Perdebatan tentang panggilan Alesander terus saja berjalan. Bahkan, hingga mereka sampai di restoran dan duduk manis di atas kursi masing-masing, perdebatan tersebut terus saja berlangsung.
Alesander yang tidak mau dipanggil dengan sebutan Mas terus saja menolak keras. Sedangkan Ciel sendiri, dia memaksa dengan dalih bahwa panggilan 'Mas' adalah yang paling logis di sini.
"Berapa usiamu?" tanya Alesander seraya membaca daftar menu, memilih makanan apa yang akan dia makan.
"Usia Ciel? Sembilan belas tahun. Ciel kuliah semester dua, jurusan kedokteran." Jawab Ciel.
Dia tidak menyangka usia gadis di depannya sudah sembilan belas tahun. Semula, Alesander sempat berpikir jika putranya adalah seorang pedofilia yang bisa saja memacari gadis di bawah umur.
Tidak bisa dipungkiri, wajah gadis di depannya ini terlihat sangat muda. Seperti gadis remaja yang baru saja pubertas. Ditambah dengan suara dan tingkah lakunya yang sedikit kekanakan membuat Alesander berpikir demikian.
"Jadi, selisih usia kita sekitar dua puluh tahun. Dan panggilan 'Mas' tidak cocok untuk saya." kata Alesander.
Ciel mengerutkan keningnya, mengangkat tangannya dan mulai berhitung. "Jadi, Om dulu nikah muda? Nackal…" goda Ciel dengan mata memicing dan mengerling nakal.
Bibir Alesander bungkam. Dia merasa tidak memiliki alasan sedikitpun untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Karena, fokus pertemuan kali ini adalah tentang Noah, putranya. Bukan yang lain.
"Kamu sudah memilih menu apa yang akan kamu makan?" tanya Alesander.
Ciel meraih buku menu, memilihnya secara asal. "Ciel mau tomyam seafood sama es jeruk saja. Ciel sedang ingin yang segar-segar." Ucapnya.
Dia memberikan buku menu kepada pelayan yang sejak tadi menunggunya, diikuti Alesander. "Saya mau wine dan tenderloin steak kematangan medium rare." ujar Alesander.
Pelayan tersebut segera mencatatnya, kemudian meninggalkan mereka berdua.
Kembali ke percakapan mereka semula, Alesander mulai mencondongkan tubuhnya, menyatukan kedua tangannya. "Jadi, sejak kapan kamu menjalin hubungan dengan putra saya?" tanya Alesander.
Ciel kembali menghitung sebelum menjawabnya. "Sekitar satu tahun." Jawabnya.
Alesander merasa cukup lega mendengarnya. Dia sempat berpikir jika mereka cukup lama berhubungan. Mungkin sekitar dua sampai tiga tahun lamanya.
"Itu waktu yang cukup untuk mengenal putra saya." kata Alesander.
"Tentu saja, Om! Ciel tahu apa yang Noah suka dan tidak suka. Ciel tahu tentang Noah yang sangat suka berenang, tidak suka belajar dan menyetir entah itu menyetir motor ataupun mobil, lalu Noah yang tidak bisa makan pedas, dan tidak menyukai sayuran." Oceh Ciel panjang lebar.
"Sepertinya, kamu tertinggal satu hal. Ada lagi yang sangat Noah benci. Apa kamu mengetahuinya?" tanya Alesander.
Ciel berpikir sejenak. Sampai-sampai, otaknya bekerja cukup keras untuk mencoba mengingat sesuatu. "Kayaknya gak ada. Yang Ciel tahu… Noah hanya membenci sayuran dan rasa pedas. Ah, iya! Noah juga alergi bunga dan…" sesaat menyadari sesuatu, Ciel mengangkat wajahnya sejenak, menatap Alesander.
"Membenci ayahnya." Cicit Ciel, sedikit ragu.
Alesander tersenyum miring, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Jika kamu mengetahui itu, untuk apa kamu menemui saya?"
Mendadak, rasa antusiasme Ciel berubah drastis. "C-ciel… cuman ingin berkenalan dengan ayahnya Noah." Jawab Ciel.
"Sekarang kamu sudah berkenalan dengan saya, ayahnya Noah. Apa kamu sudah merasa puas?"
Ciel kembali tercekat. Dia tidak akan puas sampai rencananya berjalan sempurna. Akan tetapi, entah bagaimana bisa, aura Alesander membuatnya tidak bisa ceplas-ceplos seperti biasanya.
"I-Iya… sudah." Jawabnya ragu.
