"...kelinci-kelinci itu tidak pernah melibatkan diri ketika sepasang rusa di sana bertengkar. Mereka sadar akan porsi masing-masing. Pada tempat masing-masing."
*****
Son Kyuhyun berlari secepat mungkin menyusuri koridor rumah sakit, berusaha menyelip di antara langkah para pengunjung dan terburu menghampiri ruang tempat adiknya terbaring tak sadarkan diri akibat datangnya lagi trauma masa lalu. Pasti sulit bagi gadis berbibir apel itu menghindari hujan deras beriring badai kilat pada kemungkinan munculnya suara-suara bising benda berjatuhan. Setiap kali hal serupa terjadi mengisi hari, memori otaknya akan otomatis mengingat kisah menyedihkan di mana mobil yang dia dan orang tuanya tumpangi harus terpental beberapa meter dalam sebuah kecelakaan beruntun. Sang ayah memiliki kekuatan besar menyelamatkan orang-orang tercintanya terlebih dahulu, menjadi pahlawan sebelum ikut lenyap bersama ledakan mobil.
Luka akan selalu meninggalkan jejak. Rasa sakit selalu dapat disembunyikan menggunakan banyak sekali cara, termasuk berpura-pura melupakan kisah paling menyedihkan. Kekhawatiran Son Kyuhyun si pengacara cerdas masih terus berlarut bahkan setelah Aerin mengatakan bahwa adiknya baik-baik saja. Banyak sekali pertanyaan dia ajukan seperti serangan ribuan peluru pada Dokter Kim Suho yang baru saja datang untuk sekadar melakukan pemeriksaan ringan, bukan tiba-tiba terdiam karena terlalu bingung harus memikirkan setumpuk jawaban dalam beberapa kali kejapan mata. Hubungan mereka cukup dekat mengingat Suho sering bertanggung jawab atas pemeriksaan Yoon Jihyang—ibu dari Hyejoo dan Kyuhyun.
Trauma atau penyakit mental sejenisnya bukan sesuatu yang selalu dapat ditangani sembarang petugas medis. Berdasarkan analisis dokter umum rumah sakit, tidak ada diagnosis tertentu dari Hyejoo yang perlu dikhawatirkan berlebihan kecuali perihal kondisi jiwanya. Dokter Kim Suho sedang memberikan penjelasan singkat ketika kedua mata Hyejoo perlahan-lahan membuka menandakan munculnya kesadaran. Hanya dalam batas serta jarak pandangnya gadis itu mampu menemukan sang kakak dan sepupunya berdiri di masing-masing tepi ranjang memberikan air muka tak tenang. Pupil bergerak mendekati ekor mata. Dari telapak kakinya api menyulut membangkitkan seluruh organ tubuh dan mengumpulkan seluruh energi secepat kilat hingga muncul kekuatan untuk duduk serta mengibaskan rambut persis adegan dramatis sebuah film.
Ini adalah kali pertama Suho mendapati seorang pasien pulih lebih cepat dari satu kedipan mata selama enam tahun sepak terjangnya di dunia medis. Bilah bibir Hyejoo sedikit terbuka mempertontonkan deretan gigi. Tingkahnya kembali memperjelas pada hampir seluruh penghuni rumah sakit tentang kekaguman serta hasrat untuk mendapatkan hati Dokter Kim Suho yang bukan hanya memiliki wajah memukau, tetapi juga kepribadian ramah penggetar jantung deretan perempuan.
"Senang bertemu denganmu, Dokter Kim," sapa Hyejoo.
"Senang melihatmu baik-baik saja, Hyejoo-ssi," balas Suho.
Bunyi decak terdengar di antara pertahanan senyum dan setengah kedipan mata. Hyejoo mencoba mengingatkan, "Sudah berapa kali aku katakan? Jangan bicara formal padaku, Dokter Kim. Apa kita masih terlalu asing untuk terlihat lebih bersahabat?"
"Ide yang bagus, tapi aku lebih nyaman begini," ucap Suho, menggunakan intonasi suara selembut bulu merpati yang begitu menggelitik kedua telinga Hyejoo.
"Baiklah, aku akan selalu mendukung pilihan yang membuatmu lebih nyaman," sahut Hyejoo.
"Lalu bagaimana keadaanmu? Merasa jauh lebih baik sekarang?" tanya Suho. Topiknya harus segera berubah karena pengalaman dari hari-hari sebelumnya, Hyejoo akan kian vokal mengucap kalimat menggelikan—yang sejujurnya beberapa kali berhasil mempercepat degup jantung Suho.
