webnovel

Langit Biru

Pagi ini aku terbangun oleh suara deritan kayu yang sangat mengganggu telingaku.

Perlahan aku mulai membuka kedua mataku, cahaya matahari pagi yang menyilaukan langsung menyambut mataku yang masih setengah sadar ini. Tanganku masih memeluk beruang hitam yang menemaniku kemarin, sebentar, jika beruang ini masih disini, lalu suara deritan kayu itu datang dari siapa?

Aku mencoba mendengarkan lagi darimana datangnya suara itu sembari berbaring diam.

Suara deritan terdengar lagi dari arah ruang tengah, ah, kemarin malam aku lupa menyebarkan bola cahaya disekitar rumahku, sepertinya ada binatang yang menyusup masuk.

Aku menepuk punggung beruang hitam yang ada disebelahku ini, ia mengerang, menolak untuk bangun dari tidurnya, ya sudahlah, biar aku yang memeriksanya sendiri.

Aku mulai berdiri dan berjalan menuju ke pintu kamarku, aku masih dapat mendengar suara deritan kayu datang dari ruang tengah, Suara langkah kakinya terdengar berat.

Setelah berada di ambang pintu kamarku, aku mengintip keluar ke arah ruang tengah. Disana aku dapat melihat sosok seekor Rubah Api yang sedang mengendus-endus berbagai sudut rumahku.

Tinggi dari Rubah ini saat ia berjalan normal seperti itu setara dengan tinggi badanku sekarang, buntutnya yang panjang dan berwarna merah sedang bergoyang-goyang, menandakan ia tertarik dengan sesuatu di dalam rumah ini. Moncong mulutnya yang panjang, bulu dan surainya yang tebal, serta motif berwarna merah yang mirip dengan api yang menjalar di tubuhnya, tidak salah lagi mahluk yang sedang mengelilingi ruang tengahku ini merupakan seekor Rubah Api dewasa.

Mereka merupakan binatang yang tergolong pasif, hanya keluar atau berkeliaran saat mereka berburu, buruan mereka juga sama seperti apa yang aku buru biasanya yaitu binatang-binatang yang lebih kecil, diluar dari fase perburuan mereka, Rubah Api merupakan binatang yang menghindari konfrontasi dan tidak bersikap agresif, hanya saja aku khawatir dengan mekanisme pertahanan mereka. Rubah Api akan mengeluarkan api dari tubuhnya, bulu-bulu berwarna merahnya akan berubah menjadi kobaran api, tergantung keadaannya, jika ia merasa bahwa ancaman yang dihadapinya harus dilawan, ia akan menggunakan kobaran apinya untuk melukai dan membakar hangus lawannya.

Aku dengan hati-hati mulai mendekati rubah itu, setelah cukup dekat , aku mulai mengelus dengan lembut punggungnya, rubah itu terkejut dan membalikkan badannya kepadaku. Aku dapat melihat percikan api mulai muncul dari kedua mata tajam Rubah Api itu, aku perlahan mundur sembari membuka kedua tanganku di udara, menandakan bahwa aku tidak memiliki senjata dan bukanlah sebuah ancaman.

Menyadari aku bukanlah sebuah ancaman, Rubah itu terlihat lebih rileks, percikan api sudah tidak dapat lagi terlihat, namun, matanya masih menatap tajam kearahku.

Tinggi rubah ini sama denganku, dari tempatku berdiri aku dapat melihat dengan jelas gigi-gigi runcing miliknya yang digunakan untuk memakan mangsanya.

Perlahan, aku mulai melangkah maju mendekati rubah itu, ia terlihat was-was, sekali lagi aku mencoba menyentuh dan mengelus dengan lembut kepala rubah itu, dirinya masih terlihat awas, namun, tidak ada tanda-tanda ancaman atau perlawanan darinya.

Setelah beberapa saat mengelus rubah itu, ia mulai terlihat lebih tenang. Aku masih mengelus Rubah Api ini saat beruang hitam yang bersamaku kemarin berjalan keluar dari kamarku.

Rubah yang awalnya tenang ini langsung melompat ke arah Beruang itu, ia lalu melompat-lompat memutarinya dengan girang.

"Kenalan mu?" Tanyaku kepada Beruang Hitam itu sembari berjalan kearahnya.

Beruang itu mengangguk, namun, ia terlihat tidak begitu senang, bebeda dengan temannya yang terlihat senang menemuinya, Rubah itu kadang berguling-guling disekitarnya sembari mengeluarkan suara yang mirip dengan tawa manusia.

