webnovel

Dikerjai Semesta

Semesta memang kadang sebercanda itu. Menarik diri secara paksa menuju klimaks tanpa jeda, hingga merubah diri menjadi orang yang berbeda. Maksudnya?

Futari_Sakazaki · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
7 Chs

Dua

Banyak hal yang terjadi padaku hari ini, sampai-sampai membuatku tak berselera untuk makan. Makin diingat makin memusingkan. Pikiranku masih saja berputar pada beberapa ekstrakulikuler Candradimuka yang wajib diikuti, dan entah pada akhirnya aku akan mengikuti yang mana. Hal lain terjadi berupa banyaknya penghuni sekolah yang begitu antusias mengajakku berkenalan, tak ayal mereka begitu sok akrab padaku. Pikiran yang berantakan, dan kebisingan di setiap tempat yang kupijak, membuat sepiring nasi dan ayam geprek kubiarkan menganggur di hadapanku.

"Halo, kamu murid baru kan?"

"Kenalin, aku Maya!"

"Aku Sheren."

"Aku Puspita."

Aku tersenyum kecut membalas perkenalan mereka. "Oh, hai."

Sapaan dan perkenalan dari segerombolan siswi yang belum pernah kutemui sebelumnya, sejatinya tak kupedulikan saat ini juga. Aku hanya mengangguk, agar kejadian yang kelima hari ini berulang, segera berakhir supaya hidupku tenang. Namun mana mungkin, aku mengusir mereka serta-merta berdalih karena sumpek, atau sekadar ingin makan. Antusias dari para wajah asing yang sepertinya berbeda kelas dariku, membuatku jadi tak tega untuk mengusirnya, dan berpikiran apakah beritanya seheboh ini, tiap kali ada murid baru?

"Boleh kami ikutan duduk di sini?" ujar salah satu dari mereka kemudian.

Sial, aku tak bisa membayangkan jika keributan di mejaku bertambah karena ada mereka. Sejak tadi pun, aku merasa tak nyaman dengan keberadaan Ray yang selalu menguntit. Bagaimana jadinya, kalau segerombolan siswi ini juga menguntit keberadaanku?

Brak

Bunyi meja digebrak itu, membuyarkan lamunan serta kebisingan yang diciptakan oleh segerombolan siswi itu. Gebrakan tersebut berasal dari Ray.

"Bisa kalian ngga ganggu acara makan siang kami?" Ujaran ketus Ray untuk mengusir mereka, terdengar berbeda pada saat ia selalu menggodaku. Namun tatapan tajam yang sepertinya menjadi ikoniknya, tetap menyertai darinya.

Benar saja, tak lama kemudian, mereka beranjak dari mejaku. Berkatnya, aku bisa bernapas lega. Namun, sejenak biar kupikir lagi. Ray ini keterlaluan! "Lo ngga seharusnya mengusir mereka."

"Apakah gue harus tetap membiarkan lo dengan rasa ketidaknyamanan lo, tiap didatangi segerombolan murid seperti tadi?" Kini ujaran ketusnya tertuju padaku. Hatiku jadi menciut dibuatnya.

Aku memang tak menyukai keramaian. Atau mungkin justru, tak menyukai keberadaan orang banyak yang sok akrab. Hal ini biasanya membuatku merasa takut, dan jadi terbayang dengan trauma di masa laluku. Trauma berkepanjangan yang terus berulang. Trauma yang seharusnya disembuhkan, dan dihindari dengan penolakan. Namun, aku tak mungkin setega itu untuk menolak kedatangan orang-orang. Jadinya, trauma itu terus kurasa berulang di sekolah lamaku. Dan aku tentu saja tidak mau ini terjadi kembali.

Bukannya aku memang tak nyaman dengan kedatangan orang yang sok akrab? Dan bukannya kedatangan Ray sama seperti mereka yang sok akrab? Meski tak merasa nyaman, entah mengapa di dalam hati kecilku mengatakan bahwa, jangan tolak kedatangannya. Ah, sial. Hari ini, semua yang terjadi benar-benar kacau.

Beberapa saat kami sibuk dengan makanan masing-masing. Aku dengan ayam geprek yang ternyata begitu pedas, dan Ray dengan menu makananku tempo hari-mie ayam bakso. Segelas es teh serta sebotol air mineralku, hampir tandas tak tersisa. Namun rasa pedas nan panas yang membakar lidah dan bibirku, masih saja menyeruak. Aku jadi gelisah, tak mungkin aku kembali ke salah satu kedai untuk membeli minuman. Bisa-bisa aku diklaim serakah oleh orang yang menonton, karena tak puas dengan dua minuman yang ku pilih barusan. Namun, makin ditahan, rasanya makin terbakar.

