"Dia orang yang sangat berbeda, kan, Fira?" tanya Pak Kusumo yang mendekatiku.
Pak Kusumo seakan tahu apa yang kupikirkan tentang pria yang sedang menangani Gina
Gina sadar, tapi mungkin dia masih bingung kenapa ada di sini dalam keadaan luka dan ada orang mirip suami sahabatnya sedang menolongnya.
Aku memegang tangan Gina yang tak luka dan mengangguk untuk menenangkan dia.
Aku meminta Pak Kusumo untuk bicara di luar saja. Karena aku tak bisa berkata-kata lebih banyak tentang semua keingintahuanku. Dia harus menjelaskan kenapa semia terasa berkaitan.
Saat kami di luar. Aku tak mau membuang kesempatan.
"Jadi siapa yang di dalam?" tanyaku
"Anak saya, namanya Bayu Kusumo." Pak Kusumo menjawab dengan santai.
Aku bahkan mau tertawa dengan keras, kenapa semua seperti sudah direncanakan.
"Bapak gak lagi main-main, kan?" tanyaku sambil terus saja berharap ada jalan terang di setiap pertanyaanku. "Tolong jawab aja, deh, Pak. Saya gak bisa, nih, nunggu Bapa terus."
Pak Kusumo terlihat tertwa.
"Dia dan Bayu hanya mirip setengah saja kok. Tidak denga. Kelakuannya yang mirip setan seperti Fadil. Yang jelas, Bayu bukanlah orang yang jahat dan dia tak ada kaitannya untuk membuat masalahmu dan juga kelompok pemujaan pesugihan Nyai itu, selesai."
"Saya tambah gak ngerti, Pak. Kenapa bicaranya jadi lari ke mana-mana kayak gini, ya?"
Alis pria itu berkerut dan dia kembali tersenyum miring. Beberapa saat kemudian dia berkata lagi dengan suara yang berat.
"Dia adalah orang yang akan menolongmu, suatu saat nanti. Tapi kamu harus menjalani beberapa proses untuk membuat Fadil dan orang-orang yang berkaitan dengan kasus ini, hancur lebih dulu."
Aku tak bisa menahan emosi. "Bapa mau mempermainkan saya? Kenapa harus ada orang lain yang mirip Mas Fadil di rumah ini dan dia akan menjad penolong saya? Apa hubungan dia?"
"Wajahnya mirip dan dia bisa mengelabui banyak orang di sana. Kamu jangan banyak tanya lagi. Semakin kamu banyak berpikir yang enggak-enggak, urusan ini akan semakin rumit dan tak akan selesai dengan cepat."
Aku terdiam, belum puas dengan jawabannya. Tapi setidaknya dia lebih bisa diandalkan dibanding orang-ornag yang sealama ini bermaksud menolongnya. setidaknya dia bisa membuat setan nenek-nenek itu pergi dari tubuh Gina, dan dia bahkan tak berani menyentuhku karena aku tak merasakan apapun sejak tadi.
"Saya akan berhenti bertanya sekarag. Tapi tolong katakan apa yang harus saya lakukan untuk membuat masalah ini selesai secepatnya."
"Ikut saya!" Perintah Pak Kusumo.
Dia berjalan lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang. Dia memnuntuntu berjalan ke ruangan yang tadi.
Aku sampai dan di sana suda rapih kembali. Tak ada bercak darah sedikitpun dari sana.
Pak Kusumo terlihat mengeluarkan sebuah benda persegi dari lemari kayu yang ada di dekat pintu masuk.
Dia membawanya ke arahku dan membuka benda itu. Ternyata isinya adalah sebuah foto.
Aku menelan ludah melihat judul dari album tersebut.
"Persatuan para anak Nyai Tirah. Dia yang masuk, dia yang melayani sampai mati."
Aku tak tahu dari mana harus memulai tapi melihat judul ya itu, membuatku ketakutan setengah mati.
"Ini cukup membuktikan kalau saya sejak tadi memanggilnya Nyai, bukan?" Tanya Pak Kusumo.
Aku mengangguk tak tahu harus bersikap seperti apa.
Pak Kusumo mendorong album foto itu agar mendekat kepadaku.
"Bisa dilihat, isinya jika kamu penasaran apa yang melatarbelakangi kenapa kamu dihantui sampai seperti ini."
