webnovel

#12 Kesedihan Mamak

Seketika raut kesedihan melingkupi wajah Mamak. Aku geram sekali ketika mengingat kembali perkataan Bu Susi yang niat berkata demikian untuk mengejek. Aku benar-benar berharap, Si Safitri anaknya, akan tidak bahagia dalam pernikahannya. Meskipun akhirnya ku-istighfari juga doa burukku itu.

Aku mengantar Mamak pulang, tepatnya mengikutinya pulang karena kasihan. Tadi beliau bilang merasa kesepian, aku ingin menemaninya.

"Buat apa kamu ikut?" Tanya Mamak ketika menyadari aku membuntutinya dari belakang.

"Pengen temani Mamak, boleh?" Tanyaku. Mamak mengangguk. Kami lalu terus berjalan menuju rumah Mamak yang jaraknya hanya beberapa langkah kaki saja dari rumahku.

Mamak langsung duduk di teras, ngeleset begitu saja di atas lantai karena memang tidak ada kursi di sana. Aku ikut duduk di samping beliau. Niatku, ingin mendengarkan apapun keluh kesah beliau, agar Mamak tidak merasa kesepian.

Karena dulu, waktu aku kecil, hampir setiap hari, seharian aku diasuhnya. Dari pagi mulai ibuku berangkat bekerja hingga selepas siang ibuku pulang kerja. Mamak adalah ibuku, beliau menyiapkan semua kebutuhanku, memandikanku, menyuapiku makan, dan menjawabi semua pertanyaanku meskipun kadang kurang sabar, dan menyuruhku dan Kang Sugi yang banyak bicara untuk diam.

Sekarang, saat giliran beliau sedang butuh orang lain, maka aku harus jadi orang yang pertama yang ada untuk menemaninya.

"Mamak, tidak usah dipikirkan perkataan Bu Susi." Kataku saat kami hanya terus diam, Mamak seperti menerawang ke arah jalan.

"Mana bisa Mamak tak memikirkan, sedang di hadapan mata Mamak sendiri anak Mamak sangat menyedihkan kehidupannya."

"Pasti sebentar lagi Kang Sugi akan pulih, akan lupa, dan akan segera bangkit lagi."

"Mamak juga terus berdoa seperti itu."

Mamak berkata sambil berlinang air mata. Aku tahu, beliau pasti sudah capek menangis. Tapi mungkin bingung juga apa yang bisa ia lakukan selain itu.

Mamak sebenarnya orang yang periang, gesit, senang bicara bahkan terkesan cerewet. Semua yang terjadi membuat beliau jadi berubah menjadi sebaliknya. Sepertinya bukan hanya Kang Sugi yang terguncang karena penolakan lamaran itu, tapi Mamak juga. Mamak juga terguncang melihat putra semata wayangnya depresi. Mamak merasa kehilangan.

Meski sering diomeli, Kang Sugi adalah kesayangan Mamak. Meski sering beliau marahi, tapi juga tidak boleh ada orang lain yang memarahi Kang Sugi, sekalipun itu suaminya atau Bapaknya Kang Sugi sendiri.

Seperti dulu, ketika aku masih kecil, Kang Sugi pernah memboncengku naik sepeda dan membuatku jatuh hingga luka cukup dalam di kakiku, hingga dilarikan ke rumah sakit dan di jahit. Pak Dhe marah besar pada Kang Sugi, Kakang disalah-salahkan terus meskipun dia tidak sengaja, meskipun dia terus menangis minta maaf. Melihat Kang Sugi dimarahi, Mamak Mun pun maju membela anaknya. Sampai terjadi pertengkaran cukup panjang waktu itu.

Sekali waktu, pernah juga terjadi pertengkaran antara aku dan Kang Sugi gara-gara rebutan mainan. Sebenarnya aku lupa hal ini, tapi ibu pernah menceritakannya padaku. Saat itu umurku delapan tahun, Kang Sugi sebelas tahun. Setelah ibu gajian, beliau membelikan kami mainan masing-masing satu. Untuk aku masak-masakan dan untuk Kakang sebuah mainan miniatur yang terdiri dari beberapa macam kendaraan.

Entah kenapa saat itu, aku lebih tertarik pada mainan yang dibelikan ibu untuk Kakang daripada mainanku sendiri. Jadilah aku berusaha untuk mendapatkan mainan itu. Dan pas sekali Kang Sugi juga sangat menyukai mainan itu. Terjadilah rebutan diantara kami. Hingga terjadi sebuah pertengkaran sengit. Saat Kang Sugi tak mau meminjamkannya padaku, aku membanting sebuah miniatur mobil polisi hingga pecah terbelah. Kang Sugi terkejut melihat hal itu, aku pun yang membantingnya juga terkejut. Seperti feflek yang Sugi langsung mencubit lenganku dengan cukup keras, aku langsung menangis dengan sekencang-kencangnya, dan lari pulang mencari ibu.