Sejujurnya, Alesander tahu ada sesuatu yang aneh. Akan tetapi, dia memilih untuk tidak menanyakannya. Alih-alih menanyakannya, dia justru memilih untuk memanfaatkan kesempatan ini.
"'Jadi begini… sejujurnya, alasan saya mau menemui kamu adalah karena saya ingin meminta tolong." Alesander sengaja mengatakannya perlahan. Dia tidak mau membuat Ciel merasa tidak nyaman.
"M-meminta tolong?" Ciel sedikit tercekat. Dia tidak menyangka bahwa Alesander membutuhkan pertolongan darinya. Niat yang semula datang untuk memanfaatkan ayah Noah, tampaknya akan berubah arah.
"Ya. Saya ingin kamu memantau Noah dan melaporkan setiap pergerakan Noah pada saya. Tidak terkecuali dengan apa yang Noah katakan." Ujar Alesander.
Ciel merasa terkejut tentunya. Seorang ayah meminta Ciel menjadi mata-mata untuk putra dia sendiri? Bagaimana bisa?!
"Om mau Ciel jadi mata-mata untuk Noah?" tanya Ciel, memastikan apa yang dia dengar sebelumnya.
Melihat Alesander menganggukkan kepalanya, Ciel terkejut bukan main. "K-kenapa, Om?! Om sama Noah lagi berantem? Diem-dieman?!"
Alesander menggeleng pelan. Sejujurnya, permasalahan antara dia dan Noah cukup rumit dan tidak akan pernah Alesander ceritakan pada Ciel.
"Ceritanya cukup rumit dan saya tidak akan memberitahu kamu. Yang saya butuhkan hanya jawaban kamu tentang apakah kamu bersedia untuk memata-matai Noah." Katanya.
Ciel yang pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu besar tidak akan menyerah untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu. "bentar-bentar… kok jadi gini ya? Ciel niatnya datengin Om Alesander buat manfaatin Om Ales, kenapa jadi Ciel yang dimanfaatin?" gumamnya dengan suara yang sengaja dia kencangkan.
Alesander yang berada persis di hadapan Ciel tentunya mendengar ucapan Ciel. Apalagi pada bagian dimana Ciel mengatakan bahwa dia berniat untuk memanfaatkannya.
"Apa saya salah dengar? Kamu berniat memanfaatkan saya?" tatapan Alesander terlihat tidak suka. Yang benar saja, seorang gadis muda seperti Ciel berniat memanfaatkannya? Lucu sekali.
Ciel langsung menutup mulutnya sendiri seolah-olah dirinya sedang terkejut. Padahal, apa yang dia katakan sepenuhnya atas dasar kesengajaan.
"Ups! Astaga Ciel… kebiasaan banget deh sukanya keceplosan!" keluhnya.
"Ciel… kamu benar-benar berniat untuk memanfaatkan saya?!" desak Alesander.
Ciel mengerucutkan bibirnya, menjawab asal. "Duh, Ciel udah gak bisa mengelak lagi ya? Kalau gini susah… bingung juga Ciel." Gumamnya. Dia merasa sangat beruntung memiliki teman seperti Nora yang kerap kali bertingkah dramatis. Alhasil, Ciel jadi bisa meniru sedikit. Rupanya, dramatis terkadang dibutuhkan juga. Salah satunya untuk hal-hal seperti saat ini.
Disisi lain, Alesander yang mulai merasa jengah hanya menghembuskan nafas kasar. Dia berdecak pelan, berujar. "Kamu benar-benar tidak akan menjawab pertanyaan saya?"
"Eh? Ciel akan jawab kok… Ciel akan kasih tahu alasan Ciel mau memanfaatkan Om Ales. Tetapi, sebelum itu Ciel ingin tahu sesuatu dulu dari Om Ales. Tentang kenapa Om Ales gak akur sama Noah?"
Alesander sekarang tahu tipu muslihat yang sedang Ciel mainkan. Rasa penasarannya yang semula memuncak, mendadak memudar. Dia menarik sudut bibirnya sendiri, menyeringai tajam. "Jika kamu berpikir bisa menjebak saya, kamu salah besar, Ciel. Saya tidak semudah itu untuk terjebak apalagi masuk ke dalam drama yang kamu buat." Sinisnya.
Ciel terkejut. Jantungnya berdentum kencang, memberi peringatan bahaya. Antara malu dan takut sudah bercampur aduk dalam benaknya. "O-Om Ales tau?"
"Tentu saja. Kamu pikir saya seceroboh itu?!"