Aku dengab tubuh yang terasa lebih dingin dari sebelumnya, memberanikan diri membuka album foto tersebut.
Halaman pertama adalah gambar seorang wanita cantik yang memakai kebaya serta rambutnya yang digerai. Dia tersenyum manis menatap ke arah kamera.
Foto ini tercetak hitam putih, jadi aku tak tahu kapan ini diambil
"Kapan tepatnya foto ini diambil?" Tanyaku.
Pak Kusumo tak menjawab, dia sibuk dengan dunianya sendiri dengan menatap ponsel dan tak menghiraukan ku.
Aku menarik napas, dan menyimpan pertanyaanku dulu, terlalu dini mungkin saat aku menanyakan ya. Lebih baik memahami dulu apa isi dari album ini meskipun aku harus membukanya lagi perlahan dari halaman awal.
Aku menyusuri siluet orang-orang yang terlihat sangat serius. Ada yang terang-terangan menatap kamera, tapi ada juga yang terlihat menatap ke arah lain, di mana itu hanya sebuah kursi kosong.
Kalau dari bentuknya mirip sekali kursi goyang. Aku merasakan bulu kuduk merinding, entah apa yang membuatku sampai begini, tetapi sepertinya tiupan angin terasa menerpa belakang leherku.
Orang -orang di dalam foto nampak duduk berjajar dengan ekspresi yang terlihat tegang. Ya, aku tahu, jaman dulu, orang-orang memang terlihat akan serius memandang kamera, tetali sekarang bukan terlihat serius, melainkan tegang.
Layaknya orang yang sedang disuruh dan tertekan. Terlalu banyak pertanyaan yang aku simpan dan kini aku hanya bisa diam dan terus menelusuri yang ingin kubongkar.
Lembar demi lembar terasa semakin biasa saja. Hanya orang-orang yang tak kukenal hingga aku bisa melihat dua sosok yang sangat familiar dan mungkin juga Pak Kusumo mau memberitahuku lewat gambar tersebut.
Aku menatap ke arah Pak Kusumo yang ternyata sedang menatap ke arahku dengan sunggingan senyum yang mencurigakan tapi dari situ justru aku sudah yakin dia tahu apa yang ingin aku tanyakan.
"Saya kenal dengan dua orang ini."
Pak Kusumo mengangguk dan dia berdiri, lalu berjalan ke arahku dan melihat foto siapa yang aku tunjuk.
"Putri Hasanah." Pak Kusumo memberikan nama Bu Putri dan menunjuk orang yang kumakud. Kemudian tangannya beralih dan dia menunjuk ke orang yang ada di samping foto Bu Putri.
"Ini Bayu." Dia menunjuk ke arah pria yang berdiri berdekatan bahkan memegang tangan anak gadisnya itu.
Aku meletakkan album itu ke atas meja, dan aku berniat untuk bangkit dari kursi.
"Saya gak ngerti harus bertanya yang mana dulu, Pak. Tapi satu hal yang mau saya tahu, apakah Bapak juga ada dalam lingkungan foto itu? Atau minimal Bapa bisa beritahu apa yang membuat anak Bapa saja bisa sangat mirip dengan Mas Fadil. Atau bapa sudah mengenal semuanya, sudah tahu apa yang saya cari dan sekarang bapa pura-pura?" tanyaku.
"Kamu sudah melewati batas, Fira. Kenapa kamu malah menuduh saya? Apa untungnya bagi saya jika tahu kamu adalah calon tumbal yang mereka cari? Saya sudah kaya, saya tak perlu harta."
Aku hanya bisa diam, merasa malu karena malah terpancing emosi yang sejak tadi menguasai ku entah kenapa aku jadi orang yang menuduh banyak orang di sekitarku.
"Maaf, tapi bisakah saya dapat pencerahan?"
Pak Kusumo memang tak menampakkan raut kesalnya dia tetap tenang wajahnya dan dia kembali tersenyum kepadaku.
"Putri dan Bayu dari dulu hingga detik ini, menjadi penerus dari kelompok ini. Ya, masih ada yang menyebar di berbagai daerah, tapi hanya mereka yaang bisa menyenangkan Nyai dengan selalu memberikan tumbal, tetapi kamu yang sudah ditunjuk malah melarikan diri. Sekarang teruslah berlari, kamu bisa minta bantuan ke saya."