Ku lihat Ray sekilas melirikku beberapa kali, hingga akhirnya ia bangkit meninggalkanku menuju salah satu kedai kantin. Sepersekian detik ia kembali, dengan membawa sekaleng susu putih bermerek beruang, lalu menggesernya mendekat ke arahku. Tak lama, ia duduk kembali di kursi yang berhadapan denganku. Ku tatap wajahnya penuh dengan pertanyaan, apakah minuman ini dia beli untuk aku?

"Minum. Gue ngga mau lo tersiksa dan mati konyol karena kepedasan," Ray beralih meneguk es jeruknya kemudian. Dan ia kembali menatapku, saat beberapa lama aku tak meraih pemberian darinya. "Lo benar-benar mau mati kepedasan, Bellva? Cepat minum."

Dengan sedikit keraguan, akhirnya aku meraih susu bermerek beruang tersebut. Rasa dinginnya dalam sekali teguk, memang membuat lidahku yang panas menjadi sedikit nyaman kembali. Namun efek itu tak bertahan lama, meski ku tahu nantinya rasa pedas ini berangsur memulih. Ah, tidak lagi-lagi, kubeli ayam geprek ini! Gila apa? Mau menjual makanan, atau mau membunuh orang?

"Makasih," ujarku ragu setelah sekian lama ucapan ini mengganjal di tenggorokan.

Kulihat tatapan Ray yang tajam itu, kembali menusuk mataku, tak lupa disertai seringai di bibirnya. "Gepreknya pak Somad memang terkenal pedas mampus di sini. Hanya orang-orang berilmu level tinggi, yang mampu menaklukannya. Jadi, mending lain kali, lo pilih makan ayam goreng, dikasih kecap."

"Heh, emangnya gue bocah?"

"Lagian, kalau bukan bocah, lo mampu habisin gepreknya tanpa kepedasan, dong?" Ray menjulurkan lidahnya meledek.

Aku mengerucutkan bibir. "Lo bilang, hanya orang berilmu tinggi yang ngga kepedasan. Ya udah, gue yang kepedasan, tandanya bukan orang berilmu tinggi."

Ray terbahak cukup lama. Deretan gigi rapi yang terlihat dengan mata tertutup saat terpingkal tersebut, entah mengapa menambah kesan tampannya bertambah. Bodohnya, aku sempat berpikiran lagi, orang setampan dia, apakah tidak memiliki teman? Bahkan, dia terlalu baik, jika dilewatkan menjadi seorang teman.

Ray akhirnya berhenti tertawa, saat dirinya tersedak salivanya sendiri. Haha, rasakan! Sesaat kemudian, ia meraih gelasnya kembali dan meminum es jeruknya hingga tandas, lalu beralih menatapku lagi. "Kalau lo ngga nyaman dengan segerombolan orang sok akrab, lo ngga harus membiarkan mereka, karena lo ngga enak hati buat mengusirnya."

Kutatap wajahnya sejenak. Ku lihat, ia membuang muka di akhir kalimat. "Kenapa lo bisa tahu gue ngga nyaman?"

"Mungkin karena... Gue termasuk orang yang sama seperti lo," Ray menggaruk tengkuknya, dengan pandangan mata yang terus berubah arah detik perdetik.

Aku mengembuskan napas. Tak kusangka, jawaban atas pertanyaanku tentang Ray yang menyendiri adalah alasan yang sama sepertiku. Kami adalah orang yang kurang nyaman, saat berada di situasi keramaian, terlebih lagi dengan adanya orang yang datang sok akrab.

"Kalau lo ngga nyaman sama gue, juga boleh menolak keberadaan gue, kok," Ray kembali berucap. Kali ini kupastikan ucapannya sedikit ragu. Aku merasa bahwa ucapannya tersebut, tidak sinkron dengan keinginan di dalam hatinya.

Apakah Ray ingin dekat denganku?

Ku jadi melamun lagi, sembari menatapi tiap lekukan wajah lelaki ini. Tatapan tajam yang biasanya sekaligus tergambar, kini kudapati menjadi tatapan penuh gelisah dan keraguan. Aku jadi menerka terlalu jauh, apakah Ray juga memiliki masa lalu yang sama sepertiku? Atau justru, lebih parah dariku?