"Tidakkah menurutmu ini seperti takdir? Tuhan pasti memberikanku sedikit rasa sakit agar kau bisa menyembuhkannya. Setelah ini aku harus pergi ke gereja untuk mengucap banyak terima kasih."
Seraya melepaskan stetoskop dari lingkar leher dan menyimpannya dalam saku jas khusus dokter, diam-diam Suho tersenyum mendengar jawaban Hyejoo. "Terima kasih karena kau berhasil melenyapkan rasa sakit itu," ucapnya.
Kepala Hyejoo menoleh cepat sementara tangannya mengudara dengan telapak tangan melebar. Dia kembali memusatkan perhatian pada sang pujaan hati setelah mengatur nafas serta jeritan jiwa pengagum. "Ini bukan waktu yang tepat memamerkan senyuman. Kau pasti tidak ingin aku kembali pingsan karena—"
Satu pukulan tepat menghantam salah satu bahu Hyejoo. Pelakunya tak lain dan tak bukan adalah Kyuhyun, di tempatnya berdiri sedang mengerutkan dahi dan mengeraskan rahang persis seperti orang yang tengah dilanda emosi. "Kau berpura-pura pingsan agar bisa bertemu dengan Dokter Kim, huh?!" serunya.
"Apa maksudmu? Tentu saja tidak!" Hyejoo menjawab tak kalah keras.
"Jangan mempermalukanku, Son Hyejoo. Bersikap yang sopan pada Dokter Kim," tegur Kyuhyun.
"Aku sangat sopan padanya. Aku memperlakukannya lebih baik dari yang kau kira, oppa!"
"Kau membuatnya tidak nyaman, bodoh!"
"Justru kau yang membuatnya tidak nyaman! Pergilah, seharusnya kau tidak datang."
"Hey, aku ini kakakmu!"
"Lalu apa? Hanya kau yang boleh bicara dan aku tidak?"
"Astaga, anak ini benar-benar! Ayo, kau harus menemui Dokter Han Minseo lagi untuk melakukan pemeriksaan."
"Tidak, aku baik-baik saja. Lagi pula aku bosan bertemu dengannya terus."
"Kau bisa ada di sini karena kau tidak baik-baik saja, Son Hyejoo!"
Pada saat-saat tertentu Aerin selalu mengucap banyak syukur karena dia dilahirkan tanpa saudara kandung sehingga tidak pernah terukir dalam catatan sejarah kehidupannya pertengkaran antara kakak-adik bagaikan kucing dan anjing. Mempertemukan seseorang yang protektif dan idealis dengan seseorang yang menginginkan kehidupan lebih bebas dari burung elang memang tidak pernah menciptakan hasil baik. Sekali lagi Aerin menundukkan kepalanya, meminta maaf pada beberapa pengunjung rumah sakit karena gangguan kebisingan antara dua sepupu kurang warasnya itu, termasuk Dokter Kim Suho yang hanya meringis canggung ketika Aerin melambaikan tangan sebagai tanda sederhana salam perpisahan.
*****
Pesta kejutan ulang tahun seorang teman tetap berjalan sesuai rencana hanya dengan perbedaan bahwa Aerin memutuskan tak ikut tenggelam dalam pesta tersebut. Berita di layar televisi beberapa saat lalu membawanya datang menghampiri sebuah rumah mewah di mana sang kakek tinggal bersama cucu dari anak bungsunya yang kini sibuk mengelola cabang perusahaan KS Group di Incheon. Para pelayan berseragam rapi memberikan sapaan hormat sesuai standar tradisi tak tertulis, dan pria berambut klimis yang merupakan penanggung jawabnya mengantarkan Aerin sampai di ambang pintu menuju halaman belakang rumah. Melalui penghalang berbahan kaca itu Aerin mendapati sosok tua sedang bercengkerama dengan sepasang rusa.
Sekitar enam lampu penerangan berusaha mengalahkan sinar rembulan, memastikan sekumpulan hewan jinak di sana tak perlu khawatir tidur dalam keadaan gelap, meski secara alami mereka biasa melakukannya. Aerin meraih beberapa wortel segar dari kotak makanan tanpa membuat suara khusus yang bisa saja mengganggu waktu menyenangkan sang kakek. Dia mendekat pada rumah kayu milik lima ekor kelinci gemuk berbulu lebat. Mereka hampir seperti bola.
