webnovel

Chapter 7

Alunan musik klasik, inilah yang ia sukai ketika dia berada di kediamannya tanpa ada gangguan dari pihak mana pun. Duduk santai di kursi kayu yang memiliki bantalan empuk, memandangi langit yang dipenuhi oleh awan-awan dengan berbagai macam bentuk. Dia bahkan asyik sendiri menebak bentuk awan bersama dengan burung hantu peliharaannya yang bertengger manis di dalam kandang. Sesekali dia bersiul lalu mulai menebak bentuk awan yang terlihat oleh manik keemasannya.

"Kelinci, aku yakin sekali bentuknya adalah kelinci, iya kan, Navi?" ucapnya dengan suara terdengar senang, dia menatap burung hantu yang mengepakkan sayapnya dengan gembira, seolah menyetujui apa yang dikatakan oleh tuannya.

Dia hanya tersenyum penuh arti ketika mendengar suara ketukan yang menggema di kediamannya. Suara ketukan tersebut memiliki jeda beberapa detik, lalu terdengar kembali. Suara seperti sebuah benda yang diketuk perlahan di atas ubin dingin. Dia memandang lekat chandelier yang tergantung di langit-langit kediamannya, membiarkan wajahnya tersapu oleh hembusan angin begitu pun dengan rambut panjang keemasannya.

Suara ketukan itu terdengar semakin dekat sampai benar-benar berhenti di dekatnya.

"Huu…huuu" burung hantu kesayangannya itu pun bersuara ketika suara ketukan tersebut terhenti, dia mendengus melihat sang burung hantu terlihat gembira sambil mengepakkan sayapnya yang berwarna putih.

"Sebenarnya, apa yang kau pikirkan?"

Suara yang terdengar lembut tetapi terdapat ketegasan disana itu pun menyapa gendang telinganya, dia hanya bersenandung kecil sambil berdiri dari duduknya, manik matanya melirik sosok yang sudah berdiri di dekat kursi, jubah hitamnya yang besar terlihat menenggelamkan tubuhnya, sebuah tongkat panjang sebagai tumpuan ketika dia berdiri.

"Kau sangat tahu mengenai apa yang aku pikirkan" ucapnya lembut dengan sebuah senyuman getir terlukis di wajahnya.

Kepalanya menunduk menatap ubin dingin yang ia pijaki, memantulkan bayangannya sendiri, melihat wajah bodohnya berada disana dan itu membuatnya ingin sekali menghancurkan bayangan tersebut.

"Sudah saatnya kita mengakhiri semua ini, bukan?" ucapnya setelah menghela nafas panjang, sekarang arah pandangnya benar-benar tertuju pada sosok berjubah hitam yang sedari tadi memang memperhatikannya.

Bibirnya bergetar memaksakan untuk mengukir sebuah senyuman walaupun nyatanya senyuman itu terlihat konyol. "Walaupun banyak hal yang kita korbankan disini, setidaknya, semua ini akan berakhir."

Sosok berjubah itu menghembuskan nafasnya dengan gusar, walaupun dia sejak awal menyetujui dan bahkan ikut menjalankan rencana dari si pemilik rambut keemasan itu, tetap saja dia merasa gelisah dan selalu merasa bahwa akan terjadi suatu hal yang tidak ia inginkan. Mereka terlalu banyak melanggar dan mempermainkan hukum. Akan ada begitu banyak konflik antara mereka berdua dengan pihak-pihak yang tidak menyukai ide mereka. Sejak awal, mereka sudah kalah suara dan kalah jumlah, tetapi mereka tetap nekat menjalankan rencana yang memang telah mereka rencanakan sejak lama tetapi baru sekarang mereka bisa melakukannya.

"Seharusnya, kita tidak perlu melibatkan pihak-pihak yang tidak mengerti dengan situasi ini, bukan?" ucap sosok berjubah hitam sambil tersenyum tipis, dia memandangi burung hantu yang sedang menatapnya dengan tatapan sedih membuat ia semakin melebarkan senyumnya karena si burung hantu terlihat ikut merasakan apa yang sedang mereka rasakan.

"Ya.., seharusnya memang seperti itu. Tetapi, jika tidak dilakukan, semua ini belum tentu benar-benar berakhir. Terpaksa kita harus melibatkan beberapa pihak bukan?" ucapnya lalu dia berjalan meninggalkan sosok berjubah hitam yang hanya memandangi kepergiannya.