"Temanmu terlihat senang tuh, kalau kalian mau bermain, sebaiknya diluar saja. Aku tidak ingin rumah kayu ini terbakar habis." Beruang itu mengangguk dan mengeluarkan suara perut yang terdengar lebih seperti erangan, Rubah itu kemudian berhenti dan membalas suara dari Beruang Hitam dengan cekikikan aneh yang mirip seperti suara anak kecil.

Aku sekarang sedang melihat dua mahluk yang sedang berbicara dalam bahasa binatang mereka masing-masing, Beruang itu mengeluarkan suara-suara perut yang terdengar dalam sedangkan Rubah itu mengeluarkan suara dengan nada yang lebih tinggi darinya.

"Hei, aku setelah ini mau mandi dan berganti baju, lalu setelah itu sarapan, hmm … aku punya cukup banyak bahan makanan di dapur, kalau kalian mau, aku bisa memasak sup kentang untuk kalian, bagaimana?" tanyaku.

Beruang itu kembali menatap Rubah Api dan berbicara dengannya, setelah beberapa saat berbicara, Beruang itu kembali menatapku dan mengangguk.

"Baiklah, kalian bermain saja diluar dulu sambil menunggu sarapan."

Aku kemudian membersihkan diriku, mengganti baju dengan gaun putih panjang yang juga merupakan peninggalan ibuku, lalu, melanjutkan langkahku ke dapur untuk memasak tiga sup kentang. Untuk pertama kalinya aku memasak sarapan sebanyak ini, selagi menunggu supnya matang, aku mengambil dan membersihkan dua mangkuk kayu sebagai tempat makanan mereka berdua.

Setelah supnya matang, aku menuangkan sup itu ke tiga mangkuk kayu yang sudah aku siapkan, satu untukku, sedangkan dua lagi untuk mereka berdua. Untuk porsinya sendiri aku sesuaikan saja, mengingat Beruang Hitam itu telah membantuku kemarin dan juga tubuhnya yang dapat berkembang lumayan besar, aku memberikan porsi lebih kepadanya, sedangkan Rubah Api itu aku berikan porsi yang sama denganku.

Aku membawa dua mangkuk kayu untuk mereka, kemudian aku membawa milikku nanti untuk makan bersama dengan mereka di halaman depan rumah.

"Makanan kalian sudah siap." Ucapku, kedua binatang itu masih bermain dan saling berpura-pura menyerang satu sama lain.

"Aku masuk dulu sebentar, makanlah, aku menyusul nanti."

Aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengambil mangkuk serta sebuah sendok kayu, lalu, kembali ke halaman rumahku dan duduk di tangga kayu yang ada di depannya. Mereka sekarang sudah berhenti bermain dan mulai menyantap sup kentang yang sudah aku siapkan tadi.

Aku juga mulai melahap sup milikku.

Pagi ini terasa jauh lebih hangat dari biasanya, mungkin karena aku ditemani dua monster di depanku ini, entah kenapa rasanya lebih ramai saja dengan keberadaan mereka berdua. Aku menikmati sarapanku pagi ini tanpa rasa kesepian, setelah menyelesaikan makanan mereka, Rubah itu kembali mengajak Beruang Hitam untuk bermain, aku yang hanya memperhatikan tingkah mereka dari jauh dan hanya dapat ikut tertawa dengan tingkah laku mereka.

Setelah lelah bermain-main, mereka kemudian beristirahat di beranda rumahku, Rubah Api sekarang sedang tertidur, sementara Beruang Hitam itu sedang berbaring disebelahku. Dengan lembut aku mengelus kepala Beruang itu, ia terlihat nyaman dengan perlakuanku padanya.

"Hei… apakah kamu tau kemana perginya kedua orang tuaku?"

Ia tidak mengangguk, tapi, juga tidak menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya terlihat ragu dan tidak nyaman saat mendengar pertanyaanku.

Aku tahu dia tahu tentang sesuatu yang berkaitan dengan kedua orangtuaku, ia mengerti bahasa manusia, di dalam hutan ini aku tidak dapat menemukan binatang, maupun monster yang memiliki kemampuan maupun pengetahuan terhadap cara manusia berbicara, ia juga dapat melakukan percakapan dengan binatang lain, keberadaannya sendiri merupakan sebuah fenomena aneh di Hutan Niri yang sudah aneh ini.

Aku beranggapan bahwa Beruang ini memiliki alasannya sendiri untuk menyembunyikan hal-hal itu dariku.