Terkadang Aerin merasa heran bagaimana bisa kakeknya selalu memiliki waktu bercengkerama dengan hewan-hewan peliharaan sementara masih ada begitu banyak masalah perlu dia selesaikan cepat. Aerin ingat ketika kakeknya mengatakan bahwa dia lebih senang berteman dengan hewan dibandingkan manusia yang sifatnya tidak lagi dalam batas.
Son Kyungsan mengakhiri cengkerama intim tersebut dengan belaian pada masing-masing kepala rusa. Aroma teh kamomil buatan pelayan dapur paling senior di rumah telah mengundangnya segera datang, maka dia beralih menduduki salah satu bangku besi berukir diikuti oleh si cucu kesayangan. Sudah begitu lama Kyungsan mengurangi penggunaan gula sehingga mayoritas minuman pesanannya hampir tidak mengandung rasa manis, seperti teh kamomil yang baru saja disesapnya sedikit.
"Apa menu makan malammu?" tanya Kyungsan setelah menempatkan kembali cangkirnya di atas meja.
"Aku sedang diet," jawab Aerin.
"Kenapa?" lanjut Kyungsan.
"Mendapatkan berat badan ideal," sahut Aerin.
"Kalian memiliki fisik seperti anak kembar, tapi ternyata memang memiliki kebiasaan sangat berbeda. Porsi makan Hyejoo sangat banyak dan dia tidak peduli," ucap Kyungsan.
"Bukan tidak peduli. Hanya saja berat badan Hyejoo memang tidak mudah bertambah." Aerin kemudian ikut duduk di bangku menyilangkan kedua kaki.
"Kakek pikir kau datang untuk mendapatkan masakan buatan Pelayan Seo lagi."
"Apa kakek menonton berita hari ini?" Aerin mulai mengubah topik perbincangan.
"Tentu saja. Seorang artis idola dikabarkan berkencan dan banyak penggemar yang kecewa."
"Lalu apa rencana kakek setelah melihat berita hari ini?"
"Melarang anggota keluarga menjadi artis?"
"Kakek tahu benar aku tidak sedang bercanda."
"Hidupmu sudah cukup serius dan menegangkan. Kenapa tidak mencoba sedikit bersenang-senang?"
"Aku akan selalu senang jika semua masalah teratasi dengan baik."
Pria berambut klimis yang menjadi penanggung jawab pelayan selama hampir dua puluh tahun datang seorang diri memasang wajah ramah sambil membawa botol anggur merah dan gelas kaca kosong. Sesuai permintaan cucu kesayangan majikan besarnya dia membawakan satu yang memiliki umur paling tua. Aerin menolak tawaran suguhan tuangan anggur merah oleh penanggung jawab pelayan dan mengambil alih minuman penuh kompleksitas itu untuk menuangkannya sendiri ke dalam gelas. Tidak begitu banyak tegukan dia ambil, tetapi cita rasanya sukses memenuhi seluruh rongga mulut seperti yang diharapkan.
KS Group dikenal sebagai salah satu kerajaan bisnis paling sukses di Korea Selatan. Berbagai media sering menyorot kinerja hingga seluruh manusia di dalamnya, termasuk anggota keluarga pemilik. Citra yang baik melekat pada KS Group sebab frekuensi tingginya dalam melakukan kegiatan sosial, mendonasikan dana untuk yayasan-yayasan tertentu, hingga menjadi pendukung berbagai acara bergengsi. Son Kyungsan selalu berusaha menambal kesalahan-kesalahan kecil agar tak merusak gambaran baik perusahaan. Dia adalah pria dermawan yang selalu memikirkan kondisi anak-cucu.
"Mereka terlalu dekat dengan kita. Cepat atau lambat mereka akan sampai di depan gerbang." Aerin kembali bersuara. Tangannya masih menggenggam gelas berisi anggur merah dan sesekali membuat gerakan memutar secara perlahan.
"Aerin-ah, kau tahu, kelinci-kelinci itu tidak pernah melibatkan diri ketika sepasang rusa di sana bertengkar. Mereka sadar akan porsi masing-masing. Pada tempat masing-masing," ujar Kyungsan.
"Apa kakek masih takut jika mengungkap fakta di balik pembunuhan itu bisa merugikan perusahaan?" sindir Aerin.
"Karena paman dan sepupumu banyak bergantung pada perusahaan, tentu saja kakek takut," jawab Kyungsan.
"Setidaknya lakukan sesuatu."
"Fokuslah pada rencanamu saja. Kakek mengizinkanmu melakukannya bukan untuk diam tanpa hasil."