"Bellva, atas apa yang kamu sampaikan kemarin sore, Bapak bisa menemukanmu dengan ketua ekstrakulikuler jurnalistik hari ini," entah datangnya dari mana, dan entah mengapa kini pak Joseph menjadi sosok yang selalu membuyarkan lamunanku.

Kualihkan pandangan ke beliau. Pria plontos itu, memberikan selembar formulir pendaftaran untuk calon anggota ekstrakulikuler jurnalistik.

"Dia sedang menunggumu di perpustakaan, karena mereka habis rapat di sana. Sebaiknya, kamu ke sana untuk menyerahkan formulir pendaftaraan ini, dan bisa menanyakan banyak hal padanya," pak Joseph kembali berceloteh.

"Dia?" aku mengerutkan kening.

"Hendry, ketua ekstrakulikuler jurnalistik. Segera temui dia, sebelum mereka sibuk mengurus mading hari ini."

Tak lama setelah itu, pak Joseph menghilang dari hadapanku, menuju ke salah satu meja berisi segerombolan guru. Kutatap sejenak formulir yang diberikan oleh beliau ini. Pikiran kembali berkecamuk tentang ekstrakulikuler peminatan, karena aku masih setengah hati memilih menjadi anggota jurnalis sekolah. Namun kembali kuingat lagi, apa alasan kemarin sore menghubungi pak Joseph, untuk memilih ekstrakulikuler ini. Dan alasan tersebut tergambar di pikiranku, yaitu berupa sosok ketua ekstrakulikuler jurnalistik yang penuh karisma dan wibawanya.

Setelah hanyut dalam lamunan yang menjadi sedikit indah karena bayangan Hendry (tentu saja ku tahu namanya barusan dari pak Joseph), kualihkan pandanganku kepada Ray lagi yang tengah asyik bergelut dengan ponselnya. Aku jadi penasaran, orang semacam Ray yang tak senang keramaian ini, memilih ekstrakulikuler apa yang diminati?

"Gue ikut e-sport dan desain grafis, hal simpel yang membuat gue ngga harus bertemu banyak orang."

Belum sempat kutanya, Ray sudah menjawab apa yang pikiranku tanyakan. Dan sebentar. Apa? E-sport dan desain grafis, dia bilang hal simpel, katanya? Oke, aku tahu dia sedang menyombongkan diri saat ini. Jadi, ku balas saja kesombongannya dengan menganggukkan kepala.

"Memangnya, boleh pilih dua peminatan?"

"Asal lo bisa membagi waktu," Ray memasukkan ponselnya ke dalam saku bajunya, lalu mengangguk. "Sana ke perpus, gue mau kumpul e-sport dulu, besok ada turnamen."

Aku hanya mengangguk, dan ia bangkit dari tempat duduknya. Belum sempat Ray melangkahkan kaki, ia kembali menatapku.

"Kalau ngga nyaman sama kerumunan, jangan segan-segan menolaknya," setelah mengatakan itu, Ray benar-benar melangkah pergi dari hadapanku.

Kantin ini menyuguhkan peristiwa sedikit aneh. Daritadi satu hari di sekolahku yang baru ini, benar-benar terasa lama. Atau memang benar lama, karena istirahatnya satu jam? Sayangnya, berada di rumah maupun di sekolah tidak ada bedanya.

Aku bangkit dan memutuskan untuk segera mencari ruang perpustakaan. Dengan ingatan yang tajam, aku bisa sampai di ruangan ini, setelah bergelut dengan lamunan untuk mengingat arahan pak Joseph tempo hari, soal sudut demi sudut ruangan di Candradimuka. Kutatap lagi formulir pendaftaran ini, rasanya aku masih saja setengah hati. Dan berpikiran, apa tidak apa-apa, aku memilih ini karena ingin dekat dengan ketuanya yang tampan dan berkarisma?

"Hai," sapaan dari seorang lelaki, lagi-lagi membuyarkan lamunanku.

Matanya yang hitam, rambutnya yang lurus dan terlihat halus, membuat napasku tersendat. Dari dekat, bisa ku lihat bahwa ia adalah sosok yang benar-benar berwibawa, dan sanggup menggetarkan hati seorang wanita.

Aku masih tak berkutik melihat matanya yang indah, dan ah, senyumnya yang tak menampakkan giginya. Sejenak ku pikir, mungkin ada cabai yang menyempil di sana. Bodoh, mengapa lamunan indahku berubah menjadi konyol begini? Sial!