"Kau tau, sudah tujuh tahun semenjak mereka berdua pergi dari sini, selama tujuh tahun itu aku bertahan hidup sendirian sambil mencari tempat keluar dari hutan sialan ini."

Beruang itu diam, tapi, saat aku mengelus kepalanya, terkadang ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, setidaknya aku merasa ada yang mendengarkanku.

"Aku sudah mengitari daerah ini berkali-kali, aku tau aku bukanlah seseorang yang mahir dalam baik petualangan ataupun pemetaan, tapi, aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk bertahan hidup dan mencoba mencari jalan keluar dari tempat ini… tapi nyatanya? aku tidak pernah menemukan satupun petunjuk untuk mencapai hal itu."

"Belakangan keadaan hutan juga mulai menjadi semakin aneh, binatang kecil sudah semakin sulit untuk ditemui, sedangkan binatang pemburu mereka seperti serigala berkepala tiga dan kucing hutan sudah mulai berkeliaran jauh dari wilayah perburuan mereka. Haah … lambat laun kediamanku ini juga akan menjadi tempat yang jauh dari ideal untuk ditempati."

"Tidak lama lagi, begitu juga dengan rumah ini, jika aku terus berlama-lama di dalam Hutan ini, mungkin, aku juga tidak dapat menyelamatkan diriku sendiri."

Beruang itu menghela nafas panjang lalu beranjak dari tempat ia awalnya berbaring, ia kemudian meregangkan tubuhnya lalu berjalan ke tengah halaman dan mulai berdiri dengan kedua kakinya.

Ia lalu mulai membesarkan dirinya, sosoknya yang berdiri dengan dua kakinya terlihat semakin tinggi dan terus meninggi hingga setengah badannya menembus atap dedaunan dari pepohonan tinggi di Hutan Niri.

Ranting-ranting dan dahan dari atap dedaunan berjatuhan ke tanah saat Beruang Hitam itu menembusnya.

Beruang itu kemudian menunduk lalu menjulurkan tangan kirinya kearahku. Aku lantas memanjat tangan kirinya yang besar itu dan duduk di bantalan daging yang ada di tengah telapak tangannya.

Empuk juga.

Dengan perlahan ia mulai mengangkat tangan kirinya, ia mulai membawaku naik.

Aku dapat melihat dengan jelas tanah lapang halamanku yang mulai mengecil di bawah.

Aku mengalihkan pandanganku ke atas, daun-daun pepohonan terlihat semakin mendekatiku. Tangan kanan beruang itu lantas menutupi tangan kirinya, melindungiku dari gesekan dari dahan-dahan pepohonan.

Aku tidak dapat melihat apapun, kecuali dari sela-sela kuku besar beruang itu. Dalam kegelapan ini, aku dapat mendegar gesekan antara dahan dan dedaunan serta suara ranting-ranting yang patah. Beberapa lama setelah suara-suara itu saling bersahutan, dari celah kuku beruang itu, aku dapat melihat semburat cahaya matahari yang menyentuh kulit merah telapak beruang ini.

Perlahan, ia mulai mengangkat tangan kanannya, aku disambut dengan hembusan angin kencang yang menerbangkan rambutku ke segala arah, aku memicingkan mataku, matahari sedang semangat-semangatnya memancarkan cahayanya, setelah beberapa saat, aku dapat memfokuskan kembali pengelihatanku.

Di depanku sekarang terhampar lautan kanopi pepohonan berwarna hijau, aku mulai melihat ke sekeliling, tidak ada bedanya, baik disisi kiri ataupun kananku, aku hanya dapat melihat hamparan warna hijau tanpa akhir yang bertemu dengan kurvatur langit biru di ujung cakrawala.

Selagi aku menikmati pemandangan baru ini, tangan kanan beruang itu mulai bergerak dan menunjuk ke arah depan dari posisi ia menghadap, aku lantas melirik kearah matahari pagi lalu memandang kembali ke arah dimana beruang itu menunjuk.

"Ke arah Utara ya." Ucapku sembari menengadah melihat wajah besar beruang itu.

Ia mengangguk.

"Jadi mereka disana?"

Ia mengangguk, tapi, aku dapat melihat ketidakpastian pada raut wajahnya.

Aku pandangi lagi kanopi-kanopi hijau yang ada di sekitarku ini, pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya, untuk sesaat, aku tidak memikirkan tentang masalahku, aku hanya ingin duduk dan menikmati pemandangan ini, menikmati hembusan angin kencang yang menyisir setiap sela dari rambut panjangku.

