Agnes hanya menghela napasnya ketika langkahnya berhenti di depan pagar megah warna putih rumahnya. Mata coklat Agnes terus menatap rumah bergaya Victorian itu dengan tatapan kosong. Entah mengapa dadanya serasa sesak dan sakit tiap kali ia menginjakkan kakinya di rumahnya sendiri. Berpikir esok adalah hari "nerakanya", Agnes sempat berpikir tak ingin kembali lagi ke rumah. Namun ia tahu, sang papa tak akan mungkin tak menemukannya, mengingat relasi papanya adalah orang-orang terkemuka dan memiliki pengaruh penting di negara ini, Agnes tak mungkin bisa semudah itu menyembunyikan dirinya.
"Hah, malang sekali nasibku. Apa aku benar-benar anak mereka, ya?" ucapnya sambil tertunduk dan melangkah gontai masuk ke pekarangan luas rumahnya.
Tak lama Agnes membuka pintu, sang papa, George Laurel sedang duduk di sofa putih ruang tamu yang biasa digunakan untuk menyambut para tamu. Sedikit gelisah dan takut, Agnes meletakkan pelan biolanya dan menemui George sambil menundukkan kepala.
"M-malam, Pi." Sapa Agnes memilin ujung jas almamater sekolahnya.
"Hmmm-" sahut George tanpa melihat Agnes dan sibuk membaca surat kabar.
Kikuk dan salah tingkah, Agnes tak tahu mesti bicara apa. Akhirnya, dia membalikkan tubuhnya, hendak mengambil tas biolanya yang ia letakkan di sebelah rak sepatu dekat pintu masuk rumahnya.
"Papi sudah menghubungi teman Papi yang ada di Inggris. Dia akan membantumu mengurus persiapan kuliahmu di Oxford." Dengan santainya, George berucap tanpa memandang sang putri.
Agnes yang sudah mengambil tas biolanya dan bersiap mengangkatnya langsung membelalakkan matanya! Menoleh ke arah George dan seketika menghampirinya .
"Apa, Pi? Oxford? Maksud Papi aku kuliah di Oxford?" Agnes menunjuk dirinya sendiri, menahan urat marahnya.
"Yes, you are going to continue your study in Oxford, sekalian temani oma di sana," ucap George santai.
"Tapi, Pi … Agnes ga mau kuliah di Oxford! Tak ada yang Agnes tuju di sana! Lagipula, Papi tau kan apa yang Agnes inginkan? Agnes ingin ke Paris, Pi! Paris!" Agnes sedikit menaikkan nada bicaranya.
Mendengar putrinya mulai memanas, George melipat koran yang sedang dibacanya, melepas kacamata bacanya, menatap tajam ke arah Agnes yang juga menatap tajam dirinya.
"Apa kamu lupa siapa yang membiayai sekolah kamu? Siapa yang memberimu makan, pakaian, dan tempat tinggal? Apa kamu lupa, Agnes?" seringai George menatap putrinya.
"Jadi … jadi Papi minta Agnes balas budi semua yang pernah Papi perbuat untuk Agnes?"
"Papi seorang pengusaha, Nes. Tentu saja untung-rugi harus Papi pertimbangkan. Karena itu, Papi ingin kamu kuliah di Oxford dan ambil ekonomi plus statistik. Itu akan berguna, bahkan akan sangat membantu kamu di masa depanmu nanti, paham!" George mulai menegaskan kata-katanya.
"Masa depan siapa, Pi? Agnes atau Papi? Jika Papi memang perhitungan selama ini, Agnes akan bayar semuanya, PI! SEMUANYA!" Agnes tak tahan lagi dengan kata-kata George dan langsung pergi ke kamar, membanting pintu dan menguncinya.
"Anak itu … benar-benar tak mengerti ucapan orang tua!" George menarik napasnya dalam-dalam, mengambil ponsel dari dalam celananya dan menghubungi seseorang.
"Selamat malam, Tuan. Apa kabar? Besok, apakah ada waktu? Bisa kita bertemu? Saya ingin mengundang Anda makan siang di restoran Blue Sea."
***
"Papi jahat! Papi kejam! Tak berperikemanusiaan! Kenapa aku harus punya orang tua seperti papi? KENAPA?" Agnes memukul-mukulkan tangannya di atas bantal dengan emosi membuncah. Air matanya mulai berderai membasahi pipi, tangan dan bantal putihnya. Ia hanya ingin papinya mengerti dan paham akan impiannya. Sedari kecil berlatih alat musik, tapi George tak pernah sekali pun melihatnya bermain. "Papi terlalu meremehkan aku! Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Agnes benar-benar bingung, ia ingin sekali menumpahkan kesalnya pada seseorang atau sesuatu. Ia kemudian teringat pada temannya, Paulina dan segera menghubunginya, berharap sang teman mau mendengarkan kisahnya.
"Aku ingin curhat, apa bisa?" Agnes sambil terisak menahan sesak dadanya.
[Kamu kenapa, Nes? Kok nangis?]
"Aku … udah ga tahan lagi. Rasanya duniaku benar-benar sudah berakhir, Lina. Aku tak kuat lagi! Sudah berakhir semua … semua!"