Gila, aku bisa gila jika terus berlama-lama bersama dengannya. Karena masih saja ada orang dengan mata yang tajam seperti menusuk namun menenangkan, tidak seperti Ray yang tatapan sayunya namun juga tajam dan terkadang membuatku tak nyaman.

"Oh, halo..." ku balas sapaannya, setelah sekian lama terdiam. Sudah cukup melamunnya, Bellva. Bisa-bisa kamu dianggap cewek mesum, karena terus diam menatap wajah tampannya! Kini aku beralih berbicara kepada diri sendiri.

"Kamu Bellva? Anak baru pak Joseph yang katanya mau ikutan jurnalistik?" lelaki di hadapanku ini, mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, saya Hendry."

Aku terbelalak berkali-kali dibuatnya. Ternyata, percakapan dengan kata baku darinya yang tempo hari ku dengar di dekat mading, bukanlah formalitas untuk menengahi para anggota klubnya. Sampai bertemu orang awam yang seumuran dengannya pun, Hendry menggunakan pilihan kata baku. Apakah cocok, dijadikan gebetan idaman?

"Hai, gue Bellva," aku akhirnya menyambut uluran tangannya. "Tadinya masih setengah hati, sih, untuk memilih jusrnalistik. Tapi kayaknya, sekarang gue udah yakin mau gabung jadi anggota lo."

"Ah, saya bukan atasan maupun pimpinan, kok," Hendry terkekeh, senyumnya begitu manis yang tentu saja mengobrak-abrik perasaanku. "Hanya orang yang dipasrahi jabatan sebagai ketua. Selanjutnya, kami jalan bersama untuk mencapai tujuan yang sama, bukan?" tambahnya kemudian. "Mau saya antar ke ruang jurnalis, untuk melihat-lihat?"

Ah, Hendry dan Ray tak ada bedanya. Mereka sama-sama banyak berbicara. Tapi bedanya, mendengar Hendry berbicara, rasanya seperti sedang berada di dalam lemari pendingin. Alias, adem bener...

"Boleh, boleh. Sekalian gue mau isi formulir ini," ku angkat lagi kertas yang diberikan pak Joseph.

"Tidak perlu repot-repot, formulir hanya sebatas formalitas, kok. Yang terpenting, bukankah niatnya?" Hendry melangkah terlebih dahulu di depanku.

Ku samakan langkah dengannya, hingga perbincangan ringan terjadi selama kami berjalan menuju tempat yang dijanjikan Hendry. Ruang jurnalistik berada di lantai dua gedung B, bersebelahan dengan ruang OSIS dan musik. Kedua hal yang tadinya sempat menjadi mimpi besarku, namun akhirnya kandas setelah kejadian saat SMP kala itu. Menjadi anggota OSIS supaya dikenal banyak orang? Ah, bahkan aku sudah menjabat jadi ketuanya. Atau jadi pemain musik yang diagungkan penggemar? Bahkan, di sekolah lamaku, aku menjadi vokalis yang ditarik band sana sini.

Kedua hal yang benar-benar aku tinggalkan sekarang. Paling tidak, memilih jurnalistik yang terlihat sedikit anggotanya, dan tidak bertemu dengan banyak orang, bisa ku jadikan langkah awal menjadi orang anti sosial dan siswi cupu. Tinggal aku meminta ke Hendry saja, kiranya jabatan mana yang cocok supaya tidak bertemu orang banyak.

Sebelum beranjak masuk ke ruangan yang terlihat dari luar terdapat beberapa orang, segerombolan murid laki-laki maupun perempuan, kembali menghalangi langkahku. Salah satu dari mereka menarik lenganku, dan berseru bahwa aku ini murid baru. Ku tatap Hendry sejenak, karena merasa tak enak, sebab aktivitas utama kami terganggu. Tak lama, Hendry tersenyum dan mengangguk, seakan mengizinkan aku untuk meladeni para makhluk sok akrab yang datang padaku ini.

Setelah aku dibawa menjauh untuk berkenalan dengan murid yang disinyalir dari kelas sebelas IPA1 ini, ku lihat Hendry sibuk sana-sini membantu anggotanya yang tengah mengurus keperluan mading. Pikiran tentang dirinya yang begitu baik menyapa dengan senyuman, perbincangan yang antusias untuk berdekatan pula denganku, sirna seketika. Karena kenyataan Hendry adalah sosok ketua yang mampu mengayomi anggotanya, adalah pribadi yang tak bisa ku tepis begitu saja. Kedatanganku yang disambut manis ini, tentunya sebagai formalitas dirinya menyambut anggota baru.