"Ha?" Raja membuka lebar mulutnya. Dia betul-betul lupa mengisi bahan bakar. "Terus, Bram isi bensin di pom oren, kan?"
"Kagak! Di pinggir jalan, haha.. udah mogok soalnya."
"Aargghh! Mobilkuuu...!" Raja menjambak rambutnya gusar disusul tawa keras Teya.
"Makanya jangan sebel mulu, jadi kualat kan sama adik sendiri."
"Duh, besok aku harus ke bengkel, haruuuss ... temenin ya Beb."
"Yaahh, kok jadi bawa-bawa aku sih. Malas ah nungguin kamu berjam-jam di bengkel."
"Ohh gitu ya, berarti kalau kamu minta anterin nyalon lagi, aku juga gak mau ah."
"Beebbbiii," rengek Teya manja. "Kan kamu bisa pergi sama Bram, kan dia yang ngisi bensinmu sembarangan.."
"Bisa jadi kanebo kupingku kalau ajak dia, terus dengerin dia ngoceh sepanjang hari."
"Hahaa ... yaa deh, aku anterin besok."
Teya menyesap coklat panasnya sedikit demi sedikit. Dia kemudian menilik jam tangannya, memastikan waktu. "Beb, sejam lagi aku ada pemotretan, kalo misal masih hujan, terobos aja gak papa. Aku kan bisa ganti baju di sana."
"Ck!" decak kesal Raja, "gitu kamu tadi kasi mobilnya ke Bram."
"Gak papaa.. kasian tu anak, biar sekali-kali nyenengin Gia."
"Eh, memangnya udah jadian? Belom kan?"
"Bram? ... sama Gia?"
"Iyaaaa, Kak Teeeyya! Siapa lagi!"
"Ahaha.. sori, aku gagal fokus, Beb. Ummm.. belom, masih pedekate katanya. Kamu nih gimana, yang kakak sepupunya kan kamu, kok malah gak tau sama adiknya."
Raja menarik satu sudut bibirnya merapat, "yaa dia cerita, tapi mungkin pas aku tidur, ahahaa!"
Berikutnya hanya obrolan ringan yang terjadi di antara keduanya, hingga tersisa tiga puluh menit sebelum waktu pemotretan.
"Beb, udah yuk, cabut. Ntar telat," ajak Raja meninggalkan tempat. Dia menyampirkan jaketnya di siku kirinya, dan tangan kanannya terulur pada Teya.
"Yuk," Teya menerima tangan Raja dan berjalan menuju pintu keluar setelah mengangguk berpamitan pada pelayan yang menatapnya pergi.
Tak perlu membayar, Teya ada owner cafe tersebut. Dia hanya tak ingin tampak terlalu mencolok sebagai seorang pengusaha sehingga penampilannya nyaris biasa saja.
Keduanya tiba di parkiran, saling mencari letak motor Bram. Hujan sedikit surut menyisakan genangan di beberapa titik. "Beb, yakin mau naik motor?" tatap Bram serius.
"Iyahhh, Bebi, berisik ih. Buruan yang mana motor Bram? Hitam itu bukan?" tunjuknya pada sebuah motor tanki besar yang memiliki strip merah di bodi kanan dan kirinya.
"Iya," jawab Raja singkat. Teya belum juga menyadari hal penting yang ada dalam pikiran Raja.
Tangan Raja ditarik oleh Teya yang antusias motoran kali ini. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan permen. Dia gegas mengenakan jaket kulit miliknya. Senyumnya tak surut sama sekali. Teya sungguh ceria.
"Bebiii..." Raja tak dapat bicara apapun lagi. "Tunggu dulu," lanjutnya.
Masih dengan mata yang membulat, Teya memasangkan jaket Raja dengan cekatan. "Kita ada banyak waktu untuk keliling dulu ..
ya Beb, ya?"
"Beb, tapi, masalahnya, aduh.." Raja kebingungan sendiri, Teya tak juga sadar.
"Gak masalah, gak papa, gerimis dikit, kecipratan dikit, gak bakal luntur kita, hahaha!"
Raja mematung, menunggu Teya menghentikan gerakannya.
"Udah, yuk!" gegas Teya sekali lagi.
"Beb ... bentar ya? Coba kamu pikir."
"Huum.. iya, kenapa?"
"Nih.. motor bisa jalan tanpa kunci gak?" Raja menepuk pelan bagian depan motor Bram yang berdiri tegak manis seolah mengolok dua sejoli yang rautnya mendadak berubah konyol.
"Hell !!! Daamnn !!! Braaammm !!! Iiihhhh ... ngeseliiinnn ...!" Teya memekik, memaki Bram tanpa henti.
"Ahahaa.. satu sama kita. 1-1 !! Udah? Beneran songong kan si Bram. Hahaaa!"
"Sialan kantong kresek bekas! Mukanya aja melas banget. Gara-gara itu sampe lupa aku, kalo kunci motornya belum dia kasih. Sial ! Sial ! Sial ! Telpon Bram cepet, Beb!!"
Giliran Raja yang tak bisa berhenti tertawa. Dia melihat wajah lucu kekasihnya yang sedang marah, kesal, dan mengumpat tanpa jeda.
"Kita naik taksi aja, daripada kamu telat. Bang Yanuar bisa murka nanti."
"Huh! Aku gorok anunya si Bram nanti kalo ketemu."
Raja tak hentinya menahan tawa, sedikit tersenyum lalu melingkarkan tangannya memeluk bahu Teya. Dibalas pelukan Teya di pinggang Raja, keduanya berjalan keluar mencegat taksi. Beruntung jarak Flip Out Cafe dan studio tempat pemotretan Teya tidak terlalu jauh. Selain itu, jalanan lengang pasca hujan.
"Harusnya hari ini aku gak ada jadwal, Beb. Cuman ... gara-gara ada talent yang izin sakit mendadak."
"Ya udah gak papa kan, kita juga gak ada tujuan malam ini. Mau nonton juga, kamu gak cocok sama film pekan ini."
"Iya, makasi ya Beb."
Taksi yang mereka tumpangi tiba dengan cepat di studio. Teya berlari masuk meninggalkan Raja yang masih harus pergi ke Atm untuk mengambil uang cash. Setelah dari Atm, dia akan kembali menjemput Teya di studio.
Teya membersihkan diri seadanya kemudian berganti kostum dan make up tipis sesuai tema pemotretan kali ini. Bang Yanuar mengatur semuanya untuk model kesayangannya itu. Dia bahkan sudah menyiapkan dua porsi bakso sumsum sapi kesukaan Teya -juga Raja.
"Mana cowokmu? Abang kangeennn..." tanyanya dengan gaya tangan gemulai khas mas-mas cantik.
"Masih ada urusan bentar. Tau.. gebukin adiknya kali, hahaha.."
"Neiii.. gebukin adiknya? Kok bisa cyinn? Ada kasus apa neii?"
"Haha enggak, Bang. Becanda.. adiknya ngeselin soalnya."
"Fiuuh.. abang kira beneran adu panco. iihh.. pasti tambah keren, tambah ganteng, aa' Raja.."
Teya hanya membalas Bang Yanuar dengan senyum gemas. Dia bisa membayangkan bagaimana ngerinya Raja ketika Bang Yanuar mengelus-elus lengannya. Dan sering kali, Teya justru menggoda kekasihnya untuk duduk berdekatan dengan produsernya, kemudian berakhir dengan omelan Raja sepanjang jalan pulang.
Ponsel Bang Yanuar yang diletakkan di meja rias berdering. Teya membantu mengambilkan, setelah Bang Yanuar menyuruhnya.
Kedua alisnya tertaut sebentar sebab tak sengaja membaca tulisan nama di layar. Dia seperti tak asing dengan nama itu. Tapi segera ditepis, karena pikirnya hanya soal kesamaan nama belaka.
"Halo, darling, ada apa? sudah enakan?" percakapan antara bang Yanuar dengan si penelepon terdengar.
"Aaahh.. gak masalah, darling. Talent pengganti udah dateng kok. Ituu.. yang sering abang ceritakan ke kamyuu. Orangnya sudah di sini."
"..."
"Yaa, take care darling, jaga kesehatan. No problem."
Percakapan singkat itu berakhir. Teya berusaha tak ketahuan jika dirinya mencuri dengar. Dia sok sibuk memainkan ponselnya.
"Cyiinn.. ayo mulai," ajaknya.
"Ehem.. siapa yang barusan telpon, Bang?" Teya merasa ingin tahu, kenapa bang Yanuar menyebut dirinya secara implisit pada orang di seberang telepon sana.
"Talent baru. Yang sakit ituloh cyiinn.."
"Oiya, memang namanya siapa, Bang? Aku belum pernah ketemu dia ya."
"Namanya Giani. Minggu depan kalian ada jadwal bareng."
"G- Gia? Giani?" gumam Teya pada dirinya sendiri. "Apa itu Gia-nya Bram? Ijin sakit? Apa tadi Bram jemput untuk antar dia ke dokter? Ah mungkin beda orang."
***