"Besok aku akan bertemu dengan Kwon Jiyong di hotel dan mengakhiri semuanya. Setelah rencana itu selesai, aku akan menjadi kelinci yang terlibat dalam pertengkaran sepasang rusa."
"Alih-alih melakukannya, ajaklah Baekhyun makan malam di sini. Kakek akan membicarakan tanah sengketa dengannya. Lagi pula kau belum pernah mempertemukan kakek dengan pemuda itu."
Sisa anggur merah dalam gelas diteguk habis oleh Aerin. Padahal dia mengharapkan beberapa gelas soju dapat membuatnya mabuk malam ini. Sayang sekali pria penanggung jawab pelayan rumah menolak memberikan alkohol khas Korea Selatan tersebut untuk beberapa alasan. Tujuan awal Aerin datang adalah mengingatkan sang kakek perihal bahaya yang sedang membayangi. Selalu saja seperti biasa, Son Kyungsan ingin mengambil semua beban masalah seorang diri dan membiarkan keluarganya hidup baik-baik saja tanpa khawatir. Tepat saat kaki Aerin mengambil langkah keempatnya hendak pergi, kepalanya menoleh secara otomatis karena sahutan sang kakek.
"Kau harus jujur untuk mendapatkan perlindungan. Kakek tahu Baekhyun memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri dan bahkan orang lain," ujar Son Kyungsan.
"Kakek menyelidiki latar belakangnya?" tanya Aerin.
"Sulit. Entah kenapa sulit sekali menyelidiki latar belakangnya, tapi kakek tahu dia bukan orang yang tepat untuk dijadikan lawan. Bukankah terlalu berbahaya?"
*****
Ikan-ikan kecil dalam akuarium berenang bebas seolah lupa bahwa ada kemungkinan besar tamu hotel mengeksekusi niat jahatnya dengan meremas tubuh mereka sampai hancur. Selama hampir sepuluh menit Baekhyun berdiri melipat tangan di depan dada, memperhatikan ikan berwarna biru yang selalu mencari sudut terbaik untuk menyendiri. Kegiatan tanpa arti khusus itu berhenti bersamaan dengan munculnya Son Aerin dari dalam kamar dengan pakaian berbeda. Gaun putihnya begitu pas memperjelas setiap lekuk tubuh. Memang memiliki gaya lengan panjang dan melebar, tetapi potongan bagian dadanya begitu rendah. Pakaian-pakaian semacam itu sama sekali bukan hal asing untuk tampak membalut seorang Son Aerin.
"Kau sudah menghubungi Oh Sehun?" tanya Baekhyun sesaat setelah Aerin berdiri di sampingnya.
"Dia akan sampai sebentar lagi di hotel Nirvana," jawab Aerin seraya memasang anting-anting.
"Apa aku perlu mengantarmu ke sana?" lanjut Baekhyun.
"Tidak perlu. Kau hanya perlu menunggu di sini sampai aku selesai." Aerin bersahut sambil lalu, menghampiri piring berisi salad pesanannya.
"Hubungi aku jika sudah selesai. Aku akan pergi ke Lightein sebentar karena ada sedikit pekerjaan."
Pergerakan garpu salad Aerin berhenti. Perempuan itu memandang Baekhyun dengan sorot mata tanda kecewa. "Tapi kau berjanji akan menungguku di sini," ucapnya.
"Akan aku pastikan segera datang saat kau menghubungi."
Meski tidak benar-benar rela, Aerin tidak memiliki hak mengalangi Baekhyun yang selalu memprioritaskan Studio Lightein di atas apa pun. "Baiklah," jawabnya.
"Pastikan kau menghubungiku." Baekhyun mengingatkan seraya mengenakan jaketnya yang tersampir di sofa.
"Baekhyun-ah." Aerin bersahut pelan.
"Hmm?"
"Setelah ini selesai, ada yang ingin aku sampaikan padamu. Berjanjilah kau akan menjemputku."
"Tentang apa?"
"Kakakmu, Kim Taeyeon."
*****
Setelah perjalanan panjang menemukan titik lubang galian, ini akan menjadi malam terakhir Son Aerin menempatkan diri sebagai kekasih seorang Kwon Jiyong dan menyempurnakan seluruh berkas penyeretannya ke penjara nanti. Sebuah kendala pertama perusak semangatnya adalah kondisi kamar pesanan—kamar 113—yang memerlukan beberapa perbaikan sebab muncul kerusakan pada mesin pendingin ruangnya. Pihak Hotel Nirvana juga memberi tahu bahwa beberapa kamera pengawas di lantai satu sedang mengalami masalah sehingga keberadaan teknisi bisa saja mengganggu. Itu sebabnya Aerin diminta menempati kamar 305.
