webnovel

Dibatas Senja

Lusi Aryani, 20 th, Mahasiswi FEB, semester IV, gadis dengan penampilan sederhana karena kondisi ekonomi keluarga yang hanya dibilang cukup namun keinginan begitu kuat untuk melanjutkan pendidikan berbekal dengan prestasinya. Dia ingin merubah kehidupan keluarganya, sesuatu yang harus diperjuangkan tidak menyerah untuk meraih harapannya. Janggan Pringgohadi, Mahasiswa Tehnik Arsitek semester 8, anak tuan tanah di salah satu kota kecamatan di Yogyakarta, anak panggung, tentu banyak penggemar, dijodohkan dengan Jihan anak temen orang tuanya. Bagaimana sikap janggan atas perjodohannya sedang dia mulai tertarik dengan lusi anak FE depan kostan. Apakah mungkin keluarga Janggan merestui hubungan mereka jika orang tuannya tahu Lusi bukan dari keluarga yang selevel dengan mereka. Bagaimana jika ternyata Janggan memilih mengikuti keinginan keluarganya. Disini kisah mereka diuji hingga dibatas perasaan Lusi dan Janggan, Dibatas Senja

Tari_3005 · Urbain
Pas assez d’évaluations
91 Chs

Bab 65

"Cantik dan segar, " suara bariton yang dirindukannya terdengar sangat dekat di telinganya, lusi mendongak dilihatnya wajah dicermin dan alangkah terkejutnya ada sosok laki laki yang berdiri di belakangnya.

"Apa tidak merindukanku, dek," laki laki itu mendekat dan tiba tiba memeluk tubuh lusi dengan erat, lusi hanya mematung tak bisa berkata kata, terasa kelu lidahnya, air mata pun mendadak mengalir membasahi pipi menjadi sembab.

Lusi membalikkan tubuh menghadap laki laki itu yang ternyata ardan suaminya, dibelainya rahang yang ditumbuhi bulu bulu halus, kepalanya disandarkan di dada bidang milik suaminya, lusi terisak pelan. Bukan kata kata yang terucap namun perilaku yang menunjukkan betapa dia merindukan cintanya begitu dalam.

Ardan membiarkan istrinya menangis beberapa saat, kemudian diangkatnya dagu wanitanya, " aku kangen sayang," ardan menatap manik mata perempuan di depannya, mereka saling memandang dengan ribuan kata yang terpendam, "kenapa, dak memintaku datang ?, hem," ardan dak membutuhkan jawaban dari semua pertanyaannya, nanti saat istrinya tenang pasti akan bercerita dengan sendirinya, batin ardan.

"Mas pagi sekali sampe," ucap lusi ditengah isaknya, ardan mengusap airmata sang istri, "aku dak sabar menunggu pagi, hei aku lebih suka istriku memanggil mas, lebih terasa mesra, daripada kak, kayak kakak adik aja," ardan betusaha mencairkan suasana hati mereka. Lusi sedikit canggung.

"Mau mas antar ke sekolahan, atau mau ijin nungguin suami," ardan menggoda lusi yang sudah memerah pipinya, dicubitny pipi merona bagai delima merah.

"Dak enak mas, anterin aja ke sekolah, nanti aku usahakan pulang cepet," jawab Lusi dengan nada manjanya, kemana perginya rasa kesal dan marah mereka berdua, semua masalah kalo diselesaikan dengan hati yang lapang pasti deh hasilnya lebih baik, ini ajaran orang orang yang sudah berpengalaman rumah tangga puluhan tahun lho.

"Baiklah, mas akan nunggu di sekolah boleh," ardan masih nego karna dak pingin jauh dari sang istri, jauh jauh dikunjungi kalo harus ditinggal percuma dong.

"Baiklah, setuju," lusi memberikan jari kelingkingnya untuk ditautkan pada jari kelingking suami, "Mas ngajak baikan ?," ujar lusi tersenyum.

"Mas dimaafkan nih ? " Ardan balik bertanya sambil mencium tautan jemari mereka berdua, "Maafin mas ya ? dak lagi deh bikin adek pergi lagi, ingetin mas ya, agar kita selalu bersama," suara ardan parau, menyimpan penyesalan yang dalam atas sikapnya yang salah.

"Ayo mas, dah telat, kalo baper bisa nangis lagi adek nanti," Lusi menarik tangannya yang masih dipegang ardan, mengajak keluar kamar. "Kenapa memang, mas masih pingin berdua, " ardan balik menarik tangan lusi dan tubuh mungil istrinya tertarik dalam dekapannya dan tanpa ampun diciuminya, kening, mata, pipi, dan berhenti di bibir yang sudah berlipstik menambah sensual dimata ardan, tak ampun lagi tanpa permisi, dilumatnya dengan penuh hasrat. ooohhh lenguhan kecil lusi mengundang hasrat yang sekian lama terpendam.

