Prolog:
Erangan panjang terpantul di dinding kamar deluxe. Di atas kingbed mereka mengakhiri sesi percintaan di antara dua orang dengan rentang usia yang jauh.
Wanita cantik dengan rambut panjang terengah kerena meledakkan hasrat. Keringat kecil menjalar di leher. Ia harus bekerja keras untuk memuaskan pria yang berada di atasnya.
"Kamu selalu hebat, Sayang. Tidak rugi aku menyempatkan sedikit waktu demi kamu." Stefan mencium kening wanita itu. Melepaskan diri dan mengenakan bajunya. "Kalau kamu ingin bermain lagi, hubungi saja aku."
Wanita itu merengut. Tidak setuju dengan afirmasi yang menuduhnya hiper. Padahal Om-om itu yang mengajaknya ke hotel lebih dulu saat dia sedang luluran di rumah. Dan setiap bercinta satu jam per sesinya. Sementara Stefan menginginkan tiga kali sesi. Pria berusia 40 tahun itu selalu membuatnya kewalahan.
"Apa Om pakai obat kuat?"
Stefan malah tertawa. "Kamu lucu, Sayang. Untuk apa aku konsumsi begituan. Aku memang masih muda dan sering olah raga."
Matanya mengedip satu. Wajah Stefan masih kinyis-kinyis. Lalu rambutnya juga sengaja disemir hitam agar uban tidak terlihat di sana sini.
Tidak ada yang menyangka dia pria hampir paruh baya. Setiap berapa minggu sekali pergi ke klinik kecantikan. Entah itu facial atau konsultasi dengan dokter kulit.
'Dasar ABG tua!' Bibir merah merekah berkerut.
"Aku ada perlu hari ini. Uang akan segera aku transfer."
Bibir merengut wanita itu mendadak mengembang senyum. Ini yang dia tunggu. Hanya isi dompet Stefan yang memuaskan dirinya. Sementara permainan tadi hanya melepaskan estrogen yang tertumpuk.
"Oke aku tunggu, Om. Yang banyak, ya. Aku mau belanja. Banyak keperluan harian yang habis. Sekalian mau ke salon."
"Terserah kamu. Yang penting setiap kamu bertemu denganku, harus tampil cantik. Karena aku juga ganteng." Stefan menaik turunkan alis.
Ponsel yang berada d saku celana Stefan berdering. "Aku pergi duluan. Ayahku sudah menelepon. Kau bebas kalau mau di hotel dulu. Aku akan membayarnya. Maksimal nanti jam satu."
Wanita itu mengangguk dan mengacungkan jempol. Stefan keluar sambil mendekatkan ponsel ke telinga.
"Ya, halo, Ayah. Oke, aku akan ke sana. Ini sedang dalam perjalanan. Oke, oke. Aku mengerti. Cuma mengajak Pambudi mengobrol, kan?" Dia menyengir.
Stefan mengakhiri panggilan. Dia masuk ke mobil dan melajukan dengan kecepatan sedang.
***
Pambudi menyiram tanaman di halaman depan. Kegiatannya terjeda saat mobil silver berhenti di depan pagar rumahnya.
Stefan menurunkan kaca jendela mobil. "Hai, Mas!" Tangannya melambai.
Pambudi tergopoh mematikan kran air lalu membuka pintu pagar. Mobil silver Stefan masuk dan berhenti di halaman rumah yang luas.
"Ayo masuk." Pambudi menggiring Stefan ke dalam rumah. "Bagaimana kabar kamu dan Om Lukito?"
"Kamu sombong sekali. Kemarin perayaan ulang tahun nggak undang kami. Kamu juga katanya baru pulang dari bulan madu sama Mbak Widya ke Singapur, kan? Mana oleh-olehnya?" Punggung sepupunya ditepuk keras hingga Pambudi menyengir kesakitan.
"Kau tahu dari mana?" Pambudi sedikit surprise dengan informasi pribadi. Tentang ini yang tahu hanya keluarga inti. Tidak mungkin Stefan tahu dari istrinya, kan?
Stefan tertawa. Dia memilih duduk di teras rumah. "Nggak perlu tahu. Aku duduk di sini saja sambil merokok. Kalau ada kopi, boleh lah." Dia mengambil sebatang rokok dari kantung baju.
Wajah Pambudi tersirat keberatan. Dia sudah menjauhi benda itu beberapa tahun yang lalu sejak divonis memiliki sakit jantung. Mulai dari situ, dia menjaga pola hidup dan makan.
Stefan mengebulkan rokok ke wajah Pambudi yang duduk di sebelahnya. Tidak peduli Pambudi mengerutkan hidung, menahan asap rokok yang terhirup. Asap terus saja mengebul.
Sedikit terbatuk-batuk. "Kamu lebih baik berhenti merokok, Fan. Umurmu sudah jalan ke lima puluh. Kesehatan harus dijaga. Bahaya kalau racun terus menyerah ke badanmu."