Menduduki sofa hitam kamar, Aerin lantas mengirim pesan perubahan tempat pertemuan pada Jiyong yang beberapa saat lalu meminta izin datang terlambat karena seorang klien memintanya bertemu membicarakan rancangan bangunan restoran. Ketukan pintu terdengar di tengah-tengah kesibukan Aerin membaca berita terkini lewat ponsel. Pelayan bernama Yang Yoseob datang membawakan botol anggur merah mahal dan dua gelas kaca sesuai pesanan.
Sangat membosankan rasanya duduk diam tanpa teman di sebuah kamar dalam suasana begitu hening. Tanpa sadar jari Aerin mengetikkan beberapa kalimat pada layar aplikasi pesan dan mengirimkannya pada Baekhyun. Hanya sebuah peringatan agar pemuda itu tidak lupa menjemputnya. Balasan datang begitu lama, maka Aerin memutuskan menghubungi Sehun untuk sekadar mengisi kekosongan.
"Ada apa?" tanya Sehun sesaat setelah panggilan mereka terhubung.
Sambil menuangkan sedikit anggur merah dalam gelasnya, Aerin balik bertanya, "Kau ada di mana?"
"Di depan hotel sesuai perintahmu," jawab Sehun.
"Tetaplah di situ sampai aku keluar." Aerin memberi peringatan. Dia kemudian mulai meneguk gelas anggur merah pertamanya malam ini.
"Kau sudah mengatakannya berulang kali," balas Sehun.
"Tapi, Sehun-ah ..."
"Apa?"
"Kau benar-benar setia padaku, 'kan?"
"Untuk itu aku dibayar."
"Kau juga akan mendengarkan semua ceritaku, 'kan?"
"Langsung saja, kau memang ingin menceritakan sesuatu padaku."
Aerin mendeceh menanggapi sikap dingin pemuda jangkung kepercayaannya itu. "Apa yang harus aku lakukan? Aku hendak bertemu dengan seseorang, tapi otakku terus dipenuhi wajah orang lain," adunya.
"Maksudmu?"
"Sehun-ah, sepertinya aku ... menyukai Baekhyun."
"Katakan itu padanya setelah kau keluar dari hotel."
"Haruskah?"
Selama lebih dari satu jam percakapan Aerin dan tangan kanannya hanya menyeret topik-topik pribadi khas pasangan sahabat dekat. Sudah tiga gelas anggur merah masuk memenuhi lambung perempuan itu, tetapi Jiyong belum juga selesai dengan tugasnya sebagai seorang arsitek. Lebih dari memikirkan kisah romansa gilanya dengan Jiyong yang akan benar-benar berakhir malam ini, otaknya terus saja diserang oleh memori-memori ketika dia menghabiskan waktu bersama pimpinan Studio Lightein. Aerin tidak sembarangan saat mengatakan bahwa dia menyukai Baekhyun, bukan lagi sebagai pasangan membalas dendam, tapi bicara mengenai perasaan perempuan pada seorang lelaki.
Jantungnya masih berdegup cepat memikirkan Byun Baekhyun sampai kepalanya tiba-tiba terasa begitu berat. Otot-otot tubuhnya juga perlahan mengalami kram, sementara sesuatu memaksa keluar dari dalam perut. Aerin sangat mual, tapi juga merasa haus pada saat bersamaan. Semuanya terlalu tiba-tiba untuk kondisi tubuh yang awalnya tak memperlihatkan gejala apa pun. Keanehan tersebut menjadi alasannya berusaha meraih ponsel dan berulang kali menghubungi Sehun. Tidak ada jawaban. Dia mencoba menghubungi Baekhyun, namun tetap tidak menerima jawaban.
*****
Pukul sepuluh lebih dua puluh tiga menit Jiyong baru saja sampai di depan pintu kamar 305 membawa buket bunga cantik khusus untuk kekasih tercinta yang telah menunggu begitu lama seorang diri. Bukan hanya panggilannya saja yang sejak tadi terabaikan. Suara bel juga tidak kunjung membawa Aerin datang membukakan pintu, padahal Jiyong kesulitan menahan hasrat ingin cepat bertemu.
