webnovel

16

Aku sudah duduk manis di dalam mobilku. Ibam yang membawanya kali ini karna aku perempuan dan tidak mempunyai lisensi mengemudi. Aku berdandan dari kepala sampai kaki dengan jaket perpita Lanvin merah dan rok bervolume juga Lanvin merah bertali-pengikat di pergelangan kaki untuk sepatu. Aku sebenarnya tidak ingin menggunakannya sampai bulan depan tapi tas Lanvin kulit-paten merahku sangat menggoda malam ini jadi apa boleh buat.

Sekarang hampir setengah delapan dan kami masih 10 km lagi dari restaurant, ponselku sudah bernyanyi sedari tadi dan ponsel Ibam, dia silent agar bisa dia jadikan alasan tak mendengarnya.

Aku akhirnya mengangkat telefonku, "Iya Sa, ini bentar lagi sampai."

"Nessa, gawat. Ibam ga bisa dihubungin, lo yang telfon coba, jangan-jangan dia ga mau dateng lagi, jangan-jangan dia kerja lagi, atau dia lupa, gimana dong? Mikir ness cepett!" teriak Rosa dari ujung sana, aku hanya tersenyum mendengar dugaan-dugaan yang dilontarkan Rosa pada tersangka yang sedang menyetir disebelahku.

"Dateng ko dia Sa, dateng. Udah ya, udah di parkiran nih gua." aku memutuskan telefonnya lebih dulu tanpa mendengarkan kelanjutan si perbicara di seberang sana.

Aku masuk, bersama Ibam yang berjalan di sebelahku. Gugup! Apa kata mereka nanti, aku melewati kaca besar dan tanpa sengaja melihat diriku disana bersama Ibam, serasi sekali ternyata. Setelah kami menemukan dimana mereka berdua, Ibam berjalan duluan menghampiri mereka. "Sorry sorry telat." ucapnya.

Dan akupun muncul, si Aktris yang sedang bermain drama. "Sorry ya, udah lama nunggunya yaaa, mian." Ucapku seraya duduk di kursiku.

"Tadi Nessa mandinya lama, jadi telat deh." ucap Ibam membela dirinya dan menyalahkanku.

"Eh, dia tuh yang tidurnya lama, bukan gua. Mandi gua wajar ko, ga lama." Bela ku.

"Setengah jam itu lama kali," ucapnya mencibir.

"Kalian berdua bareng??" tanya Lista yang sedikit terkaget terdengar dari nada bertanya nya. Aku dan Ibam asik berdebat soal siapa yang salah tanpa memperdulikan dua orang tak tau apa-apa di depan kami.

"Iya, tadi sore gua numpang tidur dirumahnya. Sekalian aja bareng kesininya." jelas Ibam pada mereka.

"WHAT?" teriak Lista.

"Ga usaah teriak Ta, numpang tidur doang dia." jelasku.

"Lo berdua balikan?" Lista menuduh.

"Iya." jawab Ibam, "Ngaco." jawabku. Secara bersama-sama.

"Yang mana yang bener nih?" tuntut Lista.

"Ngaco, engga ko engga, ngarang tuh dia." jawabku. Gila apa dia, kapan balikannya coba.

"Haha, iya ngarang gua." ucapnya.

Makan malam ini berubah menjadi canggung, sangat canggung. Aku tiba-tiba saja jadi buronan tatapan sinis dari Lista karna katanya aku salah bicara. Apa yang salah, memang benar aku dan Ibam gak balikan, emang sih dia udah menciumku, tapikan bukan berarti balikan. Harus jelas.

"Ness, katanya ada yang mau lo sampein ke kita, apaan?" tanya Rosa.

"Ha, gaada ah. Nyampein apa?" mata Rosa sudah tidak jelas bentuknya, dia mencoba memberiku kode, tapi apa? Aku tidak ingat ada ini di skenario.. "Oh iya, ada ada. Minggu depan gua balik ke Paris."

"Ha? Mau ngapain Ness?" kenapa-dia-biasa-aja. mulut Lista berkata tanpa suara.

Udah-tau-dia-nya-tadi-udah-gua-kasih-tau. Jawabku dengan cara yang sama. "Ada yang perlu diambil disana, penting."

"Yaudah hati-hati ya," senyum Rosa merekah saat mengatakannya.

"Iya, jangan lama-lama ya." kini Lista berkata dengan ekspresi yang sedikit lebih tenang sekarang.

"Siap pak!"

Makan malam kali ini berjalan selayaknya makan malam pada umumnya, ga ada adegan pergi gitu aja. Ibam mengantarku pulang, well karna dia menggunakan mobilku, yah, jadinya diantar sampe rumah. Jalan malam ini ramai sekali, lampu-lampu kendaraan di luar sana mewarnai Jakarta menjadi lebih indah. Aku tak berkedip memandangi jalanan, titik-titik hujan jatuh di kaca depan mobil, orang-orang kini berhamburan menghindari hujan yang lambat laun semakin deras.