[EH, N-Nes! Kamu kenapa? Kok ngomong kaya gitu? Apa … apa yang lagi kamu omongin? Jangan nekat, Nes!]
Namun, terlambat. Agnes keburu mematikan ponselnya. Lina panik! Dia mencoba menghubungi Agnes kembali, namun justru kali ini ponselnya tak aktif. Gadis itu menggigit ujung jempolnya, panik! Keringat dingin mulai bercucuran, Lina berusaha berpikir jernih siapa yang bisa dihubungi.
"CLARISSA! Ya, dia pasti bisa!"
Lina segera menghubungi Clarissa, namun sayangnya Clarissa juga tak dapat dihubungi. Makin panik Lina! Dia tak mungkin ke rumah Agnes, karena jaraknya yang lumayan jauh serta ini sudah malam, orang tuanya juga tak akan mengizinkan.
"Agnes, semoga kamu ga ngelakuin sesuatu yang nekat."
***
Keesokan paginya, Dio yang sudah menanti kedua orang tuanya di meja makan tampak memasang wajah berseri, tak seperti biasanya. Sebastian dan Donna yang tiba dan duduk di meja makan saling pandang, berpuluh pertanyaan seolah telah terpatri di wajah mereka berdua. Jhon hanya tersenyum tipis melihat keluarga itu tenang dan tanpa kerusuhan di pagi hari.
"Sayang, apa kami melewatkan sesuatu?" tanya Donna memegang tangan putranya.
"Sesuatu apa, Ma?" Dio balik tanya sambil tersenyum.
"Itu, kamu senyum-senyum terus dari tadi. Apa kamu mau berbagi bersama kami?" pancing Donna.
Dio langsung merubah ekspresinya. Dia menarik senyumnya dan menggantinya dengan wajah dingin tanpa ekspresi, apalagi setelah melihat sang papa yang sama sekali tak memandangnya.
"Oh, bukan apa-apa, Ma. Dio hanya teringat akan adegan lucu di anime yang Dio tonton." Dio segera mengambil roti dan mengolesinya dengan selai coklat kesukaannya tanpa bicara lagi.
Donna mengernyitkan keningnya, sang Mama merasa ada yang disembunyikan oleh putranya. Donna dengan cepat melirik Jhon memberikan tanda kernyitan di wajahnya, namun Jhon membalas dengan gelengan kepala.
"Gimana home schooling kamu, Dio? Guru kamu enak?" tanya Sebastian sambil menikmati roti isinya.
"Enak," sahut Dio sekenanya.
Sebastian menghentikan mulutnya, dia melihat ke arah Dio dengan tatapan tajam seraya berkata, "Nilaimu harus memuaskan di semester ini, Dio. Apalagi, Papa sudah daftarkan kamu ke MIT, jangan buat Papa kecewa apalagi sampai mempermalukan Papa di depan para kolega. Bagas, anak Tuan Adi katanya akan libur musim panas dan akan pulang ke Indonesia. Persiapkan dirimu! Tak ada komunikasi, tak ada teman, tak ada dunia luar … yang ada hanya buku dan setumpuk kertas yang berisi masalah yang harus kau pecahkan!" Sebastian menyudahi sarapannya dan meninggalkan ruang makan.
"Jangan pernah berpikir kau bisa menyentuh alat musikmu jika tak bisa menuruti ucapan Papa, Dio." Ucapan yang dikeluarkan dengan nada datar, namun begitu menusuk dan menyakitkan, entahlah … rasanya seperti tertancap sesuatu yang lebih sakit dari trisula Poseidon.
"Dio-"
"Dio ke kamar dulu, Ma. Siap-siap." Tak banyak bicara, Dio langsung bergegas ke kamarnya dengan wajah kesal tentunya. Donna menarik napas panjang dan dalam, mengepalkan tangannya, mencoba tak membuat mood-nya berantakan. Namun sayangnya, mood Donna terlanjur rusak karena ulah sang suami yang terus mencari perkara tiap bertemu dengan Dio.
"Sebastian ….!!!" Donna menarik urat-urat kesal di lehernya. Jhon tiba-tiba mendekati Donna dan membungkukkan badannya seraya berbisik pelan, "Nyonya, kemarin saya melihat ekspresi yang belum pernah saya lihat sebelumnya di wajah Tuan Dio."
"Ekspresi? Ekspresi apa maksudmu? Bagaimana … bagaimana ekspresinya?" Donna membelalakkan matanya dan terkejut dengan ucapan Jhon.
"Tuan muda sangat bahagia, Nyonya. Dia bahkan terlihat sangat menikmati sebuah permainan musik di taman tengah kota."
"Pertunjukkan musik?" Donna melihat Jhon sedikit bingung.
"Benar, Nyonya. Bukan pertunjukkan musik yang besar, hanya pertunjukkan yang dilakukan oleh seorang gadis yang bermain biola."
Donna hanya bisa mendengarkan tanpa menyela atau berkata apa-apa.
"Tuan Dio bahkan meminta gadis itu untuk bermain lagi, Nyonya."
"Apa? Benarkah Dio melakukan semua itu, Paman Jhon?" Donna masih tak percaya.
"Benar, Nyonya Besar."
"Siapa nama gadis itu?" tanya Donna penasaran.
"Paulina, Nyonya."