Langkah-langkah kakiku terus bergerak maju meski hatiku terasa begitu berat. Diantara keputusasaan aku hanya lebih condong pada realita, setidaknya aku masih bisa menasihati Jessi meski kabar teror itu sudah semakin luas. Aku memaksa untuk berpikir positif dan semoga saja Jessica tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari. Itu amat merugikan. Kusempatkan untuk melirik arloji dari tangan kiri,
"Baiklah masih ada lima belas menit," ucapku sendiri dalam hati saat memasuki kawasan kantin.
Disana masih banyak orang, berbeda dengan masa sekolah, di kampus kita tidak akan tahu jam istirahat. Sebab setiap kelas memiliki jadwalnya masing-masing. Lagipun tidak ada suara bel yang menandakan pergantian jam, hampir semua berdiri sendiri. Kembali kudorong energiku untuk berjalan maju, sialnya orang yang ingin kutemui saat itu tiba-tiba malah menabrak. Beruntung kami berdua sedang tak membawa apapun di tangan, jadi tidak ada yang jatuh.
"Aster, kau tidak apa-apa?" tanya Jessica sembari mengedarkan matanya untuk memeriksa tubuhku baik-baik saja.
Ya, sebab aku lebih kecil darinya, mungkin saja ia cemas akan melukaiku tanpa disengaja. Aku menghembuskan nafas lega, untung saja Jess belum hilang dari kawasan itu. Jadi, aku bisa berbicara dengannya.
"Jess, aku sengaja mencarimu kesini, apa kau membocorkan semuanya?" tanyaku langsung pada intinya saja.
Perempuan yang rambutnya sedang dikuncir tunggal ke belakang mengedarkan pandangan sesaat.
"Kau mestinya bersyukur karena tak banyak orang tahu tentang dirimu, lagi pun aku tak menceritakan soal teror itu terjadi di kamar Aster Widoyo, aku hanya mengatakan jika batu itu menimpa jendela salah satu kamar di rumah Nyonya Jean, dan... Yang lebih penting adalah tentang teror serupa pada kampung halaman nenekku dulu, kau tidak perlu khawatir jika kau memang bukan pembunuh iya kan?" tawa Jessi terdengar kecil di kata terakhir.
Entah sindiran atau candaan yang jelas aku tidak suka, telingaku sudah muak mendengar pertanyaan retoris tapi menyudutkan itu. Aku ingin menangis.
"Bukan begitu Jess, aku hanya mencemaskan Nyonya Jean, jika cerita tak mengenakan itu beredar luas maka rumah Jean akan menjadi korban, aku yakin penyewa akan semakin sedikit gara-gara teror jendela," jelasku mencoba mengalihkan Jessi dari kekhawatiranku sebelumnya.
Perempuan itu memakan waktu lama untuk berdiam, ia tak segera membalas ucapanku. Aku rasa aku melakukan hal yang benar untuk mengatakan hal demikian, tidaklah baik mengumbar informasi yang akan merugikan pihak lain, apalagi jika orang itu dekat dengan kita.
"Bagaimana dengan Ari, apakah ia melakukan hal yang sama denganmu?" tanyaku memancing suara dari Jessi.
"Tidak, ia akan berada di rumah seharian ini," Jessi kemudian menatap mataku, "aku pikir perkataanmu ada benarnya, betapa bodohnya aku tidak berpikir sejauh itu, bukankah aku sudah merepotkannya dalam waktu lama? Aku harus meminta maaf sepulang dari sini,"
Langkah Jessica hendak berlalu, tetapi sebisa mungkin aku menghalau. Ada satu hal lagi yang belum kusampaikan padanya.
"Kumohon jangan sebarkan kabar itu lagi," pintuku berusaha memelas.
Ia mengangguk dan meninggalkanku pergi, entah kemana arah tujuannya yang jelas aku cukup tenang. Semoga saja Jessi bisa memegang ucapannya.
***
Pukul 2 siang.
Betapa taatnya dosen pengampu kami pada waktu, ia bahkan tak segan menjungkirbalikkan siswa yang terlambat masuk kelas. Bila dikatakan killer - tidak juga, hanya saja sangat ketat terhadap kedisiplinan murid-muridnya. Jadi, aku yakin tidak ada lagi yang akan memasuki kelas setelah Mrs. Bianca duduk di kursinya. Termasuk Flo, kukira aku akan segera bertemu dengannya saat kelas di mulai, tetapi sama saja. Aku masih belum mendapat kabar apapun darinya. Entahlah.
Wanita pemilik tubuh ala gitar spanyol di depan memulai kelas seperti biasa. Ia akan berbicara panjang lebar - bisa hampir satu jam penuh tanpa jeda sedikitpun. Lalu, menjelang akhir akan memberikan tugas yang harus dikumpulkan via email. Bahkan Mrs. Bianca sama sekali tak pernah membuka sesi tanya jawab dengan mahasiswanya. Apabila ada pertanyaan mendesak, maka harus menemuinya secara personal. Demi apapun ia tidak akan membalas pesan-pesan yang masuk. Sungguh kepribadian yang aneh, kukira ia akan jadi dosen primadona. Namun, nyatanya tidak.
Kaki-kaki jenjang Mrs. Bianca melangkah anggun menuju pintu keluar, ponsel yang diletakkannya di atas sebuah buku paket menyala. Posisi meja yang dibuat bertingkat membuatku bisa melihat sekilas notifikasi layar. Sebuah pesan masuk dari kontak yang diberi nama 'Flo'. Oh tidak, aku langsung panik, untuk apa Flo mengirim pesan pada dosen itu? Tunggu... Apa Flo tersebut sama dengan Flo yang kumaksud? Jika benar, mengapa Mrs. Bianca menyimpannya hanya dengan nama singkat bukannya Flower Anggraini? Itu mungkin akan lebih pantas untuk orang-orang dekat. Ya, mungkin saja Flo yang mengirim pesan adalah Flo lain.
Salah satu teman disampingku - Rain menjatuhkan semua bukunya ke lantai, sepertinya lelaki itu agak kurang sehat.
'Uhukk-hukk'
Lalu muncul suara terbatuk-batuk yang selama pelajaran tadi tidak ada. Apakah Rain menahannya? Jika benar, itu sangat tidak nyaman.
"Rain, apa kau baik-baik saja?" tanyaku sembari menyentuh pundaknya.
Dia menoleh dan tersenyum kecil sebelum bersuara,
"Ya, mungkin akan membaik setelah minum obat dan beristirahat,"
"Kupikir kau perlu memeriksakan diri ke dokter," saranku sebaik mungkin, namun kurasa terdengar berlebihan.
"Tidak perlu, ini hanya batuk ringan," tolak Rain setelah sebelumnya tertawa kecil. Huh, obrolan yang sia-sia.
Kulihat ada Elia di bangku paling belakang, sebenarnya agak segan untuk menghampirinya. Akan tetapi, setelah pertemuan singkat di perpustakaan tadi kurasa tidak ada salahnya. Ia sedang berkumpul dengan teman-teman langganannya.
"Elia, apa kau melihat Flo?"
Perempuan berbaju bunga-bunga itu menggeleng, sedangkan pasang mata yang lain mulai memperhatikanku.
"Aku sama sekali tidak melihatnya sejak pertemuan kemarin,"
"Uhmm, baiklah," aku hendak menarik langkah mundur jika saja pertanyaan-pertanyaan tak asing menahan diri.
"Aster, tunggu!"
"Kudengar di rumah Jean ada teror mengerikan ya?"
"Apa benar ciri-cirinya mirip seperti teror sepuluh tahun lalu yang diceritakan Jessica?"
"Apa kau masih baik-baik saja?"
"Jika aku menjadi dirimu, aku tidak akan keluar rumah sampai polisi menangkap pelakunya,"
"Ooh mengerikan sekali jika di rumah Jean nanti akan ada pembantaian,"
"Itu tidak akan terjadi, bukannya petugas keamanan menjaga rumah Jean 24 jam,"
"Sudah tidak lagi, itulah mengapa Aster dan Jess bisa keluar dari rumah,"
Yap, ternyata kabar teror jendela sudah melebar kemana-mana, tak ada yang bisa kuperbuat lagi. Sungguh, aku sangat mengkhawatirkan tentang Flo, dimana dia sekarang?
Tak ada sepatah katapun yang keluar untuk menjelaskan teror jendela kepada mereka. Aku cepat-cepat pergi dari sana. Ada satu tujuan yang barusan terpikirkan untuk mencari keberadaan Flo, siapa lagi kalau bukan pacarnya - Andreas. Bukankah mereka berdua sangat dekat? Bahkan kabarnya, Flo lebih dekat dengan Andreas ketimbang kakak kandung yang tinggal serumah dengannya. Ya, selanjutnya adalah Fakultas Ekonomi.
#bersambung#