Motor-motor berhenti di pertokoan, beberapa memakai jas hujan mereka dan kembali melanjutkan perjalanannya, ada juga yang tetap diam menunggu hujannya reda.

"Bam, berhenti bentar deh, disitu tuh di taman." Kataku padanya, membuatnya mencari taman yang aku maksud dan memberhentikan mobil.

Aku melepaskan sepatuku, menggambil sendal yang aku simpan di belakang, memakainya, dan keluar menuju taman. Pintu mobil kubiarkan terbuka, aku melihatnya di dalam sana tersenyum. Dia tak berteriak, menghentikanku, ataupun melakukan hal-hal lain agar aku kembali ke mobil. Begitu bahagianya, memori masa lalu ku terputar kembali di kepalaku. Perasaan yang sama di waktu dan tempat yang berbeda.

Semakin lama, tubuhku benar-benar basah kuyup sekarang, angin berhembus melewatiku, hujan semakin deras turun. Indah sekali, tak pernah sekalipun aku bisa main hujan-hujanan seperti ini di Paris. Hujan di Paris terlalu dingiin, haha.

"Ibam, kamu ga ikutan?" teriakku pada pria yang sedang memperhatikanku sambil tersenyum dari dalam mobil. Dia hanya melambaikan tangannya, pertanda dia tidak ingin ikut. Yasudah, aku iklas menikmati ini semua sendirian.

Aku berjalan lebih jauh lagi, menyusuri taman yang tadinya ramai kini sudah sunyi sepi, yang ada hanya suaraku yang sedang bernyanyi. Aku merentangkan tanganku, menikmati tiap tetes hujan diseluruh tubuhku, memejamkan mataku, mengulang semua masa-masa indah dulu.

Jullian ada disana, di semua masa terbaik diriku, di semua moment di hidupku dulu. Dia alasanku bangun pagi-pagi dan berangkat sekolah, dia alasanku menjadi ketua kelas, dia alasanku ikut kegiatan mading sekolah, dia alasanku pergi kekantin sekolah setiap pagi, dia alasanku melewati gedung RPL setiap hari, dia alasanku berada di parkiran sekolah setiap pulang sekolah, dia alasanku tetap berada di sekolah dan memperhatikan murid-murid berlatih taekwondo setiap hari jum'at, dia alasanku pergi ke QB untuk praktik kerja industri, dia alasanku menulis, dia alasanku tersenyum, dia alasanku tertawa, dia alasanku menangis, dia alasanku menyakiti Ibam, dia alasanku pergi ke Paris.

"Udah yuk, udah sejam kamu mainnnya." suara Ibam, dia menghampiriku membawa sebuah payung, payung milikku yang kusimpan di bagasi belakang. "Lain kali lagi, udah malem juga." benar juga, ini sudah setengah sebelas malam.

Ibam menarik tanganku, membawaku bersamanya menuju mobil. Tangannya hangat, tak pernah berubah. "Bam, aku masih sayang sama kamu.".

Dia berhenti, menoleh padaku dan tersenyum "Aku tau."

"Aku ngaku salah, ninggalin kamu."

"Iya, aku ngerti."

"Aku gak mau kehilangan kamu."

"Iya,"

"Kamu ngerasain hal yang sama juga kan?" Dia hanya tersenyum, lalu mencium keningku, tertahan cukup lama disana.

Jullian memang jadi satu-satunya yang terus teringat di dalam pikiranku, dia memiliki peran penting didiriku, tapi Ibam, dia jauh lebih penting dari segalanya. Dia alasanku untuk hidup kembali, karna dia aku kembali tersenyum, aku kembali tertawa, melupakan rasa sakit yang Jullian berikan, membuatku merasa nyaman, membuatku terbiasa dengan dirinya, dengan rasa sayangnya, dengan cintanya, perhatiannya, segalanya.

Ibam melepaskan ciumannya, menatapku lekat-lekat. Aku menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku, jemariku menyentuh matanya, turun ke hidungnya, jemariku gemetar, malam ini terasa dingin sekali, kuberanikan diriku mencium pipinya. Air mataku terjatuh, aku memeluknya, sangat erat seperti tak ingin lagi melepasnya. "Maafin aku ya.".

"Iya, iya. Jangan nangis." jawabnya.

"Tapi aku dimaafin kan?"

"Iya, tapi jangan nangis." matanya menatap lembut diriku, tangannya menghapus air mataku. "Udahan ya, pulang sekarang.".

"Iya."