"Mari kita berjuang, dan menghancurkan semua ini."

Kalimat yang terdengar dingin itu terucap begitu saja di bibirnya, sosok berjubah hitam hanya bisa mengatupkan bibirnya dengan rapat ketika kalimat tersebut bagaikan sapuan angin dingin yang menampar wajahnya. Dia tanpa sadar mencengkram erat tongkat kayu yang ia pegang sebagai tumpuan dia berdiri. Dia berharap bahwa semua ini memang akan berakhir tanpa ada satu pihak pun yang terluka.

***

Dia tidak setiap hari memimpikannya, tetapi, seingat dia, setiap tanggal 28 Februari, dia akan bermimpi tentang dia berdiri di tengah-tengah padang rumput yang luas. Dia akan melihat sebuah pohon tanpa daun berdiri kokoh dengan batangnya yang terkesan rapuh. Hembusan angin yang menerbangkan rambut cokelatnya serta menerbangkan beberapa rumput disana sedikit mengganggu terlebih ketika mengenai wajahnya. Dia hanya bisa mengedipkan matanya beberapa kali karena dia merasa hembusan angin tersebut seperti hendak menusuk kedua matanya.

Di dalam mimpinya, dia hanya akan melihat siluet dua orang sedang berdiri berhadapan seperti sedang membicaraka sesuatu. Dengan jarak yang begitu jauh, dia tentu tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh dua orang tersebut. Dia hanya bisa melihat sosok yang berdiri mengarah kepadanya, dia bertubuh tinggi dengan bahu lebar, pakaian yang ia kenakan seperti jubah yang terkena sinar matahari, bercahaya, dia juga memiliki rambut panjang keemasan, begitu pun dengan warna bola matanya. Manik keemasan itu akan melihat ke arahnya dan sosok itu akan mengukir sebuah senyuman sampai pada akhirnya dia terbangun dan mendapati dia sudah mandi keringat di atas tempat tidurnya.

Mimpi aneh tersebut akan terngiang-ngiang di benaknya bagaikan suara yang menggema di gua. Terlebih, ketika dia memikirkan satu sosok yang membelakanginya dan tidak pernah sekali pun berbalik untuk menatapnya seperti yang dilakukan oleh sosok dengan manik keemasannya itu.

Dan dia tidak menyangka bahwa dia kembali bermimpi seperti itu tetapi tidak di tanggal 28 Februari, bahkan di malam-malam sebelumnya. Dia kembali memimpikan hal yang sama lalu terbangun dalam keadaan yang sama. Namun, yang membuatnya berbeda ketika dia tahu jendela kamarnya terbuka lebar dan mendapati ada seekor burung hantu dengan sayap putihnya bertengger di daun jendela kamarnya dengan amplop berwarna hitam terjepit di paruhnya.

Manik keemasan burung hantu tersebut menatapnya lekat sambil menggerakkan kepalanya seolah menyuruh dia untuk segera mengambil amplop tersebut dari paruhnya. Dengan perasaan campur aduk karena mimpi aneh yang selalu saja menghantuinya serta rasa pusing karena terbangun secara tiba-tiba, tanpa sadar tangannya bergetar ketika terulur meraih amplop tersebut dari paruh burung hantu. Dia berusaha untuk tenang karena dunia disekitarnya terlihat berputar. Dia tidak bisa membaca isi ampolop tersebut jika pandangan matanya masih berkunang-kunang.

Setelah ia yakin, bahwa dia sudah tenang sepenuhnya, dia pun memperhatikan amplop berwarna hitam yang bahkan tidak tertulis tujuan surat itu untuk siapa. Dia sedikit ragu, harsukah dia membukanya atau memilih untuk menyimpannya? Dengan pertikaian batin yang cukup lama, dia memutuskan untuk membuka amplop yang ternyata berisikan surat itu, kertasnya sedikit kuning dengan tinta berwarna hitam tergores membentuk beberapa kalimat.

Kalimat yang membuatnya menahan nafas.

["Jangan lupa kan janji yang terukir di antara kita berdua, nak. Datang lah ketika seekor burung hantu bersayap putih datang menghampirimu, ikuti dia tanpa ada keraguan sedikit pun, terlebih, ketika dia datang dan membisikkan namamu."]