Stefan tertawa keras. "Usia tidak ada yang tahu. Meski aku merokok, bisa jadi lebih dulu kamu yang mati, kan?"
Mata Pambudi mengerjap. Wajah serius Stefan terbahak. Candaan sepupu angkatnya tentang kematian tidak mebuatnya senang.
"Aku memberi tahu, karena kamu sepupuku," tukas Pambudi jengkel. "Kalau orang lain, ya...aku nggak peduli."
Ucapan Pambudi seperti lelucon di telinga Stefan. Tawanya terurai lagi. Lalu tangan yang mengapit rokok, merangkul pundak Pambudi.
Kepalanya mendekat. Aroma nikotin, tembakau, dan zat yang membuat sesak lainnya bercampur menari-nari di rongga hidung hingga tenggorokkan pria tua berkepala enam puluh. Memuakkan!
"Kalau kamu peduli, berikan sebagian rumah sakitmu pada ayahku. Dia sudah tua. Seharusnya menikmati harta miliknya. Tidak perlu ayahku susah-susah membangun usaha baru lagi. Kamu tidak tahu perjuangan ayahku mendirikan rumah sakit bersama ayahmu. Kamu sebetulnya tidak punya hak menikmati harta ayahku. Dasar lintah."
Suara rendah menuduh bercampur aroma tembakau membuat Pambudi mual. Dia melepaskan rangkulan Stefan.
"Kamu ini bicara apa? Rumah sakit itu warisan dari ayahku."
Stefan menggeleng kepala. "Kamu serakah, Pambudi. Nggak jauh beda sama ayahmu. Licik. Semua yang kamu mau, sudah kamu dapat. Nggak kamu, nggak anakmu si Faisal, sama saja."
Pambudi menganga. Hatinya sakit hati dibilang licik, serakah, lintah. Faisal lagi ikut disalahkan. Apa hubungannya?
"Apa urusannya sama Faisal? Jangan ngawur! Om Lukito nggak mempermasalahkan. Lagian, urusannya sama kamu apa? Kamu itu orang luar. Bukan siapa-siapa di keluarga kami. Nggak tahu apa-apa langsung nyolot. Nggak punya malu, kamu."
Pisau aksara Pambudi menusuk tepat di jantung Stefan. Tidak hanya perasaan, telinganya ikut berdarah. Amarah bergemuruh. Menggerogoti rasa sopan pada pria tua.
"Jangan sombong, Pambudi. Saat ini kamu berada di atas. Suatu saat kamu di bawah." Tunjuknya pada hidung Pambudi.
"Jangan mengancamku." Pambudi menampik tangan Stefan. "Ingat baik-baik, ini bukan ranahmu."
Rokok yang baru hangus sepertiga, dilempar ke lantai. Dengan benci Stefan menginjak rokok hingga bara merah di ujungnya mati. Semati rasa kesabarannya.
"Sekalipun aku anak tiri, aku masih mau merawat dan peduli padanya. Daripada kamu yang keponakannya tapi tidak peduli masa tuanya. Pembalasan pasti ada. Entah padamu atau mungkin pada Faisal."
Mata Pambudi memerah. Napasnya memburu dengan cepat. "Kamu jangan menuduh sembarangan. Kamu tidak tahu apa-apa soal keluarga kami. Pergi kamu!"
Stefan tertawa miris. Tidak menyangka, kunjungan ke rumahnya berujung pengusiran.
Lalu dia mendekat jarak sejengkal dan membisikkan sesuatu di telinga Pambudi. Seketika, mata tua yang biasa memandang sayu, membeliak murka.
"Bedebah!" pekik Pambudi. Dia mendorong Stefan dan meninggalkan sepupunya. "Pergi kamu dari sini! Jangan pernah menunjukkan wajahmu di hadapanku!"
Pambudi meninggalkan Faisal dan membanting pintu rumah.
Bam!
Stefan terlonjak. Dia menghela napas panjang. Maniknya memandang puntung rokok dengan sayu. "Sayang. Sudah mati." Dia terkikik geli.
"Lho ada Stefan? Kok nggak masuk?" Widya tiba-tiba aja muncul dari dalam rumah. "Itu Mas Pambudi kenapa?"
"Eh iya, Mbak." Stefan memegang dadanya. "Maaf tadinya mau ngobrol sebentar. Lama nggak ketemu. Tapi gara-gara aku merokok Mas Pambudi marah."
"Maafkan Mas Pambudi ya." Widya menepuk bahu Stefan. "Mau masuk?"
"Nggak, Mbak. Mau pulang. Mari."
Stefan menundukkan kepala, lalu melompat ke kursi kemudi. Perlahan mobil melaju meninggalkan rumah.
Widya kembali masuk. Dia mencari suaminya di kamar tidur.
"Astaghfirullah! Papi!" jeritnya ketika melihat Pambudi tergeletak di lantai dengan memegang dada sebelah kiri.