlalu banyak suara untuk bergerak, dan juga mencoba untuk mendekati Fana.

Aku memiliki sebuah rencana, cukup riskan, tapi, layak untuk dicoba, sebelum aku dapat melancarkan ide itu, aku perlu memberitahu Fana terlebih dahulu tentang rencananya.

Kalajengking itu masih melompat kesana kemari untuk menghindari serangan bertubi-tubi dari Fana, dan itu membuat celah bagiku untuk terus merangkak mendekati Fana.

Setelah cukup lama merangkak diantara rerumputan, aku berhasil mendekati Fana, sembari mempertahankan posisiku yang tidak terlihat oleh Kalajengking itu, aku mencoba untuk berbisik kepada Fana dan mencoba untuk memberitahunya tentang rencanaku. Setelah mendengarkanku, Fana mengangguk dan aku mulai merangkak ke belakang Fana dan bersiap untuk melancarkan seranganku.

Aku mulai merapalkan mantra dan membuat sebuah bola cahaya, aku kemudian menelungkup, membuat tubuhku membungkus penuh bola cahaya itu, aku kemudian menutup mataku dan mulai menyalurkan lebih banyak energi cahaya ke bola cahaya itu, membuatnya lebih terang dan semakin terang setiap ada energi cahaya yang memasukinya.

Selagi menyalurkan energiku, aku mencoba untuk mendengarkan langkah kaki Kalajengking itu, untuk menjalankan rencana ini dengan sempurna, Fana harus mempertahankan posisinya sekarang dan membuat Kalajengking itu terus berada di sisi yang berlawanan dari tempatku sekarang.

Aku terus menambahkan energi ke bola cahaya itu, cahayanya sekarang sudah cukup terang hingga mataku yang sudah tertutup sepenuhnya ini sekarang dipenuhi dengan warna merah. Sepertinya sebentar lagi sudah siap untuk digunakan.

Aku memberi aba-aba kepada Fana, sepertinya ia telah berhasil mempertahankan posisi ini untuk waktu yang cukup lama, tinggal aku yang harus melakukan langkah selanjutnya dengan benar.

"Sekarang!" teriakku.

Aku kemudian berdiri sambil memegang tinggi-tinggi bola cahayaku, aku sendiri masih menutup mataku karena bola cahayaku yang sangat terang. Bola cahayaku ini membuka celah bagi Fana untuk menyerang Kalajengking itu, aku tidak tahu apa yang Kalajengking itu lakukan sekarang, tapi, yang jelas aku tidak dapat lagi mendengar suara kertakan dari delapan kaki besarnya itu, sepertinya rencana kami berhasil, semoga saja begitu, aku sekarang hanya dapat mengandalkan Fana untuk menghabisi Kalajengking itu. Dengan cakarnya yang kuat dan jika ditambah dengan kekuatan apinya, aku yakin Fana dapat menembus cangkang Kalajengking itu.

Aku tidak dapat melepas atau menghilangkan bola cahaya ini sebelum Fana menyentuhku dengan usapan dari kepalanya, yang menandakan bahwa ia berhasil mengalahkan Kalajengking itu dan aku sudah dapat menghilangkan bola cahaya ini.

Mataku masih tertutup, aku hanya dapat mendengar suara-suara di sekitarku, sepertinya Fana sedang berusaha untuk memecahkan cangkang tebal Kalajengking itu, aku dapat mendengar suara kertakkan dari arah Kalajengking itu yang beberapa saat setelahnya disusul dengan suara suatu benda yang jatuh ke tanah, aku tidak tahu apa itu, tapi, suaranya terdengar besar dan berat, semoga saja itu bukan Fana.

Suara-suara tadi masih berlanjut cukup lama sampai-sampai tangan kiriku yang memegang bola cahaya ini mulai pegal dan mulai goyah.

Sial! Bertahanlah sedikit lagi! Ucapku kepada diriku sendiri.

Aku kemudian menggunakan tangan kananku untuk mempertahankan posisi tangan kiriku yang membantu Fana untuk terus menyerang monster malam itu.

Suara Fana menyerang Kalajengking itu menderu-deru mengisi kegelapan malam ini.

Pertarungan yang berlangsung lama ini berakhir juga pada saat aku dapat merasakan sentuhan kepala Fana di wajahku. Aku mulai meredupkan dan menghilangkan bola cahayaku dan membuka mataku dengan perlahan.

Fana menang telak melawan Kalajengking itu.

Darah berwarna ungu dari Kalajengking itu berceceran disekitarnya, buntut panjang dengan ujung runcing itu setengahnya telah terlepas dari tubuhnya, dan cangkang bagian atas tubuhnya hancur sepenuhnya, membuat bagian dalam Kalajengking itu tidak lagi terlindungi terhadap serangan-serangan Fana berikutnya, aku bahkan tidak ingin membayangkan apa yang Fana lakukan kepada bagian dalam Kalajengking itu.

Fana sendiri dipenuhi dengan darah berwarna ungu di sekujur tubuhnya, ia terlihat sangat mengerikan malam ini.