Dan tepat ketika tanggal 28 Februari. Dia kembali memimpikan hal yang serupa, namun, yang berbeda di dalam mimpi tersebut adalah, dia bisa melihat dengan jelas siapa sosok satu lagi yang sebagai lawan bicara pria berambut keemasan. Dia memicingkan matanya ketika dia melihat sosok tersebut merupakan perempuan yang menggunakan gaun hitam panjangnya, rambut panjang kelabunya bagaikan bersinar di bawah sinar rembulan. Dia tentu mengenal rambut kelabu tersebut.

"Nyonya Winter?" bisiknya, terlihat tidak percaya akan apa yang ia lihat.

Terlebih, ketika dia melihat penyihir itu sedang berbicara kepada pria berambut keemasan.

"Nyonya Winter!" dia memanggil dengan suara sekeras yang ia bisa, dia melihat Winter hendak membalikkan tubuhnya, sepertinya, penyihir itu mendengar suaranya tetapi, entah apa yang menghentikan Winter sehingga penyihir tersebut tidak pernah berbalik dan melihat ke arahnya, justru tubuh tersebut terpaku di tempatnya berdiri.

Begitu pun juga dengan dia ketika melihat bibir pria keemasan itu bergerak dan menyebutkan nama yang tentu saja dia mengenal nama tersebut.

Pria itu, menyebutkan namanya.

***

Winter mendengarkan cerita pemuda yang bernama Near tersebut dengan alis saling bertaut. Si pemuda yang hanya bekerja di perpustakaan, seorang manusia biasa, malah setiap empat tahun sekali bermimpi seperti yang Winter mimpikan. Terlebih ketika dia tahu bahwa pemuda tersebut ternyata berada di dalam mimpinya, dan suara yang ia dengar seperti memanggil namanya itu merupakan suara pemuda yang berjalan disampingnya ini.

Dia bisa saja mengacak rambutnya sendiri dan mencengkramnya kuat sampai botak. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa dewa yang selalu saja datang ke mimpinya dan membisikkan nama manusia terpilih kepadanya malah membiarkan seorang manusia biasa masuk ke dalam mimpi tersebut.

"Apa kau yakin kau bukan penyihir?" tanya Winter kepada pemuda yang saat ini menganggukkan kepalanya dengan yakin.

"Sangat yakin" jawabnya terdengar tegas membuat Winter kembali memutar otak.

Dia jadi berpikir, apakah pemuda disampingnya ini adalah seseorang yang istimewa? Dia sempat melihat bagaimana si penjaga gerbang dengan sumringah menyambut kedatangan pemuda yang bernama Near ini. Dia seperti sedang menyambut keponakannya yang sudah lama tidak ia jumpai. Senyumannya yang hangat dan terkesan misterius itu terlukis begitu saja di wajahnya membuat Winter mulai menerka-nerka bahwa pemuda bernama Near ini merupakan seseorang yang istimewa.

"Apa dia sama sepertiku, huh, Tuan Penjaga Gerbang? Penyihir yang diberkati oleh seorang dewa?" imbuh Winter sambil menatap si penjaga gerbang yang memang berjalan di depan mereka, dia sedang menuntun mereka menuju Desiree Gate.

Si penjaga gerbang tidak mengatakan apa pun membuat Winter berdecak, dia pun melirik Near yang berjalan dengan kikuk di sampingnya. "Katakan kepadaku, ketika kau berusia 8 tahun atau 10 tahun, adakah seorang dewa datang menghampirimu lalu memberikan setengah jiwanya kepadamu?" tanya Winter, dia harus menemukan jawaban mengenai keanehan ini.

Near mengerjapkan matanya lalu menggelengkan kepalanya cukup kuat, "Aku tidak pernah bertemu dengan dewa" jawab Near pelan membuat Winter memicingkan matanya.

"Pria aneh yang kau lihat di dalam mimpimu itu adalah seorang dewa" dengus Winter, membiarkan Near membelalakkan matanya tidak percaya.

Winter fokus dengan langkahnya mengikuti si penjaga gerbang yang masih saja setia menutup rapat mulutnya tanpa mau repot-repot menjelaskan semua keanehan yang terjadi mengenai kemunculan gerbang di tahun ini. Semuanya begitu aneh, Winter bahkan tidak bisa berpikir karena keanehan ini terkesan seperti direncakan begitu matang oleh seseorang.