Aku merebahkan diriku di bantalan daging yang empuk ini sembari memandangi langit biru, awan-awan putih yang biasanya terlihat begitu jauh sekarang rasanya aku dapat menggenggam mereka. Aku kira awan-awan itu akan terasa lebih lembut dan empuk, tapi, saat salah satu awan melewati kami, rasanya hanya terdapat embun-embun air yang menyapa dan berlalu melewati diriku. Terdapat rasa kecewa, tapi, rasanya juga menenangkan, merasakan embun-embun air yang menyentuh kulit, entahlah, rasanya menyegarkan saja.

Aku masih terbaring menikmati pemandangan langit biru, jarang-jarang aku dapat melihat langit seperti ini, biasanya pandanganku terbatas oleh kanopi dedaunan yang hanya mengizinkanku melihat langit melalui celah-celah dedaunan.

"Hei, apakah kamu mau membantuku keluar dari Hutan Niri? Melewati jalan yang sama yang telah dilalui oleh kedua orang tuaku? Setidaknya aku dapat memulai dari sana."

Beruang itu mengangguk.

Aku kira dia terikat oleh hutan ini, sepertinya tidak. Lalu apa alasannya bertahan disini selama ini? Sudahlah, itu tidak terlalu penting, yang penting adalah sebentar lagi aku dapat pergi dari tempat ini.

Terdapat perasaan lega yang menjalar di tubuhku, mungkin memang sudah terlalu lama aku berdiam di hutan ini sendirian, aku menggerakkan tanganku keatas, lalu mencoba mengenggam langit biru. Aku kemudian bangkit dari posisi tidurku, lalu menenggelamkan diriku lagi pada pemandangan hijau yang mengelilingiku, berfikir bahwa mungkin ini adalah kesempatan terakhirku untuk melihat pemandangan ini.

Aku membalikkan tubuhku, menatap dalam kearah beruang hitam yang sedang menatap jauh ke arah dimana kedua orangtuaku pernah berjalan keluar dari hutan ini. Selagi menatap wajah beruang itu, dari pundak kirinya aku menyadari ada gumpalan putih yang berjalan cepat menuju kearahku.

Ah, Rubah Api itu telah memanjat beruang ini dari bawah hingga keatas sini sepertinya, semakin dekat jaraknya denganku, semakin jelas juga wujudnya yang familiar, semakin jelas juga wujud ranting-ranting serta dedaunan yang tersangkut di tubuhnya saat menembus kanopi pepohonan.

Setelah sampai di depanku, Rubah itu langsung mengendusku dan merebahkan dirinya sembari memainkan jari-jemariku dengan mulutnya.

Aku sendiri mulai sibuk membersihkan ranting-ranting serta dedaunan dari bulu putih Rubah Api ini sembari mengelus-elus kepala dan perutnya, ia sepertinya suka diperlakukan seperti itu.

Selagi sibuk dengan rubah itu, aku mengalihkan perhatianku ke Beruang Hitam.

"Hei, semenjak kita akan berpetualang bersama, agak sulit rasanya untuk memanggilmu jika kamu tidak punya nama."

Beruang itu tidak bergeming, tatapannya masih tenggelam jauh di kejauhan.

"Hei!" teriakku.

Kepala beruang itu bergerak, ia kemudian mulai mengangkat lengan kirinya.

Sepertinya aku dapat perhatian penuhnya sekarang.

Selagi tangan kiri beruang itu bergerak, aku mencoba untuk menyeimbangkan diriku di bantalan daging itu, Rubah Api juga terbangun dan mencengkram erat bantalan daging beruang itu, aku penasaran apakah beruang itu tidak merasakan sakit?

Setelah beberapa saat bergerak, akhirnya telapak tangan kirinya berhenti disebelah mata beruang itu, aku baru menyadari, dari jarak sedekat ini bola matanya besar sekali, aku bahkan dapat melihat pantulan figurku yang kecil, mataku yang berwarna hijau, rambutku yang berwarna silver, serta tangan dan kaki mungilku.

"Aku ingin memberimu nama."

Beruang itu mengangguk, pupil matanya membesar.

"Bara."

Ia kembali mengangguk.

Ada perasaan senang saat ia menerima nama yang barusan aku berikan.

"Lalu bagaimana dengan Rubah satu ini?" ucapku sembari mengelus Rubah Api itu mencoba untuk menenangkannya, cengkramannya masih kuat tertanam di telapak tangan Bara.