Seorang pelayan hotel menawarkan bantuan membukakan pintu kamar karena khawatir ada sesuatu terjadi pada tamu di dalam. Hanya memanfaatkan sebuah kartu yang biasa mereka sebut one shoot, Jiyong akhirnya berhasil melangkahkan kaki memasuki kamar 305 dan menemukan sang kekasih tergeletak tak sadarkan diri di atas lantai.
"Aerin-ah!" sahut Jiyong keras-keras seraya menghampiri tubuh tak berdaya Aerin. Setidaknya jantung gadis itu masih berdetak.
"Aku akan menghubungi rumah sakit," ucap si pelayan hotel.
*****
Deringan ponsel secara berkala sukses membuat Kyungsoo geram dan memutuskan beranjak dari sofa, mencoba mencari tahu orang yang sejak tadi berusaha mendapatkan jawaban dari Baekhyun. Namanya tak asing. Bagaimana bisa asing jika itu adalah pimpinan perusahaan yang membuat Studio Lightein masuk dalam sebuah masalah? Tidak bermaksud lancang, tapi mengingat Baekhyun yang belum lama masuk ke dalam kamar mandi, maka Kyungsoo menjawab panggilan tersebut tanpa pikir panjang.
Raut wajah pemuda bermata bulat itu berubah seketika bahkan sebelum mulutnya sempat mengeluarkan kata-kata. Ponsel masih menempel di telinga ketika Baekhyun keluar dari kamar mandi sambil mengusap tangannya menggunakan beberapa lembar tisu. Son Kyungsan sengaja menghubungi hanya untuk menyampaikan sebuah kabar sederhana. Kabar itu adalah penyebab tangan Kyungsoo bergerak turun dengan lemah, berdampingan dengan pinggangnya.
"Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Baekhyun. Terlihat begitu santai, tanpa adanya dugaan apa pun.
"Baekhyun-ah," Kyungsoo bersahut pelan. Suaranya terdengar rendah ... juga lirih.
"Kenapa?"
"Son Aerin. Perempuan itu ... ditemukan tewas di kamar hotel."
Dalam beberapa detik tidak tampak perubahan signifikan pada raut wajah Baekhyun. Sebagian orang mengerti, bahwa ada daftar kisah-kisah menyedihkan yang menempa mental pemuda bermata abu-abu itu untuk hidup jauh lebih tegar sampai tak bisa menempatkan sebuah ekspresi pada emosi paling tepat.
Ekspresi bukan cara paling benar menebak kondisi hati seseorang. Sekarang semuanya terasa begitu kacau persis seperti pecahnya rumah kaca yang telah dibangun bertahun-tahun. Baekhyun tidak mengucapkan kalimat apa pun saat meninggalkan ruangnya, memulai dengan langkah pelan dan semakin terburu menuju lantai paling bawah diikuti oleh sang sahabat. Beberapa karyawan saling berbisik mendiskusikan kemungkinan terbesar pimpinan mereka mengeraskan rahang serta kepalan tangan di tengah-tengah usahanya berlari.
"Baekhyun-ah, tunggu!" pekik Kyungsoo lagi-lagi. Sulit menyamakan posisi dengan seekor singa yang tengah dilanda amarah, tapi Kyungsoo mengerahkan seluruh tenaganya hingga berhasil menahan bahu Baekhyun kuat-kuat.
"Aku akan melihatnya, Kyungsoo-ya," ucap Baekhyun. Suaranya terdengar jelas bergetar.
"Ada Jiyong di sana. Jika kau pergi, bukankah kau hanya akan membuatnya curiga?" ujar Kyungsoo.
"Ini bisa saja perbuatannya. Pria berengsek itu. Aku sudah curiga kenapa dia mengulur waktu datang."
Baekhyun menepis tangan Kyungsoo, berusaha melanjutkan langkah, tetapi Kyungsoo kembali menahannya. Disaksikan oleh sebagian besar karyawan yang datang memastikan, Kyungsoo memperlihatkan betapa kuatnya dia menarik sang pimpinan dan menjatuhkannya ke lantai. "Sekali ini saja, dengarkan kata-kataku. Bukan sebagai karyawan, tapi sebagai teman," ucapnya tajam.
"Perempuan itu tewas, Kyungsoo-ya ..." lirih Baekhyun.
"Son Kyungsan memintaku untuk tetap menahanmu di sini. Rencana kalian bisa terbongkar jika kau benar-benar pergi."
"Pria berengsek itu pasti yang membunuhnya."
"Bukan. Bukan dia, tapi Lily Joker. Polisi menemukan kartu joker dan kertas bergambar bunga bakung di kamar hotel Aerin."
---To be Continued---