Keheningan yang cukup panjang itu terhenti ketika manik kelabunya melihat sebuah pohon yang sangat besar berdiri kokoh dengan daun merahnya yang meredup seperti layu karena tidak disiram selama ribuan tahun. Namun, dia lebih tertarik melihat sebuah gerbang besar yang tidak jauh dari pohon yang dikenal dengan nama Pohon Merah Ajaib. Dia hanya bisa tercekat di tempatnya berdiri ketika melihat gerbang tinggi yang mungkin memiliki tinggi 8 meter. Gerbang tersebut bercahaya keemasan membuatnya sedikit memicingkan matanya. Gerbang tersebut bagaikan terbuat dari lapisan emas, terdapat ukiran-ukiran huruf di pinggir gerbang. Di sebelah kanan dan kiri gerbang terdapat patung yang mana di sebalah kanan merupakan patung seorang perempuan, sebelah kiri patung seorang laki-laki, mereka saling berhadapan dengan mata tertutup kedua tangan saling mencengkram bagaikan sedang berdoa. Dia juga melihat bunga berwarna merah muda dengan daunnya yang merambat di pinggir gerbang, jika ia perhatikan, bunga tersebut memiliki duri.

"Selamat datang, di Desiree Gate" ucap si penjaga gerbang disahuti oleh burung hantu yang bertengger di atas tongkat panjangnya.

"Jadi ini Desiree Gate" gumam Near, tatapan matanya tidak lepas dari gerbang keemasan yang semakin memancarkan cahayanya ketika Winter dan Near mendekat ke gerbang.

Si penjaga gerbang menatap lekat gerbang besar yang ada di dekatnya, "Gerbang ini tentu memiliki sejarah yang panjang. Semua orang ingin tahu isi di dalam gerbang keemasan ini ketika matamu melihatnya. Dia bukanlah sebuah gerbang biasa" ucap si penjaga gerbang, tangannya terulur menyentuh gerbang sehingga gerbang tersebut terbuka dan mengeluarkan suara seperti pintu tua dengan engselnya yang berkarat.

Winter tertegun di tempatnya berdiri, dia dan Near sama-sama menahan nafas mereka ketika melihat apa yang ada di balik gerbang. Si penjaga gerbang tersenyum ketika melihat kedua manusia itu terpaku di tempat mereka berdiri tanpa ada niatan sedikit pun untuk melangkahkan kaki mereka masuk ke dalam.

Tentu saja, mereka tidak pernah menyangka jika di balik gerbang tersebut yang mereka lihat adalah sebuah hamparan padang rumput yang luas dengan pohon-pohon besar, bunga-bunga dengan berbagai macam warna terlihat cantik di pelupuk mata, sebuah sungai dengan airnya yang jernih, burung-burung yang terbang dengan bebas di langit. Mereka tidak tahu, bahwa mereka akan berada di suatu tempat yang berbeda ketika mereka masuk ke dalam gerbang.

"Selamat datang di Desiree, anak-anak" ucap si penjaga gerbang, mempersilakan kedua manusia itu untuk memasuki gerbang.

Winter mengerjapkan matanya, dia seperti tersadar dari keterkejutannya yang cukup lama, manik kelabunya menatap si penjaga gerbang yang masih setia tersenyum. Near masih ternganga di tempatnya ketika melihat gerbang besar itu terbuka. Dia terpesona dengan pemandangan yang ia lihat di balik gerbang.

"Jadi, maksudmu, selama ini Desiree Gate itu-"

"Iya, tepat seperti yang kau pikirkan" potong si penjaga gerbang lalu menggerakkan tangannya menyuruh Winter dan Near untuk mendekat ke gerbang.

"Kalian pikir Desiree Gate itu adalah nama dari gerbang? Tentu saja tidak, gerbang ini hanyalah sebuah gerbang biasa pada umumnya. Seperti sebuah pintu masuk" jelas si penjaga gerbang.

"Sebuah pintu masuk menuju tempat dimana para dewa berada, yaitu Desiree" lanjutnya.

Jantung Winter berdegup kencang ketika mendengar penjelasan dari si penjaga gerbang. Dia menatap si penjaga gerbang yang tersenyum penuh arti.

"Dan mungkin, kau bisa mengabulkan keinginanmu, sebelum kau mendapatkan kutukanmu, Winter" bisik si penjaga gerbang membuat Winter menatapnya lekat.

"Bukankah dari dulu, membunuh mereka adalah keinginan terbesarmu?"

Bersambung