Bara menghembuskan nafasnya lalu menggeram panjang, Rubah itu merespon, Bara mengangguk.

"Ah, jadi apakah ia ikut dengan kita?"

Ia mengangguk.

"Apakah aku boleh memberikannya nama?"

Kali ini Rubah Api itu yang mengangguk.

Hei, apakah dia mengerti bahasa manusia sedari awal? Atau mungkin hanya instingnya saja?

Rubah itu kini menatapku dalam, ia juga sepertinya berharap banyak dengan namanya.

"Pana."

Rubah itu terlihat tidak senang, wajahnya murung.

"Ah! Kamu tidak suka? Maafkan aku! Bagaiman dengan err… Fana?"

Raut wajah Rubah itu berubah, ia terlihat lebih senang sekarang.

"Fanaa~" ucapku lembut.

Fana terlihat lebih gembira, ia berlari mengelilingiku, terkadang wajahku terkena sapuan ekornya.

"Ahaha, sudah sudah, Bara mungkin lelah dengan posisi tangannya yang seperti ini, mari pindah ke pundaknya."

Aku mulai berdiri, Fana juga ikut berdiri disampingku.

Aku menyingsingkan gaun panjangku, bersiap untuk berlari dan melompat dari telapak tangan Bara.

Fana juga bersiap dengan kuda-kudanya.

"Satu… Dua… Tiga!" Kami mulai berlari bersama.

Aku dapat merasakan sinergi dalam langkah kami, dimana aku dapat mendengar ketukan langkah kami yang berderap secara bersamaan.

"Hap!" Aku melompat dari telapak tangan Bara.

Aku menoleh kearah kanan, Fana juga ikut melompat, figur putihnya yang besar, bulunya yang meliuk-liuk disapa angin, telinga panjangnya yang sedang turun kebelakang, serta pemandangan hutan dan langit dibelakangnya, Fana terlihat sangat memesona.

Aku kembali menatap ke depan, pundak Bara semakin mendekat.

Ditengah lompatan ini barulah aku sadar bahwa saat kamu berlari lalu melompat, maka akan tercipta sebuah momentum, dan semakin jauh loncatanku, semakin banyak pula momentum yang aku buat, dan, satu-satunya yang akan menghentikan momentum itu adalah pundak besar Bara, yang jika aku tebak akan jauh lebih keras daripada bantalan daging di telapak tangannya.

Setelah secara sadar dan secara sukarela menghempaskan diriku sendiri ke pundak Bara, aku segera meraih bulu-bulu pundak Bara yang lebat lalu mencengkramkan tanganku disana dan mulai memanjat keatas, Fana mencoba untuk membantuku naik dengan mengigit dan menarik pergelangan tangan kananku.

Gigi taringnya yang menyentuh kulitku rasanya perih sekali, meskipun begitu aku benar-benar terbantu, tangan kananku tidak perlu lagi meraih dan mencengkram, mengingat tangan kananku baru saja terluka karena perlawananku kemarin, dengan bantuan Fana aku dapat memanjat dengan lebih mudah menggunakan tangan kiri dan kedua kaki-kaki kecilku, setelah beberapa saat memanjat akhirnya aku berhasil menanjak naik keatas punggung kiri Bara.

Aku membalikkan badanku, menghadap kearah yang sama dengan tatapan Bara. Tiba-tiba aku teringat akan hempasanku yang cukup kuat tadi, aku segera memeriksa semua ikatan-ikatan ramuan penyembuhan yang ada di tubuhku, tangan kiri, tulang rusuk, di kedua kakiku, serta tangan kananku, semuanya masih merekat, beberapa sempat longgar dan ikatannya kueratkan kembali. Aku melirik tangan kananku lagi, pergelangan tanganku memerah, warnanya sangat kontras dengan kulitku yang berwarna putih susu, melihat pergelangan tanganku yang memerah, Fana mendekatiku dan mulai menjilati pergelanganku, ia sepertinya merasa bersalah atas tindakannya.

"Sudahlah, aku tidak apa-apa." Ucapku lembut sembari mengelus kepalanya.

Ia tidak menggubris ucapanku, atau mungkin ia benar-benar tidak mengerti bahasa manusia?

Pagi itu rasanya berjalan lebih cepat dari biasanya, Aku dan Fana duduk bersebelahan menikmati hembusan angin deras yang kerap menyapa kami, di kejauhan juga terkadang aku dapat melihat burung-burung yang terbang dalam kelompok mereka sendiri, aku menghabiskan pagiku menikmati semua pemandangan yang terhampar didepanku ini.