Aku mulai melirik ke beberapa bagian tubuhku, untungnya aku hanya sedikit terkena ceceran darah itu, beberapa di sepatuku dan di celanaku.

Aku tidak dapat mengeluarkan suara, mungkin karena aku juga takut dengan Fana yang berlumuran darah, aku membalikkan badanku dan mengisyaratkan dengan tangan kepada Fana untuk mengikutiku.

Aku tidak berani untuk memutar badanku, aku tahu bahwa yang mengikutiku sekarang adalah Fana, tapi, aku juga takut dengan sosoknya yang mampu dengan mudah mencabik-cabik Kalajengking itu jika kesempatannya datang, tidak hanya kuat, tapi, Fana juga memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi. Teman atau bukan, aku tetap harus berhati-hati saat berada di sekitar Fana dan Bara.

Kakiku gemetaran saat memikirkan tentang bagaimana Fana mungkin suatu hari nanti akan menyerangku dan aku harus mempertahankan diriku dari serangannya.

Aku mengalihkan pandangaku ke langit, mencari rasi bintang yang tadi aku telah jadikan tanda, lalu berjalan kearah dimana Roki dan Bara seharusnya berada.

Jaraknya cukup jauh dan jika mengingat seberapa lelahnya aku saat menemukan tempat Fana bertarung, semoga saja aku memiliki tenaga yang cukup untuk sampai ke tempat mereka.

Aku mulai kelelahan, kakiku sudah menyerah sepenuhnya untuk melangkah maju.

Melihat keadaanku yang seperti itu, Fana sepertinya menawarkan dirinya untuk dinaiki dan membawaku ke tempat Roki dan Bara berada.

Aku ragu untuk menerima tawaran dari Fana, melihat banyaknya darah yang ada di tubuhnya.

"Aku tidak nyaman menaiki tubuhmu yang penuh dengan cairan ungu itu Fana." Ucapku jujur, semoga saja Fana tidak merasa tersinggung saat aku mengatakannya.

Fana mulai berjalan menjauhi diriku.

Percikan-percikan api kemudian mulai muncul di sekitarnya.

Sepertinya aku sudah membuatnya marah.

Sesaat kemudian seluruh tubuh Fana sudah diselimuti oleh Api yang sama seperti di dalam hutan sebelumnya.

Aku yang kesulitan untuk berdiri kemudian mencoba merangkak menjauh dari sengatan panas kobaran api yang menyelimuti Fana.

Kali ini kobarannya tidak berlangsung lama, walaupun begitu, banyak dari rerumputan disekitarnya langsung terbakar hangus menjadi abu.

Kobaran api di tubuh Fana mulai meredup dan menghilang. Begitu juga dengan darah berwarna ungu yang tadinya memenuhi sebagian besar tubuh Fana, semuanya menghilang seakan Fana tidak pernah melawan Kalajengking itu.

Fana mulai berjalan kearahku.

Aku tidak tahu harus kagum atau takut setelah melihat ia melakukan itu, tapi, sekarang ia sudah tidak lagi dipenuhi oleh darah Kalajengking itu.

Sepertinya ia bersikeras untuk membawaku di punggungya.

Aku yang tidak dapat memikirkan alasan lain untuk menolak tawaran Fana dan terpaksa mulai memanjat ke atas punggungnya, aku berpegangan kuat selama Fana berlari membawaku ke tempat Bara dan Roki, sementara aku menunjukkan jalan kepada Fana menggunakan jari tanganku.

Kami melewati rerumputan itu dengan sangat cepat, aku bahkan kesulitan untuk tetap berada di atas punggung Fana. Tidak memerlukan waktu lama bagi kami untuk mencapai tempat Bara dan Roki, untungnya saat kami sampai disana mereka berdua dalam keadaan baik-baik saja.

Fana kemudian menurunkan badannya dan aku pun turun dengan perlahan, Roki dan Bara terlihat khawatir saat melihatku dengan keadaan yang cukup lemah seperti ini, tapi, aku meyakinkan mereka bahwa aku tidak apa-apa.

Aku kemudian memakan makan malamku dengan Fana, sementara Roki yang sudah mulai mengantuk mulai terlelap di tengah-tengah kami. Aku lalu meminta Bara untuk berpatroli di sekitar kami, aku juga memberitahunya untuk tidak berjalan jauh-jauh.

Malam yang melelahkan, aku berpikir apakah ayah dan ibu juga melewati kesulitan-kesulitan seperti ini ya? Selama berhari-hari, bukan, bahkan bertahun-tahun.

Setelah selesai makan, aku langsung menyiapkan diriku untuk tidur, berbaring menghadap langit malam, dengan Fana yang berada di sampingku, aku merasa aman. Langit malam terlihat lebih indah dari biasanya malam ini.

"Selamat malam." Ucapku kepada Fana.

Ia mendekatkan moncongnya kepadaku lalu menjilat wajahku beberapa kali sebelum merebahkan dirinya di sampingku.

Menjijikkan, tapi juga lucu menurutku.

Aku mulai memejamkan mataku dan mulai bergumam kepada diriku sendiri, semoga besok merupakan hari yang lebih baik dari hari ini dan hari-hari sebelumnya.