Aku mengadukan pada ibu apa yang terjadi tanpa menceritakan penyebabnya. Tak kusangka, ibuku marah besar. Ibu langsung menggelandang ku kembali ke rumah Mamak. Beliau memarahi Kang Sugi.

"Itu bulek yang belikan mainan, kok nggak boleh dipinjam adik e?" Kata ibuku memarahi Kang Sugi dengan nada sedikit tinggi. Mungkin ibu juga panik karena aku menangis histeris hingga teriak-teriak. Kang Sugi bingung, dia menolehku kesal dan melototiku.

"Apa itu? Malah memelototi adeknya?" Kata Ibu sambil menjewer telinga Kang Sugi. Wajah Kang Sugi seketika memerah dan berair. Melihat Kang Sugi seperti itu, aku ketakutan sendiri.

Pada saat itulah, Mamak keluar, dan begitu Mamak muncul tangis Kang Sugi langsung pecah. Kakang berlarian memeluk Mamak, meminta perlindungan. Wajah Mamak langsung berubah merah, beliau muntab melihat anaknya ketakutan.

"Hey, Muslimah! Apa yang kau lakukan? Anakku ketakutan!" Kata Mamak kepada ibu dengan suara keras, aku takut sekali waktu itu. Itu pertama kali melihat mereka bertengkar.

"Tanyakan saja pada anakmu!" Jawab Ibuku dengan ketus sambil menarik tanganku dan berlalu pergi. Aku menangis sambil terus menatapi Kang Sugi dan Mamak dengan penuh penyesalan.

Itu terakhir kalinya aku membuat masalah. Saat itulah aku tahu, sekalipun Mamak Mun sangat menyayangiku seperti anak sendiri, tetap Kang Sugi lah anaknya yang paling dia sayang.

Sejak saat itulah aku melihat, posisi Kang Sugi di mata Mamak seperti apa. Itulah mengapa Kang Sugi sangat menyayangi pula Mamaknya. Itulah kenapa Kang Sugi rela tak melanjutkan sekolah demi bisa menemani dan membantu Mamak ke sawah. Padahal aku tahu betul, dia punya cita-cita ingin menjadi polisi. Padahal aku tahu, dia adalah murid yang pintar di sekolah.

"Tapi Mamak tetap takut, Dhil. Bagaimana kalau Kakangmu tidak pulih, bagaimana kalau dia terus seperti itu sepanjang hidupnya, bagaimana kalau dia jadi bujang lapuk?"

Perkataan Mamak Mun membuyarkan lamunanku. Aku menoleh padanya, tampak mendung sekali matanya, mungkin sekali kedip sudah bercucuran air mata beliau. Aku geser badanku sampai badan kami menempel, lalu merangkul beliau.

"Dhila sangat yakin, Mak. Kang Sugi hanya butuh waktu, beberapa hari lagi dia pasti pulih. Dia akan ceria lagi, giat lagi, kembali menjadi Kang Sugi putra kebanggaan Mamak." Kataku sambil menepuk mengelus beliau. Mamak mengangguk. "Mulai sekarang, Mamak juga harus semangat, Mamak harus yakin Kang Sugi akan pulih. Dia hanya sedih, Mak. Dia hanya perlu sedikit waktu. Setelah ini, pasti hatinya akan kembali pulih." Mendengar perkataanku, Mamak mengangguk lagi, kali ini disertai senyum tipis yang manis.

Saat kami tengah asyik mengobrol tiba-tiba. "Aaaaaa PYARRRR." Terdengar suara teriakan bersamaan benda pecah keras sekali. Aku dan Mamak bahkan langsung kompak berdiri. Kami lalu berlarian masuk ke dalam rumah karena suara itu terdengar berasal dari dalam rumah Mamak.

Kami buru-buru menuju kamar Kang Sugi karena curiga ada sesuatu yang terjadi di sana. Dan benar, aku berjingkat ketika melihat Kang Sugi sedang berdiri di depan sebuah pigura cermin yang sekarang sudah pecah berkeping. Tangannya mengepal berlumuran darah, dia tampak ngos-ngosan seperti orang sedang dikuasai amarah.

"Kakang!" Kataku berteriak spontan. Mamak menangis histeris melihat itu.