Ardan menggendong lusi dan meletakkannya diatas ranjang kayu ukiran, ardan berada diatas tubuh istrinya, secepat kilat lusi menjauhkan tubuh kekar ardan dengan sekuat tenaga hingga ardan terjatuh ke lantai.

"Hei, ada apa, " ardan kaget dengan sikap lusi yang mendorongnya."maaf mas, aku harus ke sekolah," ada yang harus dilindungi di dalam perutnya, dalam hati lusi merasa bersalah, ardan belum tahu tentang calon baby yang sudah tumbuh sejak tiga bulan, sejak mereka berpisah. Mood ibu hamil muda selalu berubah ubah itu yang tidak diketahui juga oleh sang calon ayah.

Pasti ada yang disembunyikan oleh lusi, ardan dibikin bingung, tapi dicobanya tetap sabar karna niatnya menemui istrinya untuk merayunya agar mau kembali bersamanya dan memaafkannya, poin dua sudah dilewati tinggal poin pertama yang butuh perjuangan.

Lusi berlari kecil menuju dapur meninggalkan ardan yang masih terbegong di dalam kamat, namun kemudian sadar dan mengikuti arah istrinya.

"Ayo sarapan dulu sebelum berangkat, kasihan dedek bayinya kelaperan nanti," ucapan si mbah 'makjleb' membuat mata melotot laki laki yang mengekor di belakang lusi, kaget, dak bisa dilukiskan perasaan hatinya bertambah berantakan, kenapa istrinya dak ngasih tahu hal yang begitu penting buatnya, anak ! kenapa apa alasannya.

Lusi menutup mulutnya sendiri dan menoleh ke arah suaminya, "baik mbah, enak banget nih ada cumi cumi hitam, ayok mas makan bareng," lusi berusaha mengalihkan keterkejutan ardan.

"Ada yang ingin kamu ceritakan, " Tatapan ardan menuntut ke arah lusi, "Sarapan dulu mas, nanti adek cerita, " lusi berusaha menahan diri agar ardan dak marah mengetahui ketidak jujurannya. Ardan pun menurut demi kebaikan apalagi, dia mengetahui istrinya mengandung buah cinta mereka ardan memandang perut lusi yang masih datar dak tahan dia ingin memegangnya, "mas dak peduli alasanmu, menyembunyikannya, mas senang mengetahui adek hamil anak kita, dan amat bersyukur artinya adek masih mau berurusan dengan suamimu ini," terdengar suara ardan menahan emosinya, apalagi dia berkata dengan nada penekanan setiap katanya, ardan kecewa dan keluar meninggalkan lusi yang terdiam.

"Susul suamimu di luar, dak baik buat bayi dalam kandunganmu kalo kamu ngotot gitu, opo arep mbok rawat dewe, ( apa mau kamu rawat sendiri ) kasihan anakmu, la kono, seh mending nak ardan nyusul kowe nek ora ? arep dadi rondo ! ( masih bagus ardan menyusulmu, kalo tidak apa mau jadi janda ) " si mbah terus saja nasehatin lusi meski dengan kalimat yang sangat pedas di telinga tapi itulah realitanya yang harus dihadapi cucunya, hamil masak mau pisah sama suami, tentu dari kacamata orang tua dak akan menyetujui cara cara moderat begitu, menjadi single parent, no no no.

Lusi akhirnya mengurungkan niatnya mau sarapan pagi, dia menyusul ardan keluar, dan ternyata ardan masih ada di teras rumah duduk di kursi anyaman yang ada di samping pintu rumah tepat di bawah jendela kaca. Ardan mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dalam hitungan detik disedotnya dan dikeluarkam kembali dalam bentuk asab. Lusi mendekati suaminya berdiri di depan pintu menghadap ardan yang nampak gelisah memandang jauh kedepan tanpa expresi.

"Maafkan adek, dak ada maksud lain belum ngabari hamilnya adek, hanya saja adek ingin mas menyadari kalo kita bersama karna saling menyayangi, bukan hanya karna ada bayi dalam kandungan adek, " lusi menerangkan alasannya belum mengabari kehamilannya. " tapi mas ayah bayi di kandungan adek betul, kan berhak tahu," Lusi menatap takut ke arah ardan. "Mau khan memaafkan adek," kata maaf kembali terucapkan dari bibir lusi. ardan menoleh ke arah istrinya dan mengangguk pelan.

Ardan membuang rokok di tangannya dan mendekati istrinya, "Mas senang kamu hamil," Lusi memeluk dada bidang ardan .