webnovel

Dia dan Semesta

Nama indah tak menjamin memberikan makna indah, masa lalu cerah tak menjamin masa depan juga cerah, dan yang putih tak menjamin selamanya suci. Tiara, perempuan dengan usia matang itu hanya menggeleng tak minat pada segenap rentetan kalimat yang ibunya ucapkan. Apa-apaan itu, berniat menjodohkannya dengan lelaki yang bahkan 5 tahun lebih tua di atasnya. Ia hanya bisa berharap pada mentari agar tetap menyinari hari-hari setelah keduanya dinikahkan dengan paksa, atau mungkin menatap sendu pada rembulan yang perlahan menghilang di sepertiga malam, dan jika perlu dirinya akan mengadu pada beribu bintang tentang begitu resah hatinya.

Cookie_Capt · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
1 Chs

Rencana

Tiara menatap ibunya dengan mata menyipit tajam, ia segera menelan roti dengan isi selai kacang yang baru saja ia gigit satu kali. Lalu mulai memutarkan matanya tak percaya sambil menggumamkan kata, "Wah."

"Bagaimana? Kau mau bukan?" Tanya sang ibu dengan santainya, Denita masih asik menyuapkan nasi goreng yang lengkap dengan suiran ayam, masih hangat dan ia sedang berselera.

"Ibu ingin menjodohkan ku?" Tanya perempuan itu setelah membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja berubah menjadi padang tandus.

"Ya, lagi pula jodohmu juga sudah mapan." Sang ibunda menganggukkan kepalanya mengiayakan ucapan putri bungsunya itu.

"Ibu, jelas ia sudah mapan, tahun ini saja dirinya berumur 27 tahun. Dia berbeda 5 tahun denganku. Ibu berpikir apa sih?" Tanya Tiara keheranan.

"Menjodohkanmu." Bolehkah ia memaki? Bagaimana Tuhan memilihkan wanita itu sebagai ibunya?

"Maksudku, kenapa ibu harus menjodohkanku? Aku masih 22 tahun, aku masih muda, dan aku belum mau menikah, apalagi jika memiliki anak." Tiara mulai bergidik ngeri membayangkan beberapa kata yang baru saja ia ucapkan tadi.

"Kau tanya kenapa? Karena ibu kesepian. Ibu ingin menggendong cucu lagi." Oh, alasan klasik itu lagi, "ya sudah, minta saja pada kakak. Jangan menjodohkanku dengan alasan kecil seperti itu." Tiara lagi-lagi menggeleng tak habis pikir.

"Dia sudah memiliki 3 orang anak, dan anak terakhirnya baru lahir 2 tahun lalu, tak mungkin ibu meminta lagi padanya." Jawab ibu dua anak itu.

"Ya bagaimana tidak memiliki 3 anak? Anak pertama hasil kecelakaan, umur 20 sudah punya anak kembar, dan sekarang punya 1 lagi, aku curiga itu hasil kebobolan." Tiara mulai beranjak dari meja makan seputih susu itu.

"Hei! Jangan berbicara yang tidak-tidak tentang kakakmu!" Dan ia segera berlari setelah berhasil menyambar kasar kunci mobilnya.

------------------ °°°°°°°°°°°°°°°°°°°°--------------------°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

"Ada meeting dengan perusahaan Jiryan 1 jam lagi." Tiara yang masih asik membaca berkas itu hanya menganggukan kepalanya, lalu menyuruh sekertarisnya itu keluar dengan gerakan tangan.

Tepat setelah pintu itu kembali tertutup, Tiara hanya menggelengkan kepalanya tak percaya, "ibu benar-benar berniat menjodohkanku."

Perempuan itu kembali membaca berkasnya dengan seksama, berusaha mencerna rentetan kata dan jumlah angka yang dijanjikan dalam kontrak kerja dengan sebuah perusahaan furniture terbesar di kotanya.

Sesekali dirinya membenarkan posisi kaca mata yang bertengger manis pada hidungnya. Lalu 5 menit kemudian, ia tersenyum cerah setelah puas bergelut sendirian dengan ribuan kata yang tertera pada 10 lembar kertas di dalam sebuah map hitam.

"Perusahaan besar memang tidak pernah mengecewakan." Perempuan itu lagi - lagi berdecak kagum saat melihat retetan rencana kedua perusahaan mereka. Dengan segera, ia menggoreskan tinta hitam pekat pada lembaran pertama yang masih sangat bersih.

1 jam berlalu, Tiara sudah duduk di dalam ruangan berlapis kaca gelap yang memang sengaja dibuat untuk sesuatu yang berkedok meeting seperti saat ini.

Uh wow? Inikah lelaki yang akan dijodohkan dengannya? Baiklah, tidak buruk, terlihat lebih muda dari usianya, sial alasan usia lagi.

"Adhi Jiryan." Salam formalitas selalu menjadi awalan dalam setiap pertemuan dengan 'klien'. Tiara hanya tersenyum tipis, lalu menerima jabatan calonnya itu, tak lama ia duduk santai dengan rok span hitamnya yang sedikit terangkat.

"Duduklah, aku juga sudah duduk bukan?" Tiara lagi - lagi tersenyum melihat tingkah pemilik Hotel bintang lima yang kini sedang naik daun itu.

"Ada niatan apa kau datang ke sini Adhi? Oh atau aku harus sebut Kak Adhi? Mas Adhi? Mungkin Pak Adhi? Mana yang lebih kau sukai?" Tanya Tiara dengan seringai yang kini menghiasi bibir merahnya, jangan lupakan tangan kanannya yang menopang dagu dan sorot mata tajam yang menatap lelaki di depannya kini.

Tiara akui, wibawa dan tingkat intimidasi dari laki-laki di hadapannya kini bukan main - main, ia bisa merasakannya, tapi bukan Tiara namanya jika ia tunduk begitu saja pada seseorang.

"Pak Adhi saja, bagaimana Bu Tiara?" Sialan, pria tua itu mengejeknya.

"Baiklah, akan ku panggil Kak Adhi saja, jauh lebih santai." Tiara menegakkan tubuhnya, lalu membuka satu kancing blazer yang melekat pada tubuh rampingnya.

"Ini kantor anda sendiri, terserah. Tapi saya jauh lebih menghargai partner kerja saya, jadi saya menjunjung tinggi kata formalitas." Oh wow, kalimat yang cukup panjang.

"Tapi saya menyukai suasana yang jauh lebih santai. Dan anda mungkin sudah tahu jika kita dijodohkan." Tiara mulai menuju topik utama dari pembicaraan ini, ia tak tahan berlama-lama duduk dengan lelaki selain ayahnya.

"Baiklah, Tiara ada satu hal yang harus kamu ketahui tentang saya. Saya harap kamu paham, dan kamu mengerti." Untuk yang satu itu, ia menyukainya.

"Katakan saja." Tiara menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan, ia menyandarkan punggung lelahnya ke sandaran kursi di ruangan itu.

"Saya seorang gay."

Hening, hanya terdengar suara dentingan jarum detik pada jam tangan yang dipakai keduanya saat ini. Mata mereka saling beradu, dan emosi macam apa yang diberikan lewat tatapan mata seorang Adhi Jiryan pada matanya yang bahkan tak sanggup untuk berkedip.

"Oh, apa?" Dengan satu kedipan mata, ia kembali tersadar.

"Saya seorang gay." Demi semua lelaki yang pernah ia tolak, dirinya benar - benar menyesal. Bagaimana mungkin ia bisa dijodohkan dengan seorang gay? Dengan lelaki yang menyukai sesama jenis?

"K-kau gay?" Tiara sekali lagi bertanya memastikan, dan jawabannya tetap sama, anggukan kepala lah yang ia dapatkan.

"Kau top? atau bot?" Ukh, lancang sekali mulutnya. Tapi sungguh ia bertanya - tanya mengenai hal itu saat pertama kali mendengar fakta tersebut.

"Top, saya selalu menjadi top." Apa katanya? Selalu? Sudah berapa banyak laki - laki yang ia taklukan? Baiklah, itu terdengar mengerikan.

"Sudah berapa lama?" Tiara lagi - lagi bertanya, "sekitar 8 atau 10 tahun." Baiklah, sekarang ia menyesal dengan sifat ingin tahunya itu.

"Apa kau memiliki kekasih sekarang?" Sekali lagi Tiara menyesal, ia melihat dengan jelas anggukkan kepala dari lelaki di depannya itu.

"Siapa?" Mulut terkutuk! Kenapa masih saja bertanya bodoh?!

"Salah satu rekan kerjamu." Adhi berdiri, menghampiri sebuah papan tulis putih yang masih begitu bersih, menggambarkan sesuatu yang sekiranya bisa menjadi clue.

Tiara hanya bisa menatap gambar sofa di sana, berpikir siapakah rekan kerja yang memang ada hubungannya dengan gambar itu.

Pemilik toko? Furniture? Oh tidak, jangan - jangan perusahaan Atyson itu adalah kekasihnya. Ya memang umur mereka hanya berbeda 2 tahun, tapi, tapi, kenapa harus dia?

"""""""""To Be Continue """""""""""