Tak kuat menahan perih akibat tancapan anak panah si pria bertopeng, tangan Giny terpaksa mencabut benda berujung runcing itu setelah mendudukkan diri di lantai.
"Aaargghhh..."
Tanpa waktu lama darah merah segar segera mengotori celana jeans-nya, Giny meringis menahan rasa sakit yang luar biasa. Tiba-tiba,
Ttok-ttok-ttok
Mata Giny berpaling ke arah sumber suara, sosok itu, sosok bertopeng tadi muncul di jendela. Giny terpaksa bangkit dan menarik gorden meski kakinya terpincang-pincang.
"Siapa kamu?"
"Nona Giny, aku adalah penjemput kematianmu," jawab sosok itu dari jendela.
"Omong kosong!"
"Ohh jadi kau tidak percaya dengan kutukan Victoria Black?"
"TIDAK, sama sekali tidak!" Giny bergerak ke ruang tamu, tangan kanannya meraih posel untuk menelpon seseorang. Bisa kulihat sebuah kontak yang diberi nama 'Aster', ya dia meneleponku. Tapi ponselku, dimana ponselku?
Ting...
Terdengar bunyi suara telepon diterima, tapi siapa? Aku sedang terikat dan benda itu tidak ada di tanganku.
"Aster, kamu dimana? Cepat kesini! Ada orang misterius sedang mengintai manor, tolong selamatkan aku!" ucapnya histeris.
"Kau berharap ada orang datang nona?"
Lagi-lagi suara itu.
"Dengar! Tak ada yang bisa menolongmu kali ini, kecuali..." terpotong,"kecuali dirimu sendiri,"
"Apa yang kau inginkan dariku? Cepat katakan!"
"Sudah kubilang nona, aku ingin kau memainkan keyboard yang kusiapkan disana,"
"Tapi, a-aku tidak bisa,"
"Hahahhahhahhaha," suara itu tertawa puas, "BOHONG!"
Giny tak menjawab, keringat dingin mengucur pelan dari keningnya.
"Kau pasti bohong kan nona? Lalu, bagaimana dengan pernyataanmu dua tahun lalu itu? Kau berkata kalau lomba akustik aku maju dengan keyboard-ku, sekarang majulah nona Giny, mainkan keyboard-mu untukku! Atau... atau kau akan berakhir di neraka malam ini juga," suara sosok itu terdengar semakin tajam dan mengancam.
"Sudah kubilang aku tidak bisa! A-aku hanya membual waktu itu,"
"Tapi... Bukankah perkataan harus dipertanggung jawabkan? BUKA PINTUNYA SEKARANG!!"
"Tidakk!"
"Baiklah, itu berarti kau menyuruhku memaksa masuk,"
"Hentikan! Atau aku telepon polisi?!" gertak Giny sungguh-sungguh.
"Silahkan, jika polisi datang pun aku bersumpah kau sudah menjadi mayat ahahhaha," suara itu tertawa puas lagi sebelum menutup telpon.
Giny kembali membanting ponsel ke sofa sementara langkahnya bergerak untuk memeriksa kembali setiap pintu dan jendela terkunci rapat. Bahkan sesekali ia mengintip dan mengawasi keadaan diluar, berjaga-jaga kalau sosok tadi masih berkeliaran di sekitar manor. Namun, mata Giny tak menangkap sesuatu apapun, sosok hitam bertopeng tadi sama sekali tak terlihat dimanapun.
Apa Dia sudah pergi? - batinku menerka-nerka.
Tapi tidak mungkin, kutukan Victoria tidak mungkin musnah begitu saja. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga, Giny mulai berbalik badan, damn! Ya, sosok itu sudah ada di dalam villa, Giny tak sempat lagi mengelak,
Bughh! Praaangg!
Sebuah vas besar dipukulkan ke kepalanya hingga pecah, sekejap pandangan Giny mulai kabur. Namun, langkah sempoyongannya masih bisa memaksa Giny masuk ke dalam kamar.
"Buka pintunya!"
Tubuh Giny masih berusaha sekuat tenaga untuk menahan pintu itu, sementara pandangannya masih berputar-putar. Terkadang Ia menggelengkan kepala untuk menormalkan lagi pandangannya.
"BUKA PINTUNYA! Kau harus mati malam ini!" tukas sosok itu sambil memaksa mendobrak pintu kamar. Seluruh tubuh Giny gemetar kala mendengar dirinya harus mati. Sedangkan aku juga tak kalah gemetar, kalau saja kedua tanganku tidak terikat pasti saat itu juga aku akan berlari untuk membantu Giny.
Sosok itu tak pernah berhenti barang sedetik pun untuk memukul dan menendang pintu kamar. Teriakan-teriakan kotornya mengacaukan keheningan malam. Sementara Giny di dalam sana tak gentar dengan batin dan fisik terguncang.
"Buka pintunya, sialan! Aku harus menarik lidahmu keluar kali ini!"
Tiba-tiba sosok itu mengangkat pisau yang dikeluarkan dari saku celananya, dan ditancapkannya ke arah pintu.
Jleb!
Slassh!
"Aarrghhh," Giny meringis pelan kala benda tajam itu tak sengaja menggores lengannya. Sontak gadis itu langsung menjauh dari arah pintu.
Jleb!
Jleb!
Pisau itu bergerak semakin brutal, Giny semakin menjauh bahkan sampai punggungnya bertemu dengan tembok. Wajah ketakutan tak dapat disembunyikan lagi. Dan, untuk terakhir kalinya,
Jleb!
Logam runcing itu tak lagi bergerak, tangan yang mengendalikannya juga sudah terlepas. Perlahan, langkah sosok itu mulai menjauh dari pintu, dan...
Brakk!
Pintu kamar berhasil diluluh lantahkan oleh psycopath itu, ia lalu mendekati Giny yang sedang terpojok dan menggapai rambut gadis itu.
"Jangan sentuh aku!!" tukas Giny memberontak. Namun, tangan kanan sosok itu menarik rambut Giny dengan kasar.
"Aarrghhh," perempuan yang tidak bisa berbuat apa-apa itu hanya meronta kesakitan. Sosok itu menyeret Giny keluar kamar, lalu mendorongnya keras hingga kening Giny membentur lantai.
"APA YANG KAU INGINKAN?!"
"Aku ingin balas dendam,"
"SIAPA KAU? Aku sama sekali tidak mengenalmu!"
"Tapi aku mengenalmu, dan ini adalah akhir hidupmu,"
Giny mulai bangkit, mencuri waktu untuk bisa lepas dari sosok itu, tapi nihil. Rambut Giny terasa dibakar kala tangan itu menarik kasar agar tubuhnya tetap di lantai. Tangan dan kakinya diikat, lalu didudukkan layaknya calon korban penyiksaan di beberapa film thriller. Sungguh miris aku hanya bisa melihat peristiwa mengenaskan itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Sebuah gunting keluar dari saku sosok bertopeng itu, ia lalu menekan pipi Giny agar mulutnya terbuka. Meski Giny berkali-kali mengelak, tetapi sosok itu tampak sangat bergairah untuk melakukan sesuatu pada temanku.
"Nona, setidaknya kau akan mengerti bagaimana nasib seorang pembual berakhir,"
Gunting itu masuk ke dalam rongga mulut yang sedang terbuka, menyentuh dan menggoda lidah Giny agar terjulur keluar. Ia semakin berontak, lehernya bergerak ke kanan-kiri agar gunting itu segera menjauh, tapi tidak. Tidak terjadi apa-apa, sampai sosok itu sengaja menarik lidah Giny, dan..
Kresshh!
Srsssshhh!
Cairan merah yang masih segar turun bak air terjun dari mulut Giny, ia tak bisa lagi bersuara dengan jelas. Aku menelan salivaku sendiri.
Kresshh!
Srssshhh...
Darah Giny berceceran mengotori lantai, mulutnya sudah tak berbeda seperti sumur darah dadakan. Cairan itu tak pernah berhenti untuk mengalir keluar, dan..
Blukk!
Sepotong daging berlumur darah jatuh tak jauh dari sepatu hitam sosok itu, hanya suara tawa tak berdosa yang mengiringi kejadian tragis di manor. Bahkan isak tangis Giny pun sampai tak terdengar. Namun, tak cukup sampai disitu, sebuah senjata lain keluar dari saku psycopath. Kali ini hanya sebuah pisau lipat kecil, Giny menggelengkan kepalanya, kentara sekali wajah pasi ingin diampuni.
"Sampai jumpa di neraka,"
Slasshh..
Digoreskannya pisau itu di leher Giny dengan cepat, membuat darah segar mengucur deras. Tubuh Giny langsung ambruk sementara darahnya terus mengotori lantai, tanpa sadar mataku berlinang. Sosok itu terus menatap korbannya, menikmati detik-detik terakhir nyawa Giny Kumalasari,
"Matilah, perlahan-lahan!" ucap psycopath itu untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan seorang yang sedang sekarat